FB

FB


Ads

Minggu, 11 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 049

"Kau beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat menyerbu dengan aman."

"Baik!"

Kwee Sui lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah diturunkan oleh pasukan, kemudian mendayung perahu itu ke darat dengan jantung berdebar. Biarpun dia telah berhasil membunuh Ki Lok, namun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia telah bermain dengan api, dan kalau dia teringat kepada Pendekar Super Sakti, dia bergidik. Tidak apa, pikirnya, menghibur diri sendiri.

Kalau serbuan itu berhasil dan dia tinggal di kota raja, membantu koksu yang memiliki banyak orang pandai, dia tentu aman dari pembalasan Pendekar Super Sakti. Dan Kwi Hong, si cantik manis yang membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan dan diserahkan kepadanya, hemm.... dia akan memaksanya menjadi isterinya, mau atau tidak!

Kalau dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi, aman dan terjamin keselamatannya, sudah memperoleh diri Kwi Hong yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik daripada "mati kering" di tempat dingin itu, di Pulau Es, hanya dapat memandang Kwi Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan.

Setelah mendaratkan perahunya Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain putih di tempat-tempat tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau sebagaimana yang telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil memasang kain putih dia memasuki pulau dan langsung menghadapi gurunya yang masih berunding dengan Kwi Hong bagaimana sebaiknya menghalau musuh kalau memang kapal-kapal yang mendekati pulau itu benar-benar musuh yang berniat buruk.

"Wah, lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai kusuruh Ki Lok pergi menyusulmu. Dimana Ki Lok?" Begitu dia datang, gurunya menegurnya.

"Celaka sekali, Subo." Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap air matanya.

"Eh, ada apakah?" Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu cengeng. "Lekas ceritakan!"

"Liok-te telah tewas mereka bunuh....!"

"Apa....?" Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang tentu menjadi terkejut sekali mendengar bahwa putera tunggalnya telah tewas dibunuh orang. "Bagaimana terjadinya?"

Suaranya gemetar, akan tetapi kakek yang gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya mukanya saja yang pucat sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat.

Karena khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki Lok, Kwee Sui kembali menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong yang terbelalak kaget sampai tidak bisa bicara apa-apa ketika mendengar betapa pemuda yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh musuh.

"Teecu dapat mendekati sebuah diantara kapal mereka dan semalam suntuk teecu bersembunyi sambil berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi teecu dapat merayap naik dan selagi teecu hendak mencuri pembicaraan mereka, tiba-tiba tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan mencaci-maki, mengusir kapal-kapal itu supaya menjauhi Pulau Es."

"Ahhh.... dia selalu keras hati dan terlalu berani...!"

Terdengar Thung Sik Lun mengeluh sambil menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik air mata.

"Ahhh, kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!" Kwi Hong mengepal tinju, suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati.

"Lanjutkan ceritamu. Mereka itu siapakah?" Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.

"Celaka sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Koksu Negara yang amat sakti! Dia membawa tentara yang banyak sekali, ada tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu menyaksikan sendiri betapa dalam satu jurus saja Lok-te telah roboh dan terlempar ke laut! Dari kata-kata Koksu itu kepada Lok-te teecu mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau Es dan akan membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu mengharap kebijaksanaan Subo dan Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang sakti itu."

"Pengecut!" Phoa Ciok Lin membentak marah. "Kau sebagai muridku mengusulkan agar kita menakluk saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa perlawanan?"

"Ohhh, tidak.... tidak.... mana teecu berani? Teecu hanya menyampaikan hasil penyelidikan teecu dan mohon pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo dan Hong-moi tentu saja teecu taati dan teecu siap membantu dengan taruhan nyawa teecu!"

Phoa Ciok Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia menoleh kepada Kwi Hong sambil bertanya,

"Hong-ji (Anak Hong), karena Taihiap tidak ada di sini, bagaimana pendapatmu?"

Kwi Hong mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam.
"Bagaimana pendapatku? Adakah pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka bunuh, Bibi? Pendapat kita satu-satunya hanyalah mempertahankan pulau, melawan mati-matian! Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"

Dua orang kakek itu mengangguk.
"Tidak ada jalan lain lagi," jawab Yap Sun.

"Saya siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah dilakukan anakku!" kata Thung Sik Lun terharu.

"Bagus, kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!" kata Kwi Hong penuh semangat.

Phoa Ciok Lin yang lebih berpengalaman daripada Kwi Hong karena dia adalah seorang bekas pejuang, cepat berkata,

"Kita bagi anak buah menjadi empat. Aku sendiri memimpin anak buah menjaga pantai barat, engkau memimpin anak buah menjaga pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji (Anak Sui), memimpin penjagaan di utara, Paman Thung memimpin penjagaan di selatan. Adapun Paman Yap memimpin sisa anak buah untuk menghadapi serbuan kapal ke lima, darimanapun datangnya. Kebetulan kita di sini berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi lima buah kapal itu yang agaknya telah mengurung pulau. Mari kita berjuang membela pulau sampai titik darah terakhir!"






Mereka lalu keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah, membagi menjadi lima dan segera berangkat ke tempat penjagaan masing-masing. Ketika Kwi Hong sedang sibuk mengatur pasukannya, tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata,

"Hong-moi, maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Sekarang kita menghadapi musuh yang kuat dan entah kita akan dapat saling berjumpa lagi atau tidak. Maka sebagai ucapan selamat berpisah dan selamat berjuang, aku lebih dulu mohon kau suka memaafkan semua kesalahanku."

Kwi Hong tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak mengeluarkan kata-kata merayu dan mengambil hatinya, dan agaknya dalam ancaman bahaya ini Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka dia berkata halus,

"Sui-ko, mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka memaafkan kalau engkau bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa. Pula, siapa bilang bahwa kita akan kalah? Lihat saja kita akan hancurkan mereka semua!"

"Mudah bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi langit. Juga mudah bagi Subo dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah, tingkat kepandaianku masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja demikian mudah terbunuh apalagi aku? Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti pedangmu itu, Hong-moi, agaknya aku akan dapat mengamuk dan tidak akan mudah dikalahkan musuh!"

"Hemm, yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."

"Kalau begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku? Percayalah aku akan menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di tangan, aku tidak takut menghadapi koksu sendiri sekalipun!" Kwee Sui berkata penuh semangat. "Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam pemberian Taihiap."

Kwi Hong ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan pemuda itu tak dapat disangkal kebenarannya, dengan ramah ia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada Kwee Sui.

"Demi mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepadamu, Sui-ko. Akan tetapi hati-hatilah terampas musuh. Aku percaya, dengan pedang yang ampuh dan mujijat ini, kelihaianmu akan menjadi lipat ganda."

"Terima kasih.... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat berpisah, mudah-mudahan kita akan saling dapat berjumpa pula."

Kwee Sui menerima Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan dipimpinnya pasukan itu menuju ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya. Diam-diam ia tersenyum lega. Pasti kita akan saling berjumpa lagi, Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri baik engkau mau atau tidak!

Setelah membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil bersembunyi, Kwee Sui diam-diam meloloskan diri dan mulai bekerja sibuk memberi tanda kain putih di pantai itu, kemudian ia menyusup ke timur dan ke selatan untuk memberi tanda-tanda robekan kain putih.

"Haiiii....!"

Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat sembunyinya dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka tegur itu adalah Kwee Sui, mereka terheran-heran.

"Kwee-kongcu.... apa yang sedang kau lakukan itu?" Seorang diantara mereka menegur.

Kwee Sui terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat adanya orang lain, secepat kilat dia mencabut pedang Li-mo-kiam.

Dua orang itu tak sempat berteriak karena sinar pedang itu saja sudah membuat mereka menggigil dan bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain saat sinar kilat berkelebat dan kepala mereka menggelinding putus dari leher, terbabat Li-mo-kiam!

Pedang yang sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai melepaskan dahaganya dan ketika Kwee Sui memandang pedang itu dengan hati penuh kebanggaan, ia melihat pedang itu lebih bersinar-sinar lagi setelah mencium darah manusia. Hebatnya, pedang yang telah membabat putus dua leher manusia itu sedikit pun tidak ternoda merah, seolah-olah darah telah mencucinya lebih cemerlang dan bersih.

"Li-mo-kiam.... hebat....!"

Kwee Sui mencium pedang itu lalu menyarungkannya kembali, kemudian menyeret dua orang itu ke balik batu dan menguruk mayat mereka berikut dua buah kepala mereka dengan salju. Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus dengan injakan kakinya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.

Baru saja ia selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba terdengar sorak-sorai disambut teriakan-teriakan gegap gempita dan tahulah dia bahwa pasukan-pasukan pemerintah telah mulai menyerbu! Memang koksu telah mengabarkan kepada pimpinan kapal masing-masing bahwa di darat telah ada pembantu mereka yang memasang tanda kain-kain putih yang harus dijadikan petunjuk untuk menyerbu ke pulau itu.

Terjadilah perang yang hebat di lima penjuru pulau itu! Para pasukan pemerintah dapat menyerbu pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas dari tempat-tempat yang dipasangi jebakan dan alat rahasia berkat petunjuk robekan kain-kain putih yang dipasang oleh Kwee Sui.

Melihat ini, para penghuni Pulau Es terpaksa menyambut mereka dengan senjata dan terjadi perang yang mati-matian. Biarpun jumlah penghuni pulau kalah banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih tinggi, namun para penghuni menang kuat dalam tenaga sin-kang. Selama tinggal di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih sin-kang dengan menghimpun Im-kang sehingga tenaga mereka mengandung hawa dingin yang lebih kuat daripada para penyerbu.

Para penyerbu rata-rata menggigil kedinginan, bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau Es, akan tetapi juga karena benturan senjata dengan para penghuni Pulau Es itu dilandasi Im-kang yang membuat para lawan selalu terserang hawa dingin yang menusuk tulang.

Serangan serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es tidak dapat saling membantu karena mereka itu menghadang musuh masing-masing yang menyerbu dari lima jurusan. Bahkan Yap Sun sendiri kini bersama pasukannya telah menghadapi serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tan Ki atau Tan-siucai.

"Ha-ha-ha, kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan pasukan pemerintah?"

"Selamanya Pulau Es tidak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang pemerintah menyerang kami, terpaksa kami akan mempertahankan pulau mati-matian!" jawab kakek Yap Sun dengan suara keren.

"Ha-ha-ha! Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap pemerintah akan tetapi majikan kalian berdosa besar sekali, karena itu kalian pun ikut berdosa kalau melawan."

"Orang muda, engkau berpakaian seperti sasterawan namun memimpin pasukan! Terang bahwa engkau tergolong penjilat penjajah. Tak perlu banyak cakap lagi, siapa takut kepada engkau dan pasukanmu? Anak-anak, serang mereka!"

Kakek Yap Sun memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah anak buahnya yang berjumlah hanya tiga puluh orang menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia sendiri sudah menerjang maju dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian sasterawan itu.

Tan-siucai terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari kedua tangan kakek itu. Memang Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan sakti yang amat hebat, karena di dalam tenaga ini terkandung hawa sakti yang melebihi api panasnya, dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat menerimanya.

"Bagus!"

Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah mencabut sebatang pedang yang berwarna hitam. Inilah senjatanya yang dibuat oleh gurunya sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang yang ampuh karena diberi racun yang merendam pedang itu sampai bertahun-tahun sehingga pedang itu berwarna hitam!

Sambil mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki mengelebatkan pedangnya. Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek ini pun maklum akan berbahayanya pedang itu yang mengeluarkan bau amis, namun dia tidak gentar. Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka mengeluarkan hawa pukulan yang dapat menangkis dan mendorong mundur sinar pedang itu sehingga Tan Ki terpaksa meloncat lagi dan menyerang dari lain jurusan.

Sementara itu, pasukan kedua pihak sudah saling serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding mati-matian dimana setiap orang anak buah Pulau Es dikeroyok dua orang lawan.

Ternyata hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang kebetulan bertemu lawan yang seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu lawan berat dan keadaan mereka terdesak hebat.

Phoa Ciok Lin, yang merupakan orang ke dua setelah Kwi Hong dalam hal kelihaian ilmu silatnya, bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Thai Li Lama, pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa Ciok Lin terpaksa harus mengeluarkan semua ilmunya, mengeluarkan seluruh gin-kang dan ilmu silatnya untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang mengandung campuran hawa mujijat dari ilmu hitam.

Berkali-kali Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang amat berwibawa, membuat wanita sakti itu kewalahan dan hampir celaka karena hampir saja dia tidak dapat menahan pengaruh bentakan-bentakan yang mengandung ilmu hitam I-hun-to-hoat (hypnotism) itu.

Untung bahwa sebagai pembantu istimewa yang telah digembleng oleh Pendekar Siluman, dia memiliki batin yang kuat sehingga dengan segala kekuatan batinnya dia masih berhasil mempertahankan diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat, seperti juga anak buahnya yang terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama.

Thung Sik Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki keistimewaan gerak cepat, lebih payah lagi karena dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh pendeta India, Kakek Maharya yang tentu saja jauh lebih lihai daripada dia! Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun menyerangnya dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang dapat membikin beku darah di tubuh lawan.

Namun Kakek Maharya menerima pukulannya dengan enak saja dan begitu tangan kiri Thung Sik Lun mendarat di dada yang kerempeng itu, tangan Thung Sik Lun tak dapat ditarik kembali, melekat dan tersedot oleh dada kerempeng itu! Thung Sik Lun terkejut, cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan Im-kang sekuatnya memukul ke pusar.

"Desss!" Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik kembali.

"Heh-heh-heh!"

Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menjambak rambut di ubun-ubun kepala Thung Sik Lun, mencengkeram dan begitu dia mencabut, kepala itu berikut kulit dan tulang kepala bagian ubun-ubun copot!

Otak dan darah mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan menggelogok darah campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima air sejuk! Setelah darah berhenti mengucur dan Maharya melepaskan sin-kangnya, tubuh Thung Sik Lun yang sudah tak bernyawa lagi itu terguling!

Tentu saja robohnya pimpinan ini membikin kacau para anak buah Pulau Es. Diantara mereka banyak yang roboh dan mereka bergidik ngeri menyaksikan kematian pimpinan mereka, maka mereka cepat mengundurkan diri ke tengah pulau sambil menahan majunya musuh-musuh dengan senjata rahasia mereka yang ampuh, yaitu butiran-butiran es yang dingin sekali, yang dapat mereka kumpulkan dan gali dari lorong bawah tanah di belakang Istana Pulau Es! Hujan butiran es yang dingin ini sedikit banyak menghambat kemajuan para penyerang dan memungkinkan mereka untuk mundur dan mengatur pertahanan lagi tanpa pimpinan.

Thian Tok Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee Sui. Akan tetapi ketika anak buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut kedatangan pendeta gundul itu tertawa-tawa dan mereka berdua itu bercakap-cakap sambil berjalan ke darat, mereka menjadi kacau. Apalagi ketika Kwee Sui berseru.

"Kita tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik menyerah saja tentu diampuni!"

Mendengar ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka semua adalah orang-orang yang setia, bahkan diantara mereka banyak terdapat bekas pejuang yang menentang penjajahan Mancu, maka mendengar seruan ini, maklumlah mereka bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka mereka segera melawan sambil mundur ke tengah pulau, juga mempertahankan diri dengan serangan butiran-butiran es dingin.

Yang berat seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri. Gadis perkasa yang penuh semangat ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biarpun Bhong Ji Kun masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan kelihaian paman gurunya, Maharya, namun bagi Kwi Hong dia telah merupakan lawan yang amat berat, apalagi tentu saja pasukan yang dipimpin Koksu ini adalah pasukan pengawal yang paling kuat!

Kwi Hong juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus berkepala botak yang memakai pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang disebut koksu oleh Kwee Sui. Cepat dia mencabut Pek-kong-kiam sehingga tampak sinar putih menyilaukan mata dari pedang yang berlapis perak ini.

Bhong Ji Kun tertawa bergelak.
"Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar Siluman, Nona? Pantas.... pantas...., banyak pemuda yang tergila-gila kepadamu. Kiranya engkau benar-benar cantik jelita, sungguh tidak disangka di pulau kosong seperti ini dapat tumbuh setangkai mawar yang begini cantik...."

"Keparat, tutup mulutmu yang busuk!" Kwi Hong marah sekali dan pedangnya menyambar menjadi sinar yang panjang dan besar.

"Hehhh....!"

Bhong Ji Kun terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona itu dapat menggerakkan pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat bahwa dara yang jelita ini adalah murid Pendekar Super Sakti. Dia sendiri merasa jerih terhadap pendekar itu, yang menurut pendapat paman gurunya memang memiliki kesaktian sukar dilawan.

Kalau gurunya sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat dipandang ringan, sungguhpun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis dan kelihatan lemah. Maka iapun cepat memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu anak buah Pulau Es, dan dia sendiri sudah mengeluarkan sebuah diantara senjata-senjatanya yang aneh, yairu sebatang pecut kuda yang berwarna merah dan panjangnya ada tiga meter, gagangnya terbuat dari emas dihias permata!

Koksu ini di waktu kecilnya, di India, pernah bekerja sebagai seorang penggembala kuda, maka dia suka sekali mempergunakan cambuk kuda, apalagi di waktu dia menyiksa lawan. Sebetulnya dia memiliki banyak senjata yang ia keluarkan sesuai dengan keadaan lawan. Melihat Kwi Hong cukup lincah dan lihai memegang pedang pusaka, maka diapun mengeluarkan cambuknya. Cambuk ini digulung di dekat gagang dan jika perlu dapat dipergunakan menyerang lawan yang tiga meter jauhnya, juga amat cocok untuk menghadapi senjata tajam, untuk melibat dan merampas.

"Tar-tar-tar!"

Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur turun, mengirim totokan-totokan berantai ke arah jalan darah di leher, tengkuk dan kedua pundak Kwi Hong.

"Haiiiittt!"

Kwi Hong melengking nyaring. Pedangnya diputar cepat di atas kepala, membentuk sinar seperti payung melindungi tubuh atasnya, dan tangan kirinya sudah menyodok ke depan, mengirim pukulan jarak jauh ke arah ulu hati lawan. Bukan main kagetnya hati koksu itu. Gerakan pedang gadis itu benar-benar membendung serangan cambuknya, dan kini pukulan tangan kiri itu mengandung hawa dingin yang terasa menghantam dadanya, terus menyerang ke jantung!

"Hehhhh!"

Ia mengerahkan sin-kang, mengeraskan perut dan dada, menahan pukulan jarak jauh itu sambil menarik pecutnya, dan sekali pergelangan tangannya bergerak, ujung pecutnya menyambar dari bawah hendak melibat kaki Kwi Hong.

Gadis ini melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan pecahan dari Siang-mo Kiam-sut seperti yang diajarkan pamannya, dan tangan kirinya tidak lupa mengirim pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara bergantian.

Koksu itu makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini, pikirnya. Belum pernah ia menghadapi lawan seorang muda yang begini lihai. Yang membuatnya kagum sekali bukan hanya kegesitan dara itu, melainkan terutama sekali sin-kangnya yang kuat dan aneh.

Betapa mungkin gadis semuda ini sudah dapat membagi kedua lengannya dengan saluran hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau tangan kanannya melancarkan pukulan berhawa dingin, pedangnya terasa mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya kalau dari tangan kiri menyambar hawa panas, pedangnya menjadi dingin luar biasa!

Timbul dalam pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia akan menawannya hidup-hidup, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee Sui yang telah berjasa, akan tetapi juga kalau dia dapat membujuk gadis itu membantu pemerintah tentu kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui, mudah diselesaikan, karena baginya, gadis ini lebih berharga sepuluh kali dari pemuda itu!

Akan tetapi, pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih mudah daripada melaksanakannya. Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat tinggi dan menghadapi Koksu itu, dia hanya kalah matang dan kalah pengalaman. Namun, gadis ini telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang sebetulnya kalau sudah dilatih sematang koksu itu, tidak akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun!

Biarpun koksu itu jauh lebih berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk tidak roboh di tangan gadis ini, apalagi untuk menawannya hidup-hidup!

Kwi Hong yang kini percaya akan laporan Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat, bersilat dengan hati-hati sekali. Diam-diam dia agak menyesal mengapa dia tadi menyerahkan Li-mo-kiam kepada Kwee Sui. Kalau dia menggunakan pedang mujijat itu, agaknya dia masih akan mampu mengalahkan lawan yang jauh lebih berpengalaman ini.

Akan tetapi, dia lalu teringat akan keadaan pemuda itu sendiri, dan keadaan bibinya, dan kedua orang pamannya. Kalau mereka itupun menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah Pulau Es. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat mengalahkan koksu ini dan dapat membantu kawan-kawannya. Namun, tidaklah mudah, karena sesungguhnya, tingkatnya masih kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.

Pada saat Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya itu, bahkan Thung Sik Lun telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari pantai, tampak sebuah perahu kecil yang dijalankan dengan pesat, didayung oleh seorang pemuda tampan yang memandang ke arah Pulau Es penuh takjub, kemudian memandang ke arah kapal-kapal besar itu dengan alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah Gak Bun Beng.

Setelah Bun Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan untuk mencari Pulau Neraka. Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu, dia tidak takut pergi ke Pulau Neraka untuk mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka dan minta kembali pedang Lam-mo-kiam yang dahulu dirampasnya.

Surat dan peta yang ia terima dari Pendekar Super Sakti telah lenyap ketika ia terjun ke pusaran maut, akan tetapi ia masih ingat sedikit gambaran itu. Pokoknya, di sebelah utara melewati sekelompok pulau kecil yang berjajar seperti baris!

Demikianlah, karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa disadarinya pada siang hari itu layar perahunya yang terbawa angin membuat perahunya melaju cepat membawanya sampai ke dekat Pulau Es! Melihat pulau yang putih itu dan melihat kapal-kapal besar, dia terheran-heran dan menggulung layar, lalu mendayung perahunya dengan hati-hati mendekati pulau.

"Tolongggg....!"

Tiba-tiba teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri dan menahan perahunya. Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah berenang menuju ke perahunya. Ketika Bun Beng melihat bahwa orang itu ternyata luka parah, cepat ia mendayung perahunya mendekat, lalu menyambar baju di punggungnya dan menariknya ke atas perahu.

Ternyata orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir saja tidak kuat lagi, lukanya oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah kehilangan banyak darah. Ia memandang dengan napas terengah-engah kepada Bun Beng, lalu berkata.

"Sahabat, siapapun adanya engkau.... tolonglah.... tolonglah cari Taihiap...."

"Taihiap siapa? Dan engkau siapa?"

"Taihiap.... To-cu Pulau Es.... katakan.... ahhh, katakan.... pulau Es diserbu pasukan pemerintah.... Koksu Negara.... dan si pengkhianat Kwee Sui.... pulau kami terancam.... aaahhhh...."

Pemuda yang gagah perkasa itu menghembuskan napas terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng mendengar ucapan tadi. Ia merebahkan kepala yang tadi dipangkunya, dan mengangkat mukanya memandang ke pulau itu. Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik pemerintah yang menyerbu Pulau Es di waktu Pendekar Super Sakti tidak ada? Dan Koksu Negara. Si laknat Bhong Ji Kun!

Bun Beng cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga perahunya meluncur cepat sekali ke pulau itu. Ia kini mendengar suara hiruk-pikuk di atas pulau, suara orang bertempur. Ketika ia melihat tanda robekan kain yang diikatkan pada tetumbuhan di pantai, ia lalu mendarat.

Tentu itu merupakan tanda penunjuk jalan, pikirnya. Setelah mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu dimana menggeletak mayat Ki Lok, Bun Beng melompat ke darat dan berlari cepat ke tengah pulau.

Tepat seperti diduganya, ia melihat kain-kain putih dan segera memasuki pulau melalui jalan kecil dimana ada tanda-tanda kain putih itu sehingga sebentar saja dia telah berada di tengah-pulau. Ia melihat pertempuran hebat, dan melihat betapa perajurit-perajurit seragam yang tentu adalah pasukan pemerintah mendesak dan mengejar penghuni pulau yang mengundurkan diri ke tengah pulau.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar