FB

FB


Ads

Kamis, 08 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 038

Tiba-tiba Bun Beng tertegun dan mengerutkan alisnya. Keponakan Pendekar Siluman! Aihhh, dia telah melamun terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami keponakan Majikan Pulau Es? Mentertawakan! Dia, seorang anak yatim piatu, bahkan disebut anak haram, putera mendiang datuk kaum sesat yang disebut Setan Botak, mana mungkin berjodoh dengan keponakan Majikan Pulau Es yang berkedudukan tinggi?

“Aihhhh, pikiran yang bukan-bukan,” ia menarik napas panjang, berusaha mengusir keinginan hati yang tak mungkin terpenuhi itu.

Ia memaksa diri untuk mengalihkan keinginan hatinya. Bagaimana kalau Milana? Lebih tak masuk di akal! Tanpa disengaja, ia telah menyaksikan peristiwa hebat yang mungkin menjadi rahasia Pendekar Siluman, Milana adalah puteri Pendekar Siluman itu! Puterinya dari seorang ibu yang amat cantik dan amat sakti! Lebih tidak mungkin lagi.

Baik Kwi Hong, apalagi Milana, tidak mungkin menjadi jodohnya. Kedudukan mereka terlalu tinggi baginya, seperti merindukan bintang-bintang di langit saja! Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong atau Milana, kalau dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu tinggi untuknya. Puteri Ketua Bu-tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang hari! Tidak ada harapan seujung rambutpun!

“Dasar manusia tak tahu diri engkau!”

Bun Beng berbisik dan menjambak kuncirnya, merasa terpukul dan rendah. Ia merenung memandang api unggun, diam-diam mengeluh dan menyalahkan ayah bundanya yang telah tiada.

“Sudahlah, aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan kepada mereka semua, kepada dunia kang-ouw bahwa biarpun ayahku seorang manusia sejahat-jahat dan serendah-rendahnya, aku tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu melakukan hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!”

Pikiran ini sedikitnya menghibur hatinya yang perih. Terhiburlah dia bahwa kini dia akan menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es. Sepasang pedang itu diperebutkan oleh orang sedunia kang-ouw, bahkan Pendekar Siluman sendiri mencari-cari tanpa hasil. Kini dia yang berhasil menemukannya dan menyerahkan sebuah di antaranya kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es, bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang besar? Dan dia akan melangkah lebih jauh lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang besar, biarpun saat itu dia belum tahu apa gerangan hal-hal yang besar itu.

Bun Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar. Pakaiannya sudah kering dan ia merasa tubuhnya hangat. Malam telah amat larut, akan tetapi dia tidak mau membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang berjaga sampai pagi. Tidak tega dia mengganggu gadis itu yang tidur dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada batang pohon, kadang-kadang menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu tidak padam.

Pada keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan malam mulai terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong bangun dari tidurnya. Ia mengusap kedua matanya dan begitu membuka mata melihat bahwa malam telah berganti pagi, melihat pula Bun Beng masih duduk bersandar pohon dekat api unggun, ia meloncat bangun dan membentak.

“Bun Beng, kau terlalu sekali!”

Bun Beng tersenyum, dia tidak merasa aneh lagi menyaksikan sikap gadis yang begitu mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah, kemudian marahnya berganti sikap ramah. Benar-benar seorang gadis yang penuh semangat berapi-api,

“Maaf, Kwi Hong, apakah salahku?”

“Masih bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk, membiarkan orang tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kau bangunkan aku agar aku berganti melakukan penjagaan?”

“Aah, tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau.... tidurmu enak benar, tidak tega aku membangunkanmu.”

Gadis itu memandang aneh.
“Mengapa kau menyiksa diri untukku? Kau tidak tidur sama sekali?”

Ucapan “karena aku cinta padamu” sudah berada di ujung lidah Bun Beng, namun cepat ditelannya kembali.

“Aku duduk beristirahat sama dengan tidur. Urusan kecil ini masa mesti dibesar-besarkan?”

“Biarpun urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil. Lain kali aku tidak mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau membikin aku merasa tidak enak saja!”

Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu pergi mencari sumber air untuk mencuci muka. Setelah ia kembali, ia melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air Sungai Huang-ho.

“Mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Kwi Hong dan berangkatlah mereka menuju ke jurusan timur, kearah muara Sungai Huang-ho.

Tak lama kemudian Bun Beng mengenal daerah dimana dahulu dia dan suhunya, mendiang Siauw Lam Hwesio, berperahu menuju ke muara sungai. Peristiwa beberapa tahun yang lalu seperti terjadi kemarin saja dan teringat akan nasib gurunya, mukanya menjadi berduka dan ia menarik napas panjang.

“Mengapa kau berduka?” Tiba-tiba Kwi Hong bertanya tidak galak lagi seperti tadi, melainkan halus dan menaruh khawatir.

“Aku teringat kepada mendiang Guruku, Siauw Lam Hwesio. Dia tewas secara menyedihkan sekali.”

Dia lalu menceritakan tentang kematian gurunya di tangan koksu negara dan kaki tangannya. Kemudian menutup ceritanya,

“Aku harus membalas kematian Suhu. Kelak aku harus mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan tiga orang pembantunya yang ikut membunuh Suhu, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong!”

Kwi Hong mendengarkan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang.
“Wah, musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Kedua orang pendeta Lama itu menurut Paman memiliki ilmu kepandaian tinggi apalagi Im-kan Seng-jin! Lawan-lawan yang amat berat dan sakti.”

“Aku tidak takut dan aku harus mencari mereka.”

“Akupun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu, Bun Beng.”






Bun Beng menoleh dan mereka berpandangan. Melihat sinar mata penuh rasa syukur dan berterima kasih dari pemuda itu, Si Dara membuang muka dengan perasaan jengah.

“Biarpun mereka bukan musuhmu, akupun akan menentang mereka dan Thian-liong-pang, dan Pulau Neraka!” katanya menambahkan, seolah-olah hendak mengalihkan perhatian Bun Beng bahwa dia menentang mereka bukan semata-mata untuk membantu Si Pemuda.

Mereka berjalan terus, berjalan cepat karena mereka kini mempergunakan ilmu lari cepat setelah Bun Beng mengatakan bahwa pulau di muara sungai itu tidak jauh lagi.

“Nah, itu dia pulaunya, dan di sanalah pusaran maut itu!”

Bun Beng berteriak menuding dan mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana tampak pulau kecil di tengah muara yang dahulu menjadi medan pertempuran. Dari pantai itu tampak pula pusaran air dan Bun Beng masih bergidik ngeri melihat air berputar-putar itu, teringat akan pengalamannya beberapa tahun yang lalu.

“Lihat, Kwi Hong. Ketika terjadi pertandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas tebing itu, tepat jatuh di pusaran maut.”

Kwi Hong mengerutkan alisnya.
“Hemmm...., dan setelah kau keluar dari lorong air kau mendarat di lambung gunung katamu dahulu? Gunung yang dekat dengan muara ini hanya sebelah sana itu. Kita harus menyeberang!”

Tempat itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu nelayan pencari ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari pedang-pedang itu tidak melalui pusaran air, cepat berlari ke bawah dan akhirnya dapat memanggil seorang tukang perahu.

Dengan biaya ringan mereka dapat diseberangkan oleh nelayan itu dan melanjutkan perjalanan mendaki gunung karang yang sukar dilalui. Namun berkat kepandaian mereka, mereka dapat juga mendaki dan setelah tiba di sebuah puncak batu karang yang tinggi, Bun Beng meloncat naik dan memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya ia berseru girang.

“Nah, disana itu agaknya, di seberang jurang lebar itu. Benar, tak salah lagi, itu yang tampak seperti gerombolan tentulah hutan-hutan dimana mereka mencari akar dan daun obat! Dari sanalah aku diterbangkan rajawali. Nah, sungai berada disana dan gunung yang puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang.... ahhh, tidak salah lagi. Mari kita kesana!”

Akan tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus mahal sekali untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar. Kadang-kadang mereka harus menuruni jurang yang amat dalam, melalui perjalanan yang curam dan kadang-kadang mereka harus mendaki batu karang yang runcing tajam mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan. Sepatu mereka juga pecah-pecah.

Malam itu terpaksa mereka harus bermalam diantara batu-batu karang gundul dan terpaksa melalui malam dingin seka1i tanpa api unggun karena di daerah dimana mereka bermalam itu tidak terdapat sepotongpun kayu. Juga perut mereka lapar bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi.

Kini Kwi Hong memaksa Bun Beng supaya tidur lebih dulu, akan tetapi betapa mendongkol dan menyesal hati Bun Beng ketika dia terbangun, ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu “membalas dendam” tidak mau membangunkannya dan berjaga semalam suntuk. Ia mendongkol dan juga terharu sekali. Mereka baru saja melakukan perjalanan yang melelahkan namun gadis itu bersikeras berjaga semalam suntuk.

“Aihh, Kwi Hong. Mengapa kau begini sungkan, sedangkan kita telah menjadi sahabat dan mengalami kesukaran bersama?”

“Tidak akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka kalau merasa diri tidak adil. Setelah membalas, tentu saja hatiku lega dan lain kali kau harus tidak bersikap mengalah dan sungkan pula seperti yang kau lakukan malam kemarin.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Makin dekat tempat itu, makin yakinlah hati Bun Beng bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang muda ini mendaki tebing tinggi menuju ke daratan di atas dimana dahulu para pemuja Sun-go-kong menyerahkan keranjang-keranjang obat kepada burung-burung rajawali dari Pulau Neraka!

Baru saja mereka meloncat ke puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar banyak senjata rahasia yang ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan. Dengan mudah keduanya mengelak dan Bun Beng berteriak.

“Harap Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!”

Dari balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka melihat Bun Beng, orang-orang itu berteriak sambil lari menghampiri dan semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu.

“Ah, kiranya Gak-inkong yang datang! Kami bersyukur sekali, In-kong. Kami melihat betapa In-kong diterbangkan burung rajawali dan mengira Gak-inkong sudah tewas....!”

Bun Beng tersenyum lebar.
“Memang nyaris aku tewas, syukur Tuhan belum menghendaki demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?”

“Terima kasih, In-kong. Semenjak peristiwa dahulu itu, kami tidak lagi mengalami gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami.”

Mendengar ini, Bun Beng melirik kepada Kwi Hong dan gadis ini yang sudah mendengar tentang para pemuja Siluman Kera itu tersenyum. Gadis ini sebagai murid Pendekar Super Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,

“Sun-go-kong hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian menyembah dan memujanya? Betapa bodohnya kalian ini orang-orang tua memuja tokoh dongeng kanak-kanak!”

Delapan belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi Hong dengan alis berkerut tanda tidak senang hati.

“Hemm, Nona yang masih muda...., kalau saja engkau tidak datang bersama Gak-inkong dan menjadi sahabatnya, tentu kami tidak membiarkan kau berkata selancang itu. Semua dewa yang dipuja memang hanyalah tokoh dongeng. Yang penting bukanlah tokoh dongengnya, melainkan hati si pemujanya! Gak-inkong, apakah Nona ini sahabatmu? Kalau bukan, dia tidak kami perkenankan berada disini!”

Bun Beng diam-diam merasa menyesal mengapa Kwi Hong berlancang mulut, namun diapun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bicara terang-terangan menurutkan kata hatinya.

“Dia sahabat baikku, harap Cu-wi suka memaafkannya.”

Wajah delapan belas orang itu menjadi cerah kembali dan mereka sudah memaafkan Kwi Hong. Bahkan seorang diantara mereka, yang termuda, maju dan berkata sambil tertawa,

“Sahabat baik Gak-inkong? Ha-ha cocok sekali. Cantik jelita dan patut menjadi sisihan In-kong yang tampan....”

“Plak! Aduh!”

Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak oleh tamparan Kwi Hong. Gerakan tangan dara itu cepat bukan main sehingga orang yang ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar, disangkanya ada halilintar menyambar pipinya!

Teman-temannya menjadi marah dan mereka sudah mengepal tinju, siap mengeroyok Kwi Hong sungguhpun diam-diam mereka terheran-heran. Mereka telah mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan oleh Dewa Sun-go-kong kepada mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan sehingga mereka semua adalah ahli-ahli mengelak pukulan. Mengapa teman mereka tadi begitu mudah kena ditampar oleh dara ini?

“Tahan, Cu-wi sekalian! Nona ini adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es, harap Cu-wi tidak menimbulkan pertentangan!”

“Murid Pendekar Siluman....?”

Terdengar seruan-seruan mereka dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Sebagai pejuang, tentu saja mereka sudah mendengar nama Pendekar Siluman yang dulu pernah menggegerkan musuh di Se-cuan dan orang tertua dari mereka segera mengangkat tangan memberi hormat kepada Kwi Hong sambil berkata,

“Mohon maaf, karena tidak mengenal kami bersikap kurang hormat kepada Lihiap.” Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya, “Setelah bertahun-tahun In-kong meninggalkan kami, sekarang In-kong datang dengan tiba-tiba, apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?”

Bun Beng tersenyum.
“Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku datang hanya untuk menengok dan terutama sekali untuk mengambil sesuatu yang dahulu kusimpan di tempat ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku bersama Nona ini akan mencari dan mengambil sendiri benda yang kusimpan itu.”

Orang-orang itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang disimpan oleh Bun Beng disitu, akan tetapi orang tertua dari mereka menjawab,

“Silakan In-kong.”

“Mari, Kwi Hong!” kata Bun Beng dengan sikap gembira.

Nona itupun merasa gembira dan hatinya tegang, melompat dan mengikuti Bun Beng meninggalkan tebing itu, berlari-lari ke arah gunung dimana terdapat guha-guha batu yang sebagian besar tertutup alang-alang tinggi dan lebat.

Dengan hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah guha ini yang jauh juga dari tebing sehingga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong itu tidak tampak lagi, kemudian dengan mudah ia mencari guha kecil yang ia tutup dengan tumpukan sehingga sama sekali tidak kelihatan dari luar.

Tanpa berkata sesuatu ia membongkar batu-batu itu, dibantu oleh Kwi Hong yang juga menjadi tegang hatinya. Siapa yang tidak berdebar hatinya kalau mengingat bahwa Sepasang Pedang Iblis itu berada di belakang tumpukan batu? Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan orang sedunia kang-ouw, bahkan yang dicari-cari tanpa hasil oleh pamannya!

Setelah tumpukan batu yang menutupi guha itu terbongkar semua, Bun Beng berseru girang melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia mengenal itu, sehelai baju yang dipakai membungkus sepasang pedang. Baju itu sudah rusak dan kotor sekali, akan tetapi dengan penuh gairah Bun Beng menariknya dan dengan kedua tangan gemetar ia membuka bungkusan kain butut.

Ternyata sepasang pedang itu masih utuh, sebatang agak pendek, sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk gagang dan sarung pedangnya serupa. Ia menyerahkan yang pendek kepada Kwi Hong tanpa bicara. Bersama-sama mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang.

“Yang pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)....” kata Kwi Hong setelah membaca huruf-huruf di pedangnya.

“Dan ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)....” kata Bun Beng.

“Tepat seperti yang diceritakan Paman, ini adalah sepasang....”

“Sepasang Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!”

Bun Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang mereka itu. Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan bicara tadi adalah kakek India bersorban bersama muridnya Si Siucai Sinting! Bun Beng maklum bahwa mereka menghadapi bahaya besar dan dalam beberapa detik saja otaknya bekerja cepat, lalu ia berbisik kepada Kwi Hong.

“Kau bawa semua pedang ini, serahkan Pamanmu, biar aku menahan....”

“Tidak....” Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang diangsurkan kepadanya, “kita pergunakan pedang ini untuk melawan bersama. Pula, kalau kita masing-masing memegang satu, pedang itu berpencar dan kalau terampas orang tidak keduanya.”

“Ha-ha-ha-ha! Orang-orang muda, sudah lama aku mencari Sepasang Pedang Iblis, dan melihat gerak-gerikmu kemarin, aku sudah curiga maka diam-diam kami membayangi kalian. Siapa kira, benar saja kalian telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, ha-ha-ha-ha!”

“Maharya!” Tiba-tiba Kwi Hong membentak marah. “Seorang tua bangka macam engkau ini apakah tidak tahu peraturan dunia kang-ouw? Dalam berlomba mencari pusaka, siapa yang mendapatkannya berarti sudah berjodoh! Kami sudah mendapatkannya dan pusaka ini adalah milik kami!”

“Ha-ha-ha, bocah perempuan sungguh tajam matamu, dapat mengenal aku! Akan tetapi engkau tidak tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang pedang itu adalah hak milikku. Karena itu, sudah semestinya kalian berikan kepada Maharya!” kakek India yang kini sudah pandai bicara bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.

“Sombong dan pembohong besar engkau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah milik pribadi Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan Pamanku, To-cu dari Pulau Es. Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan kepada kedua muridnya, kemudian ditemukan oleh Paman dan dikubur bersama jenazah kedua murid Mutiara Hitam. Setelah itu lenyap dan akhirnya kami yang menemukannya kembali. Bagaimana kau berani bilang menjadi milikmu? Tak tahu malu!”

Sasterawan sinting itu meloncat ke depan.
“Ah, dia ini keponakan Suma Han si jahanam keparat? Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar terasa oleh Suma Han siluman keparat itu!”

Kwi Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah sasterawan itu.
“Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan kepadaku tentang engkau! Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan sebagai seorang wanita pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi engkau ini manusia gila telah menyalahkan Paman, bahkan menjadi murid kakek iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Sekarang harus kau kembalikan pedang pusaka itu atau kau akan mampus di tanganku!”

“Ha-ha-ha! Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak, engkau tidak tahu. Biarpun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas perintah Mutiara Hitam, akan tetapi pembuatnya adalah Kakekku Mahendra, maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih baik kalian berikan sepasang pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku untuk membebaskan kalian berdua.”

“Singggg!”

“Sratttt!”

Tampak dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pedang masing-masing. Sinar sepasang pedang ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan Kwi Hong sendiri. Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking girangnya.

“Sa-dhu! Sepasang Pedang Iblis yang mulia!” Ia berkata, kemudian menoleh kepada muridnya, “Pergunakan Hok-mo-kiam, mari kita rampas sepasang pedang ini!”

Ia sendiri sudah memakai sarung tangan emas dan mengeluarkan senjata hidupnya, yaitu ular putih yang berbahaya.

“Kwi Hong, kau hadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar aku menghalau kakek iblis ini!” kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban ia sudah menerjang maju, menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar.

Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang tidak berani sembarangan menangkis karena ia maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu benar-benar merupakan sebatang pedang yang amat ampuh.

Bun Beng tidak memberi hati, meloncat ke depan dan melakukan serangan bertubi-tubi. Dia harus dapat menahan kakek ini untuk memberi kesempatan kepada Kwi Hong menghadapi Tan-siucai yang lebih lemah dibandingkan dengan gurunya yang sakti ini.

Sementara itu, Tan-siucai sudah mencabut Hok-mo-kiam dan tampak sinar kilat yang lebih terang daripada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan tetapi tidak mendatangkan wibawa yang mendirikan bulu roma seperti sepasang pedang itu yang telah menghisap darah entah berapa ribu manusia.

Kwi Hong cepat menerjang maju dengan Li-mo-kiam di tangan, melakukan tusukan dan girang sekali ketika merasa betapa pedang itu seolah-olah menambah tenaga pada tangannya, begitu ringan dan seperti telah mendahului jurus yang ia mainkan untuk menyerang, seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah lawan! Benar-benar sebatang pedang yang amat luar biasa!

“Cringggg....!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedangnya tergetar, seolah-olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang lawan. Padahal dia merasa bahwa dia masih menang tenaga menghadapi Tan-siu-cai. Maka ia menjadi waspada dan teringat bahwa pamannya dan mendiang Kakek Nayakavhira memang sengaja menciptakan Hok-mo-kiam untuk menghadapi dan melawan Sepasang Pedang Iblis!

Di lain pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir terlepas dari tangannya ketika beradu dengan pedang lawan, lengannya tergetar dan ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali menghadapi keponakan Pendekar Siluman yang memiliki sin-kang amat kuat itu.

Setelah kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng harus mengaku dalam hati bahwa tingkat kepandaiannya masih belum cukup untuk menandingi lawan yang sakti ini. Pantas saja kakek ini dahulu berani menghadapi Pendekar Siluman, kiranya memang memiliki gerakan aneh dan setiap gerakan tangannya mengandung hawa yang panas dan di balik hawa panas ini masih ada pengaruh mujijat yang membuat bulu tengkuk meremang seperti bukan manusia yang ia lawan, melainkan iblis sendiri.

Bau harum aneh memuakkan yang keluar dari tubuh kakek tinggi kurus itu benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Untung bahwa sekali ini Bun Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga memiliki wibawa amat mujijat seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga pengaruh pedang iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh kakek India. Kalau dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu melawan sampai lama menghadapi kakek yang selain mahir ilmu silat aneh juga mahir ilmu sihir itu.

Bun Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya, namun kakek itu selalu dapat mengelak dan menangkis dari samping dengan tangan kiri yang bersarung emas, sedangkan ular putih yang berbahaya itu menyambar-nyambar hendak menggigit, bahkan menyemburkan uap putih dengan suara mendesis-desis.

Karena maklum bahwa semburan uap putih itu berbisa, Bun Beng kadang-kadang menahan napas dan mendorong dengan tangan kiri menggunakan hawa sin-kang untuk mengusir uap putih.

Pertandingan berlangsung makin seru dan mati-matian. Bun Beng melihat mulut kakek itu berkemak-kemik, kemudian terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Ia terkejut bukan main, merasa betapa suara ketawa itu seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa dingin seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerahkan sin-kang untuk menahan perasaan itu, dan ketika ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak dengan serangan kedua tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika kakek itu kembali tertawa, ia terdorong oleh rasa yang amat kuat untuk ikut tertawa! Bun Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini mempergunakan sihir, maka ia melawan sekuat tenaga namun tetap saja mulutnya tersenyum!

Mendadak sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun Beng merasa jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi seluruh hatinya dan betapapun ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Ia makin kaget dan diam-diam berseru

“celaka!”

Maklum dia bahwa dia tidak akan menang menghadapi kakek ini dan biarpun dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat mempertahankan diri sampai lama, namun akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat khawatir, bukan mengkhawatirkan dirinya melainkan mengkhawatirkan diri Kwi Hong.

“Kwi Hong....!”

Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah ular yang sudah mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini tangan yang bersarung emas itu mencengkeram ke arah pusarnya.

“Cringgg!”

Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya yang terlindung sarung tangan itu terasa panas.

“Kwi Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu....!”

Bun Beng berteriak dan memutar pedangnya melindungi tubuh secepatnya. Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menulikan telinga terhadap suara yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi tidak mungkin ia menutup matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang dengan sinar mata Maharya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala!

Kwi Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak mau peduli. Mana mugkin dia melarikan diri? Dia sedang mendesak Tan-siucai yang biarpun memegang Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh olehnya.

Kalau Sasterawan sinting itu tidak memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi mampus di ujung Li-mo-kiam. Apalagi ketika gadis ini mengerling dengan sudut matanya dan melihat betapa Bun Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin tidak mau melarikan diri. Dia harus merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu Bun Beng mengeroyok kakek yang sakti itu.

Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan mempertahankan Sepasang Pedang Iblis, bahkan lebih penting daripada keselamatan Bun Beng yang terancam oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak Tan-siucai yang kini memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak sukar untuk menembusnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar