FB

FB


Ads

Kamis, 08 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 035

Hampir saja Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan di atas tanah. Ia melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang tinggi sekali sehingga sungai yang besar itu kini tampak jelas seperti seekor naga jauh di bawah. Dan burung itu tidak lagi berada di atas sungai. Kalau dia memukul dan terlepas dari cengkeraman, tentu dia akan jatuh terbanting ke atas tanah dan remuk semua tulangnya!

Maka ia lalu meraih ke atas dan tangannya memegang kaki burung erat-erat sambil melepaskan cengkeraman kaki burung yang masih mencengkeram pundaknya. Kini dialah yang memegang kaki burung, tidak berani melepaskan karena hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya.

Tiba-tiba ia melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat datang dari jauh. Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking keras. Celaka, pikirnya, tak salah lagi tentulah bocah setan itu yang datang menunggang burungnya. Masih terlalu jauh untuk dapat dilihat apakah burung yang terbang datang itu ada penunggangnya atau tidak.

Dia memutar otaknya, mencari akal apa yang harus dilakukannya kalau sampai pemuda setan itu betul-betul datang. Kalau saja dia bisa naik ke atas punggung burung ini, dia akan mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan. Sama-sama menunggang burung, barulah ramai dan sebanding kalau bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki burung, tentu saja dia tidak dapat melakukan perlawanan dengan baik, paling-paling dia hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sebelah tangan yang sebelah lagi harus ia pergunakan untuk bergantungan pada kaki burung.

Tiba-tiba burung yang membawanya itu pun melengking keras, lengking tanda kemarahan dan ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat, hati Bun Beng agak lega karena tidak tampak ada penunggangnya. Akan tetapi, kelegaan hatinya itu menjadi berubah seketika ketika kedua ekor burung itu sudah saling serang dengan hebatnya.

Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung yang baru datang adalah seekor burung garuda putih. Dia mengenal burung itu. Burung tunggangan Pendekar Siluman. Burung garuda dari Pulau Es! Tentu saja dua ekor burung yang menjadi musuh lama itu kini saling terjang mati-matian, saling cakar, saling patuk, saling kabruk sambil mengeluarkan suara melengking menulikan telinga.

Bun Beng yang celaka dalam pertarungan antar dua ekor burung raksasa itu. Betapa tidak? Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di dalam pertandingan itu, kedua ekor burung saling terjang sehingga tubuh Bun Beng terbawa, terguncang, bahkan dia menjadi korban terkaman burung garuda yang tentu saja tidak dapat membedakan dia dari kaki burung lawan.

Bun Beng yang masih bergantung pada kaki rajawali menjadi serba salah. Mau membantu garuda putih dengan memukul tubuh rajawali, berarti dia seperti memukul diri sendiri. Kalau rajawali itu jatuh, bukankah berarti dia sendiri pun jatuh ke bawah?

Mau membantu burung rajawali, dapat ia lakukan dengan jalan memukul garuda putih di waktu dua ekor burung itu saling kabruk, hatinya tidak mengijinkan karena dalam pertandingan antara kedua ekor burung itu otomatis dia berpihak kepada garuda putih yang menjadi peliharaan Pendekar Siluman yang ia kagumi. Membantu rajawali salah, membantu garuda pun tidak mungkin. Diam saja juga tidak baik karena dialah yang paling payah dalam pertadingan angkasa itu.

Bun Beng benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini, kena patuk, kena cakar sehingga ia luka-luka dan tubuhnya terasa sakit-sakit, pakaiannya banyak yang terkoyak. Ini benar-benar menyiksa hatinya.

Dalam pertadingan biasa, biarpun melawan musuh yang jauh lebih pandai, sedikitnya dia bisa melawan, balas menyerang, atau kalau sudah merasa kalah, dapat melarikan diri. Akan tetapi sekarang ini sama sekali dia tidak berdaya. Membalas tidak bisa, melindungi tubuh sendiri pun tidak sempurna, melarikan diri pun.... mana mungkin?

Habislah ikhtiar sebagai manusia dan dalam keadaan seperti itu, tidak lain jalan lagi kecuali menyerahkan nasib ke tangan Tuhan! Dia hanya dapat menggunakan sebelah tangan untuk menangkis setiap ada bahaya patukan, cengkeraman atau kabrukan sayap yang mempunyai tenaga kwintalan!

Dalam pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya terdesak hebat. Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah. Hal ini tidak mengherankan. Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari Pulau Es yang terlatih itu merupakan lawan berat baginya, apalagi sekarang sebelah kakinya diganduli orang, tentu saja hal ini membuat gerakannya kurang leluasa sehingga dia lebih banyak menerima patukan dan cengkeraman.

Karena itu, sambil mengeluarkan suara melengking bingung, seperti seekor ayam dikejar-kejar anak kecil, rajawali raksasa itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang diganduli Bun Beng, berusaha melepaskan orang yang menjadi pengganggu gerakannya.

Bun Beng maklum akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak sudi disuruh turun begitu saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat yang tingginya ribuan kaki! Maka ia malah menggunakan tenaganya untuk memegang kaki rajawali itu sekuat mungkin sehingga biarpun rajawali itu berusaha untuk menendangkan kakinya tubuh Bun Beng tetap saja tidak terlepas dari kakinya.

Namun, kini keadaan Bun Beng makin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga diri dari serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali dan tanpa disengaja menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini berusaha melepaskannya, Bun Beng harus menghadapi dua serangan, yaitu dari garuda yang masih menyerang secara ngawur sehingga dirinya ikut diserang, dan dari rajawali yang hendak menendang dirinya supaya terlepas.

Tubuh Bun Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya terlepas. Betapapun juga, dia tidak berani memegang kaki rajawali itu dengan dua tangannya, karena tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga diri, menangkis terjangan garuda. Kepalanya menjadi pening dan tangan kirinya terasa penat sekali. Kalau sudah tidak kuat, dia mengganti tangan kiri dengan tangan kanan yang menggandul, sedangkan tangan kirinya yang penat itu ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari terjangan garuda putih.

Ketika burung garuda menyambar lagi, kini dari bawah, agaknya garuda yang cerdik itu melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya, paruh dan cakar garuda yang menerjang perut rajawali itu otomatis mengabruk pula tubuh Bun Beng yang tergantung.

“Celaka....!”

Pemuda itu berseru keras dan betapapun ia hendak mempertahankan, tak mungkin ia menangkis serangan garuda sehebat itu hanya dengan tangan yang sudah penat. Gerakan menyelamatkan dirinya secara otomatis membuat ia menggunakan pula tangan kanan, lupa bahwa tangan kanannya tak boleh dilepaskan dari kaki rajawali. Begitu ia menggerakkan tangan kanan melepaskan kaki rajawali, tentu saja tubuhnya terlepas dan melayang ke bawah.

“Mampus aku sekarang....!” Ia mengomel karena jengkel akan kebodohannya sendiri, akan tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang, “....kalau Tuhan menghendaki....!”

Akan tetapi betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh meluncur ke bawah sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah yang berbatu? Betapapun lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai tubuhnya yang meluncur turun cepat sekali, seperti batu disambitkan.

Bukan main herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan mata ini seperti dalam mimpi ia melihat wajah yang berubah-ubah. Pertama wajah Milana, kemudian berubah menjadi wajah Kwi Hong, dan berubah lagi menjadi wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai.

Gila, ia menyumpah. Mengapa dalam menghadapi maut yang agaknya sekali ini tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya jadi kacau-balau dan ia teringat akan gadis-gadis itu? Inikah yang disebut watak mata keranjang seorang pria? Ayahnya memperkosa ibu-nya! Ayahnya dan ibunya saling bunuh! Anak haram, kata Ketua Thian-liong-pang. Anak seorang datuk kaum sesat, seringkali ia mendengarnya. Dan dia masih cucu keponakan seorang tokoh Thian-liong-pang yang mukanya seperti singa. Orang macam apakah dia? Mati pun tidak ada yang kehilangan.






Pikiran ini membuat dia makin tenang, karena ia berpendapat bahwa orang seperti dia ini kalau terus hidup pun hanya akan mengalami kesengsaraan dan penghinaan, mengalami tekanan batin dan tidak dihargai orang. Satu-satunya orang yang paling baik terhadapnya adalah suhunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi suhunya itu telah dibunuh secara mengerikan oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang tinggi kurus itu bersama pembantu-pembantunya.

Tidak, dia tidak boleh mati! Biarpun kalau hidup ia mengalami kesengsaraan batin, akan tetapi dia harus hidup untuk menuntut balas atas kematian Siauw Lam Hwesio yang demikian menyedihkan! Dan dia masih meninggalkan sepasang pedang pusaka yang belum diambilnya. Sayang kalau pedang itu tersia-sia hilang di tempat rahasia itu. Kini timbul keinginan hatinya untuk menyerahkan pedang itu kepada Pendekar Siluman, satu-satunya orang yang dikaguminya diantara seluruh tokoh sakti di dunia ini.

“Aku tidak mau mati dulu!”

Bun Beng berteriak diluar kesadarannya dan tiba-tiba ia melihat seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka, apakah ia dikejar dua ekor burung tadi? Ah, tidak, burung ini berada di bawahnya, bergerak-gerak terbang menyongsongnya, tentu akan menyerangnya pula. Dalam keadaan melayang dan meluncur turun ini, sedangkan menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu, bagaimana ia akan dapat mempertahankan diri kalau burung raksasa ini menyerangnya?

Ah, dia akan tertolong kalau dapat menangkap burung itu. Asal dapat menangkapnya, entah merangkul lehernya atau merangkul kakinya, pendeknya dia harus dapat mengunakan burung itu sebagai penyelamatnya dari kejatuhan yang tak dapat disangsikan lagi akan kehancuran tubuhnya.

Kalau tadi timbul kengerian karena takut diserang burung baru ini, sekarang dia malah mengharap agar burung itu benar-benar menyerangnya. Karena kalau dia yang harus menuju ke burung itu, tentu saja tidak mungkin. Tanpa sayap mana mungkin dia bisa mengatur meluncurnya itu?

Makin dekat.... dan Bun Beng kembali menyumpah,
“Dasar awak sialan!”

Yang disangkanya burung raksasa itu ternyata hanyalah sebuah layangan besar sekali. Memang bentuknya seperti burung, bahkan dilukis seperti burung, akan tetapi tetap saja benda itu hanya sebuah layang-layang yang biasa menjadi permainan seorang kanak-kanak! Apa artinya sebuah layang-layang baginya dalam keadaan terancam bahaya maut seperti itu? Seakan-akan malah mengejeknya, bergerak-gerak ke kanan kiri dipermainkan angin.

Melihat betapa layang-layang itu bergerak-gerak seperti seekor burung yang menari-nari mengejeknya, timbul rasa panas di hati Bun Beng. Memang dia terancam bahaya maut, akan tetapi sedikit pun dia tidak takut. Mengapa harus diejek? Karena dia tidak berdaya membalas, kalau dia dapat tentu akan ditangkapnya layang-layang itu dan dicabik-cabiknya, maka Bun Beng hanya memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya meluncur terus ke bawah.

Teringat ia ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali terbang dan berada di dalam keranjang, akan tetapi di bawahnya adalah laut luas sehingga dia terjatuh dengan empuk. Hanya satu perbedaannya, kalau dahulu di waktu dia masih kecil dia menjadi pingsan ketika meluncur turun, kini dia dapat mempertahankan diri dan tidak menjadi pingsan.

Hal ini karena sin-kangnya sudah bertambah jauh lebih kuat, maka ia merasa dadanya sesak dan sukar bernapas namun ia masih dapat menahannya dan masih dalam keadaan sadar sepenuhnya, merasakan betapa tubuhnya melayang turun dengan kecepatan yang mengerikan.

Tiba-tiba ia merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka mata, ia melihat bahwa kedua kakinya terlibat oleh sehelai tali yang cukup besar, sebesar kelingking. Tubuhnya yang bergantung itu bergoyang ke kanan kiri, akan tetapi tidak melucur ke bawah lagi. Ia melihat ke atas, di atas kepalanya, tidak begitu tinggi, hanya sejauh lima enam meter, tampak layang-layang raksasa tadi bergerak-gerak.

“Setan! Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si keparat!”

Tiba-tiba Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan mata terbelalak ia melihat bahwa di bawah layang-layang itu tampak seorang kakek berdiri di tali-temali layang-layang, seorang kakek yang bertubuh pendek, berjenggot panjang dengan rambut terurai lepas, melambai tertiup angin.

Yang membuat ia terkejut adalah wajahnya berwarna kekuningan mendekati putih, hanya karena jenggot dan rambutnya sudah berwarna putih perak maka wajahnya tampak menguning! Seorang tokoh Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Orang dari mana lagi kalau bukan dari Pulau Neraka yang memiliki kulit kuning seperti dicat itu?

Timbul harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali layang-layang, tentu ia pun dapat. Harapan untuk hidup membuat Bun Beng sadar dan cepat-cepat ia menggunakan kedua tangannya memegang tali layang-layang dengan erat, kemudian melepaskan kakinya dari belitan dan membalikkan tubuh sehingga kini dia bergantung pada tali layang-layang itu, kedua tangannya memegang erat dan kedua kakinya ia libatkan.

Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu makin kacau gerakannya, bergoyang ke kanan kiri, kadang-kadang menukik turun dengan kecepatan mengerikan dan mengeluarkan bunyi angin bercuitan.

“Setan! Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau datang mengacau layang-layangku, heh? Lekas.... wah celaka, pindahkan berat tubuhmu ke kanan, injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke atas. Wah-wah.... celaka, bisa terus layang-layang ini. Sialan, kau merampas kegembiraanku!”

Tidak usah dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa bahayanya “menunggang” layang-layang dengan bergantungan pada talinya. Ketika layang-layang itu menukik turun, dia menjadi ngeri sekali. Mengertilah dia bahwa kakek Pulau Neraka yang aneh itu tadi “mengemudikan” layang-layang secara aneh dan biarpun di dalam hatinya dia tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka yang dianggapnya jahat, namun mendengar perintah itu, otomatis dia mentaatinya.

Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanyalah orang senasib sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau berhasil sama-sama selamat. Dia mengerahkan tenaganya ke kanan menginjak tali layang-layang dan mengenjot tubuh ke atas.

Benar saja, layang-layang yang kehilangan gandulan dan bobot di bawah itu segera menghentikan gerakan menukik ke bawah, kepalanya kembali ke atas dan kini layang-layang itu menjadi “odek” (bergoyang-goyang ke kanan kiri cepat sekali) membuat tubuh Bun Beng terbawa goyang-goyang membuat kepalanya pening karena tubuhnya seperti dikocok ke kanan kiri.

“Setan udara! Apakah engkau sudah bosan hidup? Jangan pegang erat-erat, layang-layang menjadi odek tidak karuan, sialan!”

Biarpun dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka berdua tergantung dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan bertanya.

“Habis bagaimana, Kakek yang baik?”

“Wah-wah, kau mulai menjilat-jilat, ya? Heiii, bukankah aku pernah melihat tampangmu?”

Bun Beng menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik ke bawah, dia mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh perhatian dan.... teringatlah ia bersama Milana ditolong oleh kakek muka kuning yang aneh. Kiranya inilah orangnya! Tak salah lagi.

Biarpun kini kelihatan lebih tua dan memakai sepatu pula, tidak bertelanjang kaki macam dulu, namun sikap aneh kakek itu malah bertambah dan sikap inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi dia pun teringat betapa dalam pertemuan-pertemuan pertama itu dia telah mengakali kakek ini untuk dapat melarikan diri bersama Milana, maka ia menganggap bahwa tidaklah cerdik untuk mengakuinya.

“Aku tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe.”

“Ahhh, bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm.... kalau saja engkau sudah tua dan kepalamu botak.... heiii, kau mau kemana?”

Bun Beng tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah dan maklum bahwa kalau dia merosot turun melalui tali layang-layang itu, dia akan dapat sampai ke bumi dan dapat membebaskan diri. Maka kini dia mulai melorot turun sambil berkata,

“Locianpwe, aku mau turun, tidak kerasan disini!”

“Eh, eh, enak saja! Mana bisa?”

Kakek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba layang-layang itu menukik ke kiri, kemudian membuat gerakan melingkar sehingga tali itu pun menggantung dan ikut pula berputar.

“Wuuuttt!”

“Aihhh....!”

Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan, bergantung pada tali agar jangan sampai terkena patukan layang-layang yang menyambar ke arah tubuhnya! Serangan aneh layang-layang itu luput, akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan kepandaiannya yang dahsyat, tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia meloncat turun dan akan hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tubuhnya, menarik-narik tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang itu menjadi kacau balau gerakannya.

“Eh.... Ohh.... setan cilik! Jangan kacau layanganku!” Kakek itu terkejut dan memaki-maki.

Bun Beng tersenyum.
“Kalau Locian-pwe tetap menyerangku, aku pun akan tetap menarik-narik tali layangan sampai putus, biar kita berdua mampus!”

“Eh, jangan, eh.... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?”

“Masa bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Akan tetapi Locianpwe akan terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke neraka!”

“Hahh-ho kalau neraka memang tempatku. Akan tetapi jangan.... biarlah kita berjanji, aku tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan menarik-narik talinya.”

“Aku berjanji tak akan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan menghalangi aku turun.”

“Wah, perjanjian kentut! Mana bisa begitu? Aku tidak menyerangmu dan kau tidak menarik-narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah lagi kau kubiarkan turun berarti kau minta dua memberi satu. Mana adil?”

“Kalau aku tidak boleh turun, apa artinya perjanjian ini? Locianpwe mau menang sendiri saja. Aku hendak turun, Lo-cianpwe menghalang, maka aku menarik tali. Kalau Locianpwe tidak melayani aku turun, aku tidak akan menarik talinya, itu baru adil namanya.”

“Wah, monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha, nah, kau turunlah, hendak kulihat bagaimana!” Tiba-tiba angin bertiup keras sekali membuat layang-layang itu terbang miring ke kiri.

“Wuuuutttt....!”

“Aihhh, celaka. Jangan erat-erat memegang talinya, longgar-longgar saja, kau mengganggu kendaliku!” Kakek itu memindahkan berat tubuhnya dan meloncat ke pinggir kanan layang-layang itu.

“Siuuuttt....!”

Kini layang-layang miring ke kanan dengan cepatnya sehingga tubuh Bun Beng terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan, membuat kepalanya pening dan jantungnya berdebar penuh kengerian.

“Aku mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak akan menyerangku!”

Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada kakek yang ia tahu amat cerdik dan curang itu.

“Apa? Bersumpah?” Kakek itu tertawa-tawa dan kini layang-layang kembali telah lurus dan tenang. “Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah dan lima puluh kali melanggarnya, kini ditambah satu kali sumpah untuk dilanggar lima kali, tidak mengapalah!”

“Wah, sumpah seperti itu apa harganya?”

Bun Beng mendongkol sekali dan maklum bahwa sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa geli juga. Kakek ini curang ataukah jujur? Mengapa kebiasaan melanggar sumpah dia katakan secara terus terang macam itu? Tidak curang tidak jujur, melainkan gila agaknya!

“Kalau begitu, biar kutarik putus tali ini!” katanya dan mulai menarik-narik lagi.

“Eit-eit-eiitt....! Jangan! Biarlah, tanpa sumpah-sumpahan. Kau boleh turun tanpa kuhalangi, akan tetapi kau harus memberitahukan namamu.”

Bun Beng berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat. Orang-orang Pulau Neraka tentulah bukan golongan bersih, maka apa salahnya kalau dia mengaku? Sesama kaum tentulah tidak ada pertentangan.

“Baiklah, Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng....”

“Astaga! Engkau bocah yang dulu kucari-cari? Bocah yang ditinggalkan Ibumu di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho? Ha-ha-ha, engkau putera Gak Liat Si Botak! Pantas saja aku seperti pernah melihat macammu, kiranya anak Si Gak Liat, Si Setan Botak. Ha-ha-ha-heh-heh-heh!”

Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan memegangi tali layang-layang, tangan kiri menekan-nekan perutnya. Mengkal sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu.

“Kakek gila, engkau terlalu menghina orang! Siapa sih engkau yang begini sombong? Dan apa hubunganmu dengan Ayah Bundaku?”

“Ha-ha-heh-heh-heh!”

Kakek itu masih terpingkal-pingkal bahkan saking geli hatinya, air matanya bercucuran di atas pipinya yang kuning.

“Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia kang-ouw aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan tetapi aku baru beberapa tahun merantau. Dalam perantauanku yang pertama, kebetulan sekali aku bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat Ayahmu, kami bertanding dan aku membuat dia payah sampai terkencing-kencing! Ha-ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia mengangkat aku sebagai kakak angkat! Lalu dia menceritakan bahwa yang membuat dia sering kali tak dapat tidur adalah perbuatannya atas diri Bhok Kim murid Siauw-lim-pai.

Dia mendengar kabar bahwa wanita itu melahirkan seorang putera sebagai akibat perbuatannya yang memperkosa wanita itu. Dia berpesan agar aku kelak mengambil anaknya itu sebagai anak angkat. Ha-ha-ha, biarpun hasil perkosaan, namun Gak Liat amat sayang kepada anaknya karena memang dia tidak pernah punya keturunan. Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas bersama Ibumu, aku lalu menyuruh anak buahku untuk merampasmu, akan tetapi....”

“Anak buahmu keok semua oleh Pendekar Siluman! Sudahlah, aku tidak perlu mendengar lebih lanjut. Eh, apakah Locianpwe ini Majikan Pulau Neraka?”

Kakek itu mengangguk.
“Aku memang Ketua Pulau Neraka.... eh, maksudku, bekas ketua.”

Bun Beng tidak ingin tahu lebih banyak tentang pulau itu, maka ia lalu melorot terus sambil berkata,

“Sudahlah. Aku sudah mengaku namaku, sekarang aku akan turun.”

“Wah, mana bisa? Kalau kau turun kemudian kau memutuskan tali layang-layang dari bawah, bukankah aku yang cialat?”

Bun Beng berhenti dan memandang ke atas, alisnya terangkat.
“Apakah Lo-cianpwe tidak percaya kepadaku? Aku bukanlah orang yang curang seperti Lo-cianpwe!”

“Heh-heh-heh, siapa tahu? Engkau anak Setan Botak dan dalam hal kelicikan, kecurangan dan segala macam sifat busuk ini, di dunia tidak ada yang menyamai dia, siapa tahu sifat liciknya menurun kepadamu. Tunggu, aku pun akan turun!”

Bun Beng tidak peduli dan melanjutkan usahanya merosot turun melalui tali layang-layang, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak.

“Wah, celaka tiga belas! Taufan datang....!”

Teriakan itu dikeluarkan dengan suara keras dan penuh rasa kaget, membuat Bun Beng menengok. Dari jauh tampak awan hitam datang cepat sekali dan tak lama kemudian, layang-layang itu meliuk ke kiri dengan kekuatan yang hebat.

“Lekas kita turun, Locianpwe!”

“Tidak bisa, terlambat! Lekas kau naik kesini kalau mau selamat!”

Bun Beng tidak mau menurut dan hendak merosot terus, akan tetapi tiba-tiba tali layang-layang itu menegang dan bergetar hebat sehingga hampir saja ia tidak kuat bertahan memeganginya karena telapak tangannya terasa nyeri bukan main. Maklumlah ia bahwa kakek itu tidak membohong, maka kini dia mulai merayap naik melalui tali layang-layang.

“Cepat pegang tanganku!”

Kakek itu berkata, napasnya agak terengah karena dia yang kini mengulurkan tangan untuk membantu Bun Beng naik, harus mengendalikan layang-layang yang menjadi liar itu dengan sebelah tangan saja. Bun Beng memegang tangan itu dan dia ditarik naik.

“Berdiri disini, dan pegang tali-temali di atasmu dengan tangan, hati-hati jangan banyak bergerak dan jangan terlalu erat. Turut dan contoh saja aku!”

Kakek itu tidak dapat bicara banyak karena kini angin taufan telah mengamuk hebat, membuat layang-layang itu menjadi seperti seekor kuda binal dan tidak dapat dikendalikan lagi. Layang-layang itu kadang-kadang naik makin tinggi, tinggi sekali sampai melengkung seperti akan membalik dari arah angin, kemudian terdorong kembali ke belakang dan talinya menegang, meliuk ke kiri sampai seperti tak pernah berakhir, kemudian terdorong ke kanan dan ada kalanya menukik ke bawah secara mengerikan karena kecepatannya luar biasa.

Suara angin bercuitan menulikan telinga, dan tali layang-layang itu juga mengeluarkan bunyi bordering-dering seperti sehelai tali yang-kim ditabuh, suaranya kadang-kadang rendah sesuai dengan tinggi rendahnya getaran yang disebabkan oleh tarikan layang-layang yang terbawa angin taufan.

Kakek itu memaki-maki Bun Beng.
“Sialan! Bodoh seperti kerbau engkau! Begini lho! Tekan kaki kanan ke depan, cepat. Bantu aku dong! Bagaimana sih? Setan cilik tolol kau! Dengar baik-baik, jangan sampai layang-layang terus menukik, dan jangan sekali-kali menentang arah angin langsung. Bisa celaka kita! Pindahkan tenaga ke kaki kiri, kaki kanan lepas, tangan kanan menarik tali di atas, cepat! Nah, sekarang kaki kanan yang menekan, tangan kiri menarik. Hayo, seperti bermain layar, akan tetapi jauh lebih sukar, seratus kali lebih sukar!”

Payah juga Bun Beng mengikuti gerakan dan perintah kakek itu. Tenaga yang dipergunakan untuk melawan kekuatan angin ini merupakan tenaga seluruhnya, itu pun hampir tidak ada artinya terhadap kekuatan angin yang maha dahsyat itu.

Kini kakek itu memerintahkan agar tenaga dirobah-robah, bagaimana mungkin begitu mudah? Hampir beberapa detik harus dirobah lagi. Bun Beng merasa seluruh tubuhnya ngilu dan sakit-sakit, kedua kakinya menggigil dan kedua tangannya gemetar, hampir tak kuat memegang tali-temali layang-layang lebih lama lagi.

“Tolol! Jangan berhenti! Aku sendiri mana kuat mengemudikan layang-layang ini? Kalau tidak ada engkau disini, tentu aku dapat, akan tetapi ditambah beratmu, benar-benar repot!”

Sementara itu, angin bertiup makin keras, kini malah disertai kilat menyambar-nyambar, halilintar bermain-main di atas dan kanan kiri mereka. Cuaca menjadi gelap, bahkan kini percikan air-air halus yang amat kuat sehingga seperti berubah menjadi laksaan jarum-jarum kecil menerjang mereka.

“Celaka.... celaka....!”

Kakek itu makin repot dan jelas bahwa dia ketakutan. Bun Beng yang biasanya senang menghadapi maut, menyaksikan sikap kakek itu ketularan rasa takut. Memang keadaan amat mengerikan, dibawa oleh layang-layang dan dipermainkan angin taufan, halilintar dan hujan seperti itu!

“Dengar baik-baik kalau kau tidak ingin mati turut perintahku dan pelajari agar jangan sampai gagal. Taufan ini berbahaya sekali, untuk turun sekarang tidak mungkin. Satu-satunya jalan hanya mengemudikan layang-layang ini sebaik mungkin agar tidak sampai menukik turun atau talinya putus.”

Kakek itu sukar sekali bicara dengan jelas karena kencangnya angin meniup terbang suaranya. Terpaksa ia lalu merangkul Bun Beng dan berteriak.

“Rangkul aku dan dekatkan telingamu pada mulutku!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar