FB

FB


Ads

Minggu, 11 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 043

Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya yang tertangkis secara hebatnya tadi dan memandang Bun Beng dari balik kerudungnya.

“Bukan main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku mempelajari gerakanmu yang mujijat tadi. Sekarang terimalah kematianmu!”

Dia menerjang lagi, kini kedua tangannya bergerak dari dua arah berlawanan sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk menggunakan ilmunya memindahkan tenaga. Apalagi, ilmu itupun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil, lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka jalan satu-satunya hanyalah menggulingkan tubuhnya. Karena maklum bahwa serangan Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh sin-kang di tubuhnya untuk menggulingkan tubuhnya.

Tiga kali pukulan ketua yang amat lihai itu luput dan Bun Beng yang merasa pundaknya terlanggar angin pukulan yang amat kuat, mempercepat gerakannya bergulingan. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke pinggir menara dan terlempar ke bawah dari tempat yang amat tinggi itu.

Masih didengarnya jerit Milana dan selanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan Tuhan, maklum bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting remuk di bawah sana! Bun Beng sudah memejamkan mata, menanti datangnya maut.

Akan tetapi, ia mendarat dengan empuk, bukan terbanting ke atas tanah berbatu, melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram baju di punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang laki-laki yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan berwibawa, tenang dan tidak kelihatan tua.

Wajah.... Pendekar Super Sakti yang memandangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang diliputi penderitaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik jelita!

“Taihiap....! Ah, Taihiap telah menolong nyawaku....!”

Bun Beng berkata, terharu, girang akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang, yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas menara.

“Bun Beng, mengapa engkau jatuh dari atas sana? Dan.... ahhh, kau terluka hebat....” Suma Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. “Engkau terkena pukulan beracun yang hebat sekali. Siapakah yang melukaimu? Apakah masih berada di atas sana?”

Bun Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Tentu akan hebat akibatnya, dia pikir, maka dia menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong mengayun tubuhnya meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan cepat seperti berlarian ke atas.

“Kwi Hong, jangan lancang!”

Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, melayang ke atas menara! Bun Beng kagum bukan main menyaksikan ini, matanya sampai berkunang melihat tubuh pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya berdebar tidak karuan. Apa yang akan terjadi kalau suami isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya?

Ia melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tampak Kwi Hong turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil berkata,

“Di atas tidak ada orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?”

Sebelum Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi.
“Buka bajumu, biar kuperiksa dulu sebelum kau bercerita,” katanya dengan suara halus.

Bun Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang tinggal sebuah, Suma Han memeriksa keadaan Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata,

“Keji sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?”

Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.

“Ah, mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?” Kwi Hong mencela dan membanting kakinya. “Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan terluka seperti ini!”

“Kwi Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi mungkin engkau akan menderita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan ceritamu.”

Bun Beng melanjutkan ceritanya, betapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera dari Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawanan, akan tetapi dia dapat menyelamatkan diri. Untuk mencegah agar dia tidak usah bicara tentang Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Milana.

Suma Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut cerita Bun Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apakah Lulu telah keliru mendidik puteranya? Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat menjadi seorang jahat!

Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu itu. Dia tidak memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya makin berduka. Betapa tidak akan duka dan perih hatinya kalau ia terigat kepada Lulu? Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang dicintanya, namun keadaan memaksa mereka berpisah, bahkan kini timbul rasa sakit hati dalam perasaan Lulu terhadapnya!

“Ahhh, engkau menderita bukan main, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari atas menara?” Kwi Hong bertanya.

Bun Beng menjadi bingung.
“Aku...., aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Neraka karena aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua kakiku lumpuh, tentu saja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku sampai di menara ini, bersembunyi di atas menara. Aku menderita sekali, tidak berani turun, dan lukaku tak mungkin dapat sembuh. Daripada perlahan-lahan menghadapi kematian yang menyiksa seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku.... aku mengambil keputusan terjun dan mati di sini!”

“Aihhh, pengecut!” Kwi Hong berteriak ngeri.






“Kwi Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai mencela!” kata Suma Han yang kemudian memandang Bun Beng. “Betapapun juga, cara melarikan diri dari penderitaan dengan jalan membunuh diri adalah perbuatan bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil itu.”

Tanpa menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki kuil tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu.

Dapat dibayangkan betapa lihainya untuk dapat pergi bersama puterinya, tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti yang demikian lihai? Dan betapa cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, karena kalau sampai bertemu dengan majikan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada artinya lagi kalau pendekar ini melihat Milana dan tentu akan dapat menduga siapa adanya wanita di balik kerudung itu.

Suma Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut kaki dan memberi obat, kemudian mulailah pendekar sakti ini mempergunakan sin-kangnya yang luar biasa kuatnya untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng.

Pemuda itu disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung pemuda itu. Sampai sehari lamanya Bun Beng merasa betapa dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan, dingin dan panas! Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia ini agaknya tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sin-kang seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es ini!

Semalam suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan harinya, barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiarkan dirinya diobati, merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia merasa dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia cepat menelungkup dan menghaturkan terima kasih. Suma Han mengangkatnya bangun, duduk, dan sambil minum air hangat yang dibuat oleh Kwi Hong, Suma Han berkata,

“Aku telah berhasil membersihkan semua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng. Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengobatinya. Aku mendengar bahwa satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat melawan semua keracunan darah, hanya terdapat di Pulau Neraka.”

“Ohhhh...!” Kwi Hong berteriak, terkejut sekali. “Paman, bagaimana kita bisa mengambil ke sana?”

Suma Han menggeleng kepala.
“Tak mungkin kita ke sana tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat hebat, biarpun dia tidak akan tersiksa seperti kalau hawa beracun masih di tubuhnya, namun dalam waktu paling lama setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh racun, dapat membuat dia menjadi gila atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh tubuhnya!”

“Aihhh....!” Kembali Kwi Hong berseru.

Akan tetapi Bun Beng bersikap tenang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma Han yang memandangnya.

“Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biarpun Taihiap tak dapat mengobati, saya tidak merasa penasaran. Kalau memang sudah ditakdirkan saya mati karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya tanpa keluhan. Saya sudah merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa seorang mulia seperti Taihiap sudi memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan memberi pertolongan.”

Suma Han mengerutkan alisnya. Terlalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati sia-sia. Akan tetapi, betapapun juga, dia tidak memiliki keberanian untuk berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!

“Jangan putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar petunjuk bagaimana engkau dapat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah sendiri ke Pulau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai sembuh.”

“Akan tetapi.... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam. Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!”

“Coba sajalah. Dengan suratku, engkau akan diterima dengan baik.” Suma Han lalu mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus surat itu dan menyerahkannya kepada Bun Beng. “Sekarang, mari kuantar kau ke pantai dan mencari perahu!”

Bun Beng tidak mau membantah lagi dan diapun percaya bahwa seorang yang luar biasa seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya mendapat perhatian dari Majikan Pulau Neraka!

Kwi Hong juga tidak mau banyak cakap karena maklum bahwa hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun, diam-diam gadis ini merasa tidak setuju melihat betapa pemuda yang menderita luka berat itu disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka.

Biarpun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat mengenal watak pemuda ini, watak yang keras dan tidak mau mengalah, apalagi kalau menghadapi kejahatan. Watak seperti itu akan mendatangkan bahaya kalau pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh dan lihai. Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berlayar ke sana. Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda itu menghadapi bencana?

Betapapun juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga gurunya. Ia kehilangan watak galaknya kalau berhadapan dengan pamannya, maka semua kekhawatiran dan ketidak setujuan hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia keluarkan melalui mulut.

Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan Bun Beng sudah duduk di perahu itu, memegang kemudi dengan sepeti besar roti kering dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata perlahan,

“Hati-¬hatilah, Bun Beng....!”

“Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang pedang itu. Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan tetapi sebatang di antaranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang dari tanganmu pula. Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewajibanmulah untuk menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, jarang dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kau berikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu.”

“Suma taihiap, saya berjanji bahwa kalau saya dapat sembuh, saya akan mengerahkan seluruh akal dan tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam, untuk membasmi Tan-siucai dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk membalas dendam atas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio.”

“Hemm, cita-cita hidupmu dimasa depan penuh dengan bahaya dan permusuhan. Semoga engkau akan dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah, berangkatlah!”

Setelah memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu, Bun Beng mendayung perahunya ke tengah dan setelah angin bertiup membuat layarnya berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang memandangnya dari pantai itu hanya tampak seperti dua buah titik dan akhirnya lenyap.

Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar dimana perahunya sekarang berada akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan Besar untuk kemudian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui lautan yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan merupakan tempat berbahaya sekali.

Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat akan pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang. Akan tetapi kalau ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolong dia dan Milana di atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri.

Betapapun anehnya, betapapun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia tidak bisa membenci kakek muka kuning itu, biarpun dia tahu bahwa kakek itu adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka menolongnya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah.... jangan-jangan kakek muka kuning itulah Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak mungkin.

Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan Pulau Neraka? Pemuda itu selain tampan juga pesolek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak bersepatu. Betapapun juga, kakek muka kuning itu tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka.

Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai Huang-ho. Dia merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Super Sakti karena setelah diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersambung lagi, tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi.

Akan tetapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka. Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya amat sombong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa pemuda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan.

Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka. Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Neraka tidak bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pu-lau Es? Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati dimana saja daripada di Pulau Neraka, lebih dahulu harus mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka.

Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang demikian lihainya.

Tidak, dia tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu kemana dia harus pergi. Ke tempat dimana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke tempat dimana terdapat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan lamanya!

Tempat itulah yang menjadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya. Kalau dia kembali kesana dan mati disana, hanya sekumpulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada seorang pun manusia lain yang akan melihat keadaannya.

Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biarpun penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia akan sampai di tempat itu.

Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali dibenturkan pada batu-batu di bawah air oleh tenaga pusaran air, tubuhnya akan remuk. Apa bedanya? Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!

Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu, sampailah dia dekat pulau dan langsung ia mengemudikan perahu menuju ke sebelah selatan pulau dimana terdapat pusaran maut.

“Haiiii....! Orang muda, jangan kesana.... berbahaya....!”

Beberapa orang nelayan dari perahu masing-masing berteriak-teriak memperingatkan Bun Beng, akan tetapi pemuda ini tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan dia agar jangan mendekati pusaran maut.

Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah menurunkan layar dan mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pusaran air, diikuti pandang mata terbelalak dan muka pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua nelayan.

Mereka berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu dengan orang muda itu dicengkeram pusaran air, perahunya berputar-putar dan tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh pemuda itu lenyap ditelan pusaran air!

Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya menggeleng-geleng kepala melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam mencatat bahwa pusaran maut itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa disitu terdapat pusaran air yang amat berbahaya.

Dalam keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa oleh pusaran air yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuhnya dihanyutkan oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa tubuhnya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan karena dia maklum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikitpun sehingga tubuhnya seperti sehelai daun yang menurut saja.

Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tempat ini, tahu-tahu ia mendapatkan dirinya telah berada di mulut sebuah guha. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah di sana-sini, agaknya karena terbentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu menghanyutkan tubuhnya.

Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk, memandang ke sekelilingnya yang hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata dia berada di mulut guha yang amat besar dan di sebelah kirinya terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh. Ia menarik napas lega. Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali secara mujijat dia selamat!

Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan kiri, menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah mengeroyoknya kemudian menjadi sahabat-sahabatnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja disitu, tidak tampak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun yang bergemuruh.

Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat dimana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahulu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang ada hanya air terjun itulah.

Melihat letak dia mendarat, dia dapat menduga bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepalanya akan pecah!

Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pusaran air itu. Ini adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipakai berdiri. Ia merangkak dengan hati-hati memasuki guha itu yang ternyata amat dalam dan setelah merangkak sejauh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan matahari menyinari tempat terbuka yang luas itu.

Sunyi sekali keadaan disitu, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka itu!

Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terdapat sebuah kitab! Tentu ada manusianya, karena lilin itu menyala, menyorotkan sinarnya ke atas meja yang tertutup bayangan batu dinding tinggi!

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng menahan napas ketika melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat rahasia, agaknya menjadi tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang!

Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar tegang. Ia segera mengenal wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya ketika wanita ini bertemu dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak mereka, Milana!

Hatinya diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, seperti Milana dan kelihatan masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.

“Singgg....!”

Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri meja dan membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja. Agaknya dia mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu dibiarkan terbuka, dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang.

Jurus yang aneh sekali dan biarpun digerakkan perlahan, pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, naik turun suaranya ketika gerakan-gerakannya berubah sehingga seperti saling ditiup melagu! Kemudian wanita itu melangkah ke belakang tiga tindak dan mainkan jurus dengan cepat. Bukan main!

Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!

Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah bersilat pedang beberapa lamanya, mengulang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan dan terdengar suaranya penuh penyesalan.

“Keparat! Selalu terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apanya yang kurang?”

Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya, melontarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.

“Wuuuttt.... singggg....!” Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!

“Ceppp!”

Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, menancap sampai tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang beberapa sentimeter lagi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tubuh ke belakang, terlentang dan tak berani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Ia hanya terlentang tanpa berani berkutik, memandang ke arah ujung pedang itu.

Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih keadaannya yang secara aneh seperti orang terserang dari dalam tubuh sendiri dan membuatnya tadi terhuyung.

“Sratttt!”

Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh penasaran dan kecewa.

“Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sin-kang telah kupelajari, gerakan pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening dan napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ke tiga belas itu? Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya, macet pada jurus ke tiga belas!”

Dengan jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil lebih itu agaknya menerobos terowongan guha dan menimbulkan suaraa gemuruh sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita lihai itu.

Kini ia melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya, memakai kerudung penutup kepala, kemudian dengan langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pintu besi yang tertutup oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong sebuah batu di ujung kanan dan terbukalah daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali.

Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya, khawatir kalau-kalau wanita itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu dengan wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu?

Setelah hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan muncul, Bun Beng merangkak keluar dari belakang batu menghampiri meja. Lututnya sudah tak terasa nyeri, hanya masih lemah, maka dengan berpegang pada meja, ia dapat mengangkat tubuh berdiri.

Dengan tangan kiri menahan, menekan ujung meja, tangan kanannya memeriksa kitab yang terletak di atas meja itu. Kitab yang tidak berjudul, akan tetapi di dalamnya terkandung pelajaran samadhi menghimpun sin-kang yang aneh, dan di bagian belakangnya terdapat pelajaran ilmu silat pedang yang gerakan-gerakannya mirip dengan gerakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng.

Bun Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan tidak ada jalan keluar baginya berarti bahwa agaknya dia harus tinggal di situ, sampai kematian merenggutnya. Daripada termenung memikirkan nasib, dia sebagai seorang penggemar ilmu silat, tentu saja kitab itu merupakan hiburan besar baginya, untuk mengisi kekosongan.

Mulailah ia membaca bagian pertama, bagian berlatih sin-kang. Dia sudah banyak melatih sin-kang dengan cara samadhi yang berlainan, yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, dimana dia menerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Kemudian iapun mempelajari cara samadhi dan melatih sin-kang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara tersendiri, sungguhpun mirip dengan cara yang diajarkan di Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan cara perkembangannya.

Setelah membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersamadhi, ia berhenti dan membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman dua puluh, karena perutnya terasa lapar sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada sebatang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang.

Dia mulai merangkak diantara batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warnanya agak kemerahan dan baunya amis seperti darah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar