FB

FB


Ads

Minggu, 11 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 050

Pada saat itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding mati-matian melawan Bhong Ji Kun, tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan Kwee Sui. Melihat betapa gadis itu mengadakan perlawanan yang hebat terhadap koksu, Thian Tok Lama segera meloncat dan membantu. Dikeroyok dua oleh koksu dan Lama itu, tentu saja Kwi Hong terdesak hebat. Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama Thian Tok Lama.

"Sui-ko, bantu aku....!" teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton sambil tersenyum.

Seketika mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat dan tadi sengaja meminjam pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak, dan setelah memutar pedangnya membuat kedua orang lawannya mundur, ia lalu melompat ke arah Kwee Sui sambil memaki.

"Engkau pengkhianat hina!"

Akan tetapi, tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit lengannya yang memegang pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan tubuh, Thian Tok Lama telah memukulnya dari belakang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang.

"Desss!"

Angin pukulan yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong membuat gadis itu roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh ujung pecut koksu. Dia memandang rendah Thian Tok Lama sehingga kena terpukul, tidak tahu bahwa ilmu kepandaian Lama itu setingkat dengan kepandaian Bhong Ji Kun.

"Ha-ha-ha, bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia lolos," kata Bhong Ji Kun kepada Kwee Sui, "Dan pedang Li-mo-kiam....?"

"Sudah disini!" jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya.

"Baik, bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu hilang."

Kwee Sui girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu dan membawanya lari ke pantai, dimana terdapat perahunya, lalu ia membawa tubuh itu ke atas kapal besar.

Setelah Kwi Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau, dikejar oleh pasukan pemerintah. Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi Tan-siucai dengan gigih, terpaksa roboh pula, ketika tiba-tiba muncul Kakek Maharya yang sudah mengejar sampai ke situ. Maharya marah sekali melihat betapa muridnya belum mampu merobohkan kakek itu.

"Bodoh, kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?" teriaknya sambil menonton pertandingan itu, tidak mau membantu muridnya.

Tan Ki yang mendengar seruan gurunya itu, tertawa, tangan kirinya mencabut pedang di pinggangnya. Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun berteriak mengerikan ketika berbareng dengan sinar kilat pedang itu yang menangkis tangannya, lengannya sebatas siku menjadi buntung!

Kakek itu menggigit bibir, menggunakan tangan kirinya menerjang terus, dan kembali sinar kilat berkelebat dan lengan kirinya juga terbabat buntung! Pedang mujijat itu berkelebat lagi, terdengar teriakan ngeri dan tubuh Yap Sun terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh pedang Hok-mo-kiam dan nyawanya melayang!

Tan Ki menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada suhunya,
"Saya memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan yang boleh juga."

"Sudah, mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya. Kulihat wanita itu lihai juga."

Memang, hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan perlawanan terhadap Thai Li Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini mengamuk, mendesak pendeta itu dengan pedang yang sudah sejak tadi ia pergunakan karena dia tidak mampu mengalahkan lawan dengan tangan kosong.

Tiba-tiba muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok Lin yang setengah tua itu masih cantik, segera meloncat maju.

"Eh, manis, kenapa engkau nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota raja tentu senang!"

Phoa Ciok Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang hitam yang dipergunakan Tan Ki.

"Tranggg!"

Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan seluruh lengan kanannya tergetar.

"Wah, lihai juga....!" serunya.

"Hemmm....!"

Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan angin pukulan yang kuat berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit dan terlempar ke belakang. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan, lalu meloncat bangun lagi dan mengambil keputusan nekat untuk melawan musuh-musuh lihai itu sampai napas terakhir.

Maharya memukul lagi,
"Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!"

Maharya terhuyung ke belakang, memandang terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat ia terhuyung ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman, dia tidak akan heran. Tadi pun ia mengira, bahwa Pendekar Siluman muncul, kiranya seorang pemuda yang bertangan kosong!

"Toanio, harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!" kata Bun Beng.

"Eh, dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!"






Tiba-tiba Tan Ki berseru kaget. Maharya menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat tenaganya, mengapa sekarang begini lihai? Dengan penuh hati penasaran, dia menerjang lagi, kini mengirim dorongan dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Bun Beng. Pemuda ini yang sudah percaya penuh akan kekuatan sendiri, kembali menyambut telapak tangan itu dengan dorongan telapak tangan pula.

"Plakkkk!"

Dua telapak tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan itu yang seolah-olah melekat. Maharya berseru keras sebelah tangannya memukul lagi akan tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap. Demikian cepat gerakan pemuda ini yang sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya menotok ke arah ubun-ubun kepala Maharya.

"Aeeehhhh....!"

Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan, wajahnya yang berkulit hitam itu menjadi agak pucat, keringat dingin mengucur karena dia maklum bahwa hampir saja nyawanya melayang!

"Serbu....!"

Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju. Phoa Ciok Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa adanya itu, sungguhpun wajah pemuda tampan itu seperti pernah dilihatnya. Tentu saja dia pernah melihat Bun Beng, yaitu ketika terjadi pertempuran di pulau muara Huang-ho. Akan tetapi ketika itu Bun Beng masih kecil sehingga dia tidak mengenalnya lagi. Sebaliknya Bun Beng masih mengenal Ciok Lin maka serunya.

"Phoa-toanio, mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!"

Ciok Lin melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang dahulu diperebutkan di pulau muara Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar Siluman akan dirampas dan dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng, putera Gak Liat dan Bi-kiam Bhok Khim.

Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar saja anak buahnya terdesak sehingga kocar-kacir dan banyak yang sudah roboh. Juga ia melihat betapa anak buah dari pantai lain telah mundur ke tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es, dikejar pasukan pemerintah. Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk, membantu anak buahnya merobohkan banyak tentara pengawal pemerintah.

"Hancurkan mereka, serbu Istana Pulau Es!" teriak Maharya. "Biar aku melayani bocah sombong ini!"

Sambil berkata demikian, Maharya yang merasa bahwa pemuda itu tidak akan dapat ia kalahkan mengandalkan tenaga sin-kang, sudah mencabut keluar sebuah senjata yang aneh. Senjatanya itu bergagang pendek, dan berbentuk bulan sabit yang pinggirnya tajam sekali dan kedua ujungnya yang melengkung amat runcing.

"Sing-sing-sing....!"

Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk menyerang. Namun Bun Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut karena dia telah mainkan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng yang mujijat. Berkali-kali Maharya mengeluarkan seruan kaget dan heran. Pemuda itu benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat yang amat ajaib, yang dia kenal mempunyai dasar-dasar ilmu silat golongan kaum sesat!

Sementara itu, Bun Beng yang melihat betapa Thai Li Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong Ji Kun mulai memimpin pasukan membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat tinggal para anak buah Pulau Es yang kewalahan, menjadi khawatir sekali.

"Orang muda, engkau merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!"

Tiba-tiba Maharya membentak, menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng terpecah karena mengkhawatirkan keadaan Pulau Es.

Bun Beng otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia teringat ketika kakek India membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya yang aneh. Untung pada detik terakhir Bun Beng teringat lagi. Dia sudah mengerahkan sin-kang dan menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar tubuh ke belakang sehingga bacokan itu luput.

"Dar! Dar! Blengggg....!"

Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asep hitam bergulung-gulung. Beberapa orang perajurit pemerintah roboh, bahkan Maharya sendiri cepat meloncat ke belakang ketika ada sebuah benda hitam menyambar kepalanya. Sambaran itu luput dan benda itu menghantam tanah, meledak dan mengeluarkan asap hitam.

Bun Beng meloncat bangun. Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu. Dia cepat berlari ke arah Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan, terjadi ledakan-ledakan yang merobohkan perajurit pemerintah.

Pasukan pemerintah menjadi kacau balau, lari bersembunyi, ada yang bertiarap. Bahkan Koksu dan rombongannya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang dapat meledak sehingga mereka sibuk mengelak ke sana sini.

Bun Beng mengerti bahwa ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia mengenal alat-alat ledak itu seperti yang biasa dipergunakan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia tidak peduli dan cepat menghampiri rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin oleh Phoa Ciok Lin. Mereka ini sama sekali tidak diserang alat-alat peledak sehingga mudah diduga bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu bermaksud membantu anak buah Pulau Es.

"Phoa-toanio....! Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Dimana adanya Kwi Hong?"

"Ahhh, menurut laporan anak buahnya, dia.... tertawan, dikhianati orang kita sendiri dan dibawa ke kapal di sebelah timur pulau."

"Kwee Sui....?" Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya tadi.

"Eh, bagaimana engkau tahu? Engkau.... Gak Bun Beng, bukan?"

"Benar, Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain jalan, bawa keluar dari pulau ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi Hong!"

Baru saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Phoa Ciok Lin melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera membawa anak buahnya memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah tanah istana. Dia sendiri bersama orang yang dapat diandalkan menjaga di depan, melihat betapa pasukan musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan yang asapnya mengandung racun itu sehingga banyak anggauta pasukan yang roboh tewas.

Akhirnya Bhong Ji Kun terpaksa menarik mundur pasukannya dan memerintahkan kembali ke kapal masing-masing agar tidak jatuh lebih banyak korban sedangkan musuh yang melepas bahan-bahan ledakan itu tidak tampak sama sekali.

Bhong Ji Kun mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak berunding membicarakan munculnya Gak Bun Beng dan pelempar peledak yang asapnya hitam beracun itu. Begitu naik ke kapal dia menjenguk ke ruangan bawah, lega melihat betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di atas bangku dengan wajah muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ bersama selusin orang perajurit.

Gadis itu memaki-maki Kwee Sui, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan berusaha membujuknya dengan suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan berunding dengan Maharya di geladak kapal. Senja telah datang akan tetapi sinar keemasan matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk dan bicara dengan serius.

"Bocah itu hebat juga," terdengar Maharya berkata. "Sungguh mengherankan sekali, belum ada setahun aku melawan dia, kepandaiannya masih belum begitu hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya dalam waktu tiga bulan dia mampus. Bagaimana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan kepandaiannya malah demikian hebat?"

"Hemmm, mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman," jawab Bhong Ji Kun sambil mengelus jenggotnya. "Akan tetapi yang aneh adalah pelempar peluru peledak yang mengandung asap beracun itu. Apakah dia Pendekar Siluman sendiri? Dia tentu lihai bukan main."

"Ah, Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti itu," jawab Maharya.

"Benar, dan sepanjang pendengaranku, yang bisa menggunakan senjata rahasia macam itu adalah orang Pulau Neraka."

"Akan tetapi, tidak mungkin," bantah Maharya. "Bukankah Pulau Neraka selalu bertentangan dengan Pulau Es?"

Selagi dua orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan perahunya dan terjun ke air, berenang lalu bergantung kepada rantai jangkar. Dia merayap naik, akan tetapi melihat Maharya dan Bhong Ji Kun berada di situ, di atas geladak dia tidak berani naik. Melihat musuh-musuh besarnya ini, ingin sekali dia meloncat dan membuat perhitungan. Bhong Ji Kun telah membunuh gurunya, dan dengan Maharya dia mempunyai perhitungan lain.

Akan tetapi, kedatangannya ini adalah untuk menolong Kwi Hong, kalau dia meloncat dan menerjang kedua orang yang dia tahu amat lihai itu, harapannya untuk menolong Kwi Hong tentu akan buyar. Maka dia menanti kesempatan baik dan bersembunyi di rantai jangkar, mepet di badan kapal.

"Sebaiknya besok pagi kita sendiri bersama kedua orang Lama turun ke pulau melakukan penyelidikan," kata Maharya. "Kita harus mengetahui siapa orangnya yang begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru peledak itu."

"Kebakaran....!"

Terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang tiba di atas bilik kapal dan tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji Kun terkejut, apalagi ketika mendengar suara dari atas.

"Akulah yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"

Keduanya meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di tali-temali layar dekat tiang besar, tampak tubuh seorang wanita bergantung pada tali, bergantung dengan kedua kakinya sedangkan kepalanya tergantung di bawah, rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di bawah sinar matahari senja, wanita berpakaian hitam yang bermuka putih sekali itu benar-benar amat menyeramkan, apalagi kehadirannya dengan cara bergantung terbalik seperti itu!

Baik Maharya maupun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita yang bergantung seperti itu, yang hanya memperlihatkan kemahiran gin-kang luar biasa yang mampu mereka lakukan juga. Yang mengejutkan mereka adalah kehadiran wanita itu yang tidak mereka ketahui sama sekali! Siapakah wanita itu?

Dia bukan lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar Super Sakti (baca cerita Pendekar Super Sakti)! Bagaimana Lulu yang menjadi majikan Pulau Neraka dapat hadir disitu, membantu anak buah Pulau Es yang diserbu pasukan pemerintah? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita meninjau keadaan Pulau Neraka dimana telah terjadi perubahan besar sekali.

Putera Lulu bernama Wan Keng In, telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas atau delapan belas tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena semenjak kecil digembleng oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu memanjakan puteranya itu, apalagi setelah ia mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan Sin Kiat, sengaja membunuh diri dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu.

Pada suatu hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu seringkali keluar dari Pulau Neraka menunggang burung rajawali dan biarpun berkali-kali Lulu memarahinya, namun anak itu yang amat manja selalu melanggar larangannya. Ketika Keng In pulang, dia menghampiri ibunya dan tertawa-tawa bangga, lalu menepuk pinggangnya dimana tergantung sebatang pedang bersarung indah sambil berkata,

"Ibu, coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang ini. Ibu selalu melarang aku merantau, kalau aku tidak merantau, mana mungkin mendapatkan pusaka ini?"

Lulu mengerutkan alisnya memandang.
"Hemm, engkau mendapatkan sebatang pedang baru. Pedang apakah yang kau banggakan itu?"

"Lihat, Ibu!"

"Singggg....!"

"Aihhhh....!" Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika pedang itu dicabut, dan ada hawa yang menyeramkan keluar dari sinar pedang itu. "Itu.... itu.... seperti Sepasang Pedang Iblis!"

"Ha-ha-ha! Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian, pedang jantan, sebatang diantara sepasang Pedang Iblis yang berhasil kurampas!"

"Siang-mo-kiam....!" Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan menangis.

"Han-koko....! Ah, Han-koko.... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu.... Sepasang Pedang Iblis....!"

Keng In menarik napas panjang.
"Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut dia? Aku muak mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko! Hemmm, tentu Si Pendekar Siluman yang bernama Suma Han itu, bukan? Dia telah banyak membuat Ibu menderita. Teringat olehku betapa dahulu, ketika aku masih kecil, Ibu sering mimpi dan menyebut-nyebut namanya. Aku telah mendapatkan pedang Lam-mo-kiam, aku akan mencari dia dan akan kubunuh dia dengan pedang ini agar tidak menyusahkan hati Ibu pula!"

"Keng In....!"

"Aku tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu? Kakinya buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu, mengapa dia membiarkan Ibu merana disini? Dan mengapa pula Ibu seringkali menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar kelak dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah membenci dia? Betapapun juga, Pendekar Siluman dari Pulau Es itu telah banyak membikin Ibu menderita, maka pada suatu hari aku pasti akan menantangnya dan akan membunuhnya dengan pedang ini."

"Keng In.... kau.... kau tidak mengerti.... jangan kau bicara demikian. Tak perlu engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara. Sedangkan kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya, apalagi engkau. Kau kira akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"

Terdengar oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama Pendekar Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab,

"Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan diri. Mungkin Ibu masih belum mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang anakmu."

"Singggg.... cuit....!"

Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam, lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan dahsyatnya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang mencuat ke udara, kadang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung, indah dan hebat bukan main sampai membuat Lulu melongo keheranan.

Dia tidak mengenal ilmu pedang itu dan harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan puteranya itu betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In menghentikan permainannya dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya yang tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya,

"Bagaimana pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman itu?"

Lulu masih terbelalak memandang wajah puteranya.
"Keng In, anakku...., dari mana engkau mempelajari ilmu pedang itu?"

Keng In tertawa, lalu berkata,
"Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan masih banyak lagi. Diantaranya ini, harap Ibu lihat!"

Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik beberapa kali di udara. Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat, kedua tangannya telah menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat terbangnya itu. Keng In tertawa-tawa, melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia menghampiri sebatang pohon sambil berkata,

"Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!" Setelah berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.

"Prakkkk!"

Pohon itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biarpun hanya ada angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya yang gundul tanpa sehelai daun pun!

Lulu terkejut bukan main. Gin-kang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir melalui tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi juga amat dahsyat, membuktikan adanya sin-kang yang mengandung hawa beracun jahat!

"Keng In! Darimana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!"

Keng In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata,
"Ibu, sebetulnya aku harus merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa aku membuka rahasia. Ibu, telah beberapa tahun ini aku menjadi murid Cui-beng Koai-ong."

"Siapakah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"

Keng In tertawa.
"Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat ke tiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian luar biasa, melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang sebenarnya menjadi tokoh-tokoh pertama dan ke dua dari Pulau Neraka, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang aneh yang tidak pernah mau memperebutkan kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat mereka."

"Hehh....? Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah mendengar tentang dua orang itu? "Siapa mereka dan dimana mereka sekarang?"

"Ibu, mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan sekali aku bertemu dengan dia di tempat sembunyinya ketika beberapa tahun yang lalu dia kembali ke Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi muridnya sehingga memperoleh kemajuan besar."

"Dan yang ke dua?"

"Menurut Suhu, orang ke dua itu adalah sutenya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau Neraka. Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu dengan Susiok itu, julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya aneh dan angin-anginan sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya untuk mengumbar wataknya yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"

Lulu menjadi makin penasaran.
"Dimana mereka? Aku ingin mencoba kepandaian mereka. Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau Neraka."

"Jangan, Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"

"Ya, mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama Pulau Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"

"Ha-ha-ha! Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apalagi terhadap manusia lain, kecuali.... eh, terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan Ibu memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu menyerang ke sana, tentu mereka akan turun tangan membantu. Mereka hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan Pulau Es untuk menantang Pendekar Siluman!"

"Ohhhh!"

Lulu menjadi pucat wajahnya. Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan hendak memusuhi Suma Han. Betapa mungkin? Betapa mungkin dia memusuhi dan membenci orang yang ia cintai itu? Tidak.

Kalau dia menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu, semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia perlihatkan kepada bekas kakak angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan sudah patut untuk memperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar besar seperti Suma Han. Apalagi setelah ia mendengar bahwa Suma Han menjadi suami Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat daripada Nirahai!

Sekarang ternyata tokoh-tokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak memperalatnya dan puteranya, putera tunggal yang dia cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid dari tokoh pertama Pulau Neraka! Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka, yang menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es dan terang-terangan menantang Suma Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan orang-orang Pulau Neraka. Suma Han harus memilih, membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri!

Dengan hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa memberi tahu siapapun juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan pelayaran mencari Pulau Es dimana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han (baca cerita Pendekar Super Sakti).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar