FB

FB


Ads

Kamis, 08 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 034

“Wi Siang kau bantulah Lo-mo menangkap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia mengeluarkan seluruh ilmunya,”

Bisiknya dengan tertarik sekali sambil duduk kembali ke atas kursinya untuk menonton dan mempelajari jurus-jurus yang dimainkan Bun Beng.

Tang Wi Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu pernah menolongnya ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau Sungai Huang-ho dan hampir celaka oleh ilmu sihir Lama itu. Dia meloncat dan menyerang Bun Beng dengan gerakan lincah sekali.

Bun Beng terkejut. Dia maklum bahwa wanita ini memiliki gerakan yang cepat luar biasa dan mungkin lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo. Dan memang dugaannya benar, Tang Wi Siang menjadi orang yang paling disayang dan dipercaya oleh Nirahai diantara para pembantunya, maka wanita itu dia beri pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi daripada pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang telah dia beri Ilmu Silat Yancu-sinkun (Ilmu Silat Burung Walet) yang mengandalkan gerakan gin-kang tinggi sekali.

Menghadapi Sai-cu Lo-mo saja dia sudah merasa berat, bukan hanya karena kakek itu lihai sekali, juga ia merasa enggan untuk melukai orang tua paman ibunya ini. Sekarang ditambah lagi dengan Tang Wi Siang, dia benar-benar menjadi terancam hebat.

Gerakan penyerangan Wi Siang demikian cepatnya seolah-olah kedua lengan wanita itu berubah menjadi enam dan karena Bun Beng harus menjaga jangan sampai ia tertawan oleh kakek itu, sebuah totokan tangan kiri wanita itu ke arah lehernya tak dapat ia elakkan lagi.

Akan tetapi, ternyata tangan itu tidak dilanjutkan menotok, hanya mendorong pundaknya sehingga ia terpental dekat anak tangga. Ia meloncat lagi dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua Thian-liong-pang yang sedang memandangnya penuh perhatian, ia menjadi terkejut sekali dan sadar bahwa Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu Lo-mo tentu hanya mendesaknya agar dia mengeluarkan semua jurus ilmunya, yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua itu hendak menyaksikan dan mencuri ilmu itu dengan jalan melihat gerakan-gerakannya!

Bun Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapapun juga, dia takkan mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun tangan, betapapun dia melawan akan percuma saja, maka dia mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan ilmunya agar tidak dicuri oleh Ketua itu.

Tak mungkin engkau akan dapat mencuri jurus-jurus simpanan Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng, pikirnya dan kini ia melawan dengan gerakan sederhana sehingga dalam belasan jurus saja ia telah roboh tertotok oleh Sai-cu Lo-mo.

Nirahai menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa pemuda bandel itu sengaja tidak memperlihatkan jurus-jurus aneh itu, dan sengaja membiarkan dirinya tertangkap!

“Lempar dia ke dalam penjara di bawah tanah!” bentak Ketua Thian-liong-pang. “Jangan keluarkan sebelum dia mentaati perintah!”

Sai-cu Lo-mo terkejut dan memandang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata ketuanya jelas menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam saja melihat tubuh pemuda itu diseret oleh dua orang petugas yang membawa ke tempat tahanan di bawah tanah yang letaknya di sebelah belakang kompleks bangunan-bangunan sarang Thian-liong-pang.

Biarpun tubuhnya sudah lemas tertotok, ketika ia diseret pergi, Bun Beng masih mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang,

“Lanjutkan pesta dan pertandingan!”

Dia merasa puas dapat menangkap kemarahan dan kejengkelan dalam suara itu. Dia telah kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw, namun sedikitnya dia telah berhasil membuat Ketua Thian-liong-pang kecewa, terhina dan marah-marah!

Tahanan di bawah tanah itu amat menyeramkan. Dua orang petugas yang kini menggotong tubuh Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong bawah tanah yang menurun melalui anak tangga batu. Lorong yang gelap dan di tiap tikungan terdapat pintu besi yang terjaga oleh dua orang anggauta Thian-liong-pang. Setelah melalui tujuh pintu, sampailah mereka di sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng dilempar ke dalam kamar ini.

Bun Beng tidak memperhatikan tempat itu, juga tidak peduli ketika pintu kamar itu ditutup dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha membebaskan totokan agar jalan darahnya mengalir normal kembali. Dia maklum bahwa tanpa usaha inipun, akhirnya totokan itu akan punah, akan tetapi, hal itu akan makan waktu beberapa jam lamanya.

Akhirnya dia berhasil memulihkan kembali jalan darahnya dan ia bangkit duduk, bersila dan menghimpun tenaga karena mulai saat itu dia harus berlaku hati-hati dan tenaganya harus pulih untuk meghadapi segala kemungkinan.

Kurang lebih sejam lamanya dia bersiulian, tidak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Setelah tenaganya pulih dan batinnya tenang kembali, barulah Bun Beng menghentikan samadhinya dan membuka mata.

Mula-mula yang ia dapati adalah bahwa kamar itu agak gelap, remang-remang dan lembab. Kemudian setelah membiasakan matanya dalam cuaca yang remang-remang itu, ia bangkit berdiri dan mulai menyelidiki kamar tahanan.

Sebuah kamar berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi, langit-langitnya juga batu, tingginya dari lantai ada empat meter. Tidak ada jendelanya, hanya terdapat sebuah pintu dari mana dia dilempar masuk. Pintu ini kecil hanya cukup dimasuki satu orang, dan terbuat dari baja tebal yang masuk ke dalam dinding batu. Kokoh kuat pintu itu, tak mungkin dibongkar.

Bun Beng menarik napas panjang karena sekali pandang saja dia maklum bahwa tidak mungkin lolos dari tempat ini menggunakan tenaga membongkar pintu atau menjebol dinding. Harus mencari akal. Namun, andaikata dia dapat keluar, bagaimana ia dapat lolos dari Thian-liong-pang? Lorong itu saja mempunyai tujuh buah pintu yang terjaga, belum lagi diingat bahwa kalau dapat keluar dari lorong bawah tanah, di atas sana masih ada tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama sekali Ketuanya!

“Aku harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya,” akhirnya ia menghibur diri sendiri.

Betapapun juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh, karena selain Sai-cu Lo-mo mengaku sebagai kakeknya itu tidak suka melihat keturunannya terbunuh, juga Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin sekali mendapatkan ilmu silatnya, terutama sekali Sam-po-cin-keng! Betapapun, dia masih memiliki ilmu sebagai “modal” untuk hidup! Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu mencari tempat duduk di lantai yang enak.

Akan tetapi, mana ada tempat duduk yang enak? Lantai itu terbuat dari batu pula, kasar dan agak basah karena selalu ada air menitik turun dan di atas lantai tampak rangka-rangka manusia berserakan!

Bun Beng mengerutkan keningnya. Ada tujuh buah tengkorak manusia di dalam kamar mereka itu. Siapa tahu mungkin lebih banyak lagi, tersembunyi di balik batu-batu berlumut. Dia tidak peduli, akan tetapi, rangka-rangka manusia di situ memperingatkannya bahwa kalau dia tidak mentaati perintah Ketua Thian-liong-pang dan tidak mau menjadi anggautanya, tanpa dibunuh pun dia akan mati di tempat ini, seperti rangka-rangka itu! Akan tetapi, mungkinkah kakek muka singa yang telah berani mati membelanya itu akan membiarkan dia mati?






Tidak! Dia tidak boleh mati kelaparan di tempat ini. Dia harus berusaha untuk keluar dari neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidikan. Mula-mula dia memeriksa pintu itu dan mencoba tenaganya. Namun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin ia menjebol pintu yang amat kuat itu. Dia lalu memeriksa dinding batu. Dinding yang amat kokoh, batu bertumpuk dengan tanah yang keras. Kokoh kuat tak mungkin dibongkar dengan tangan kosong.

Siapa tahu, akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau mereka, terutama kakek muka singa, tidak menghendaki dia mati, tentu mereka akan mengirim makanan dan minuman. Dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibiarkan mati begitu saja sebelum dibujuk. Maka ia menghentikan pemeriksaannya dan kembali duduk di sudut kamar itu, bersila dan bersamadhi.

Teringat ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Sudah berkali-kali, semenjak terseret oleh pusaran maut air Sungai Huang-ho, dia terancam bahaya maut, bahkan terpaksa harus hidup diantara sekumpulan monyet, dibawa terbang burung raksasa dan jatuh terlepas ke atas laut, namun selalu dia tertolong!

Kalau Thian menghendaki, sekali inipun dia tentu akan selamat. Teringat akan kekuasaan Tuhan, Bun Beng menjadi tenang. Manusia hidup tergantung dari kekuasaan Tuhan, mutlak dan seluruhnya! Tanpa kekuasaan Tuhan, manusia tak mungkin dapat hidup. Detik jantung yang memompa darah ke seluruh bagian tubuh, pernapasan yang memberi makan darah, semua berjalan otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam tidur sekalipun, detik jantung dan pompa paru-paru tetap bekerja, siapa yang mengerjakannya kalau bukan kekuasaan Tuhan?

Dalam keadaan sunyi gelap menghadapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng makin dekat dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan wejangan-wejangan gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan Tuhan dan betapa lemahnya manusia, betapa tidak ada artinya. Ingin ia tertawa karena geli hatinya kalau teringat akan wejangan suhunya dahulu. Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan kelemahan manusia?

Orang yang merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh orang, demikian antara lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki puluhan ribu rambut dan bulu di tubuhhya, namun mengatur pertumbuhan sehelai rambut atau bulunya saja dia tidak mampu! Jangankan mengatur pertumbuhan kuku, mengatur detik jantung, menentukan mati hidupnya! Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah manusia dapat hidup dan mati!

Pelajaran seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar kepercayaannya kepada Tuhan sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya maut, karena ia sudah merasa yakin sepenuhnya, bahkan sudah berkali-kali mengalaminya dalam hidup, bahwa apapun yang terjadi, baru dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki.

Kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menghindarkannya dari kematian. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki dia hidup, juga tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membuat dia mati! Apalagi hanya kekuasaan manusia, biar dia sesakti Ketua Thian-liong-pang sekalipun. Teringat akan semua ini Bun Beng tertawa. Ingin dia bertanya kepada Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu apakah dia mampu mengatur pertumbuhan rambut-rambutnya, tidak usah semua, sehelai saja!

Betapapun juga, Tuhan takkan menolong manusia yang tidak berusaha menolong dirinya sendiri. Usaha atau iktiar merupakan kewajiban manusia yang sekali-kali tidak boleh dihentikan selama dia hidup. Adapun akan jadinya, terserah kepada kekuasaan Tuhan, akan tetapi dia harus berusaha menyelamatkan diri. Kalau Tuhan menghendaki dia mati akan matilah dia. Mati dibunuh Ketua Thian-liong-pang, atau mati kelaparan di situ, atau mati dalam usahanya menyelamatkan diri, semua itu hanya dijadikan lantaran atau jalan, dipilih oleh Tuhan sebagai penyebab kematiannya.

Pikiran ini membuat Bun Beng menjadi tenang sekali, sedikit pun dia tidak merasa khawatir karena hatinya telah bebas daripada keinginan hidup atau mati, sudah ia serahkan seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia hanya memutar otaknya mencari jalan keluar, bagaimana harus menggunakan akal.

Setelah keadaan di dalam kamar tahanan itu gelap pekat, tanda tentu di luar ada api penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya, terlentang di atas lantai batu yang lembab dan tertidurlah dia karena hatinya tenang.

Sinar yang membuat keadaan gelap pekat itu menjadi remang-remang membangunkannya. Ia menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit menerangi kamar itu berbeda dengan cahaya semalam, cahaya matahari yang putih dengan cahaya lampu kemerahan.

Sebuah kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala Sai-cu Lo-mo! Kemudian, tangan kakek itu diulurkan di antara jeruji, membawa dua potong roti kering yang panjang dan seguci air.

Bun Beng dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam kata-kata kakek itu. Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua lengan kakek yang diulur masuk melalui jeruji besi. Apa gunanya? Dia tidak akan dapat memaksa kakek ini, dan tidak dapat pula mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.

“Terima kasih.”

Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering. Dua potong roti itu cukup baginya untuk mengenyangkan perutnya, kemudian ia minum air jernih yang menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum, Bun Beng yang melihat kakek itu masih berdiri di luar pintu dan sejak tadi memandangnya bertanya.

“Sampai berapa lama aku akan ditahan disini? Apakah makanan dan minuman diberi racun perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu silat untuk dipelajari Pangcumu?”

Sai-cu Lo-mo menggeleng kepalanya.
“Tidak, Bun Beng. Engkau adalah cucuku, engkau dianggap sebagai orang sendiri, tidak perlu Pangcu mempelajari ilmumu yang kelak akan ditukar dengan ilmu yang lebih tinggi oleh Pangcu sendiri. Bun Beng, tidak tahukah engkau bahwa kami bermaksud baik kepadamu? Engkau cucuku, hanya satu-satunya, maka engkau tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi anggauta Thian-liong-pang, engkau malah akan memperoleh kedudukan tinggi, sesuai dengan kepandaianmu.”

Bun Beng menggeleng kepala. Biarpun dia harus berusaha meloloskan diri, akan tetapi tak pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan merendahkan diri menjadi anggauta Thian-liong-pang yang ia anggap amat jahat dan keji!

“Percuma saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi angauta Thian-liong-pang, hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil keluar dari sini, aku tetap akan menentang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw.”

“Ahhh, engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang yang bijaksana, sama sekali bukan orang jahat. Bahkan dia telah merobah Thian-liong-pang dari kesesatannya, kembali ke jalan benar. Kalau dia melakukan penculikan atas diri tokoh-tokoh kang-ouw itu sekali-kali bukan dengan niat mencelakakan mereka, melainkan hendak mempelajari dan menyaksikan jurus-jurus rahasia mereka yang telah diketahui Pangcu bagian teorinya saja. Kemudian mereka dibebaskan kembali. Pangcu adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat!”

“Hemmm, kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?”

“Pangcu tidak akan menggunakan ilmu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun, kemudian menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau Es.”

Bun Beng mengerutkan keningnya.
“Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku kagum dan suka kepada Pendekar Siluman yang aku yakin adalah seorang yang selain sakti, juga amat bijaksana. Kalau Pangcumu memusuhi Pendekar Siluman, sudah pasti sekali aku berpihak kepada Majikan Pulau Es itu!”

Sai-cu Lo-mo kelihatan berduka.
“Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau menyusahkan hati seorang tua seperti aku? Apa perlunya engkau mencampuri segala urusan yang tiada sangkut-pautnya denganmu? Engkau menyerah dan taatlah, dan aku bersumpah bahwa kelak engkau tidak akan menyesal. Akan kau lihat sendiri kebaikan Thian-liong-pang!”

“Maaf, aku tetap tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang.”

“Bun Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya adalah mentaati Pangcu dan aku hanya diperbolehkan membujukmu selama tiga hari. Kalau selama itu engkau belum menurut, engkau akan menjadi tahanan disini selamanya! Dan engkau.... engkau akan mati dengan sia-sia....”

“Menyesal sekali. Aku lebih memilih bahaya mati daripada harus menuruti kehendak Pangcumu yang seperti iblis itu!”

Kakek itu menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka. Selama tiga hari terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun Beng tidak mau menuruti bujukannya. Bahkan pemuda itu kini tekun dengan penyelidikannya. Dibongkarnya batu-batu di lantai di antara tulang-tulang rangka manusia dan ia menemukan sebuah kapak bergagang panjang. Tentu ini merupakan senjata dari seorang diantara mereka yang telah menjadi rangka itu.

Kemudian ia memeriksa dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih berlumut dan dingin sekali. Kalau ia menempelkan telinganya di situ, mendengar bunyi air berkerosok. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tentu dinding ini yang paling tipis sehingga dia dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan tetapi mengapa ada air di balik dinding ini?

Setelah hari ke tiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan sia-sia, kakek itu tidak muncul lagi. Setiap malam ada seorang penjaga melemparkan roti kering dan guci air ke dalam kamar tahanan. Dan mulailah Bun Beng bekerja. Dengan kapak gagang panjang itu dimulai membongkar batu dinding kanan sekuat tenaga.

Dia bekerja setelah penjaga melemparkan makanan. Setelah menghabiskan roti dan air, mulailah dia menghantami dinding batu dengan kapaknya. Dia mempunyai waktu sehari semalam lamanya. Besok malam, barulah ada penjaga datang untuk memberi makanan dan minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam ini, karena kalau tidak, tentu penjaga akan melihatnya dan dia akan ketahuan, yang berarti gagal!

Bun Beng bekerja dengan semangat menyala-nyala. Tak pernah sedetikpun ia berhenti dan dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang sudah lecet-lecet dan otot-otot lengannya yang menggelepar-gelepar di dalam daging. Ia terus menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu dinding dapat ia bongkar, batu itu keras sekali dan semalam suntuk dia hanya dapat membongkar sedalam satu meter. Namun belum tampak tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis!

Pada keesokan harinya Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, seluruh pikiran, perhatian, dan tenaga dikerahkan untuk menghantami batu-batu dengan kapaknya. Dia tidak tahu berapa lama dia bekerja, hanya bahwa dia harus berlomba dengan waktu.

Betapapun juga, hatinya mulai risau ketika dinding yang tadinya jelas itu mulai tampak suram tanda bahwa hari telah mulai sore dan sebentar lagi malam akan tiba dan berarti Si Penjaga akan datang mengantar roti dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan ini, Bun Beng memperhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini sudah ia gali sedalam dua meter lebih, tingginya seukuran tubuhnya. Batu-batu berserakan di dalam kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di kanan kiri dan belakangnya.

Malam tiba. Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan, sinar lampu penerangan seperti biasa. Tak lama lagi penjaga tentu muncul. Bun Beng menghentikan kapaknya yang menjadi panas karena terus menerus menghantam batu keras. Dia terduduk, terengah-engah dan menghapus peluh sambil mengasah otak. Bagaimana sekarang? Dinding terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya setebal perut gunung! Dan Si Penjaga sebentar lagi datang!

Akan terbuang sia-sialah usahanya yang mati-matian selama sehari semalam! Tubuhnya penat sekali, perutnya lapar dan kerongkongannya kering, haus. Lapar dan haus! Teringat akan ini, Bun Beng meloncat bangun dan lari ke pintu, menempelkan tubuhnya ke pintu yang lebarnya hanya sebesar orang. Kedua lengannya ia keluarkan dari celah-celah jeruji baja, mukanya ia tempelkan pada jeruji dan matanya mengerling ke arah datangnya penjaga.

Ketika ia melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng berteriak-teriak memaki,
“Penjaga keparat! Mengapa begitu lama? Aku sudah kelaparan dan hampir mati kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air itu kesini! Keparat jahanam engkau!”

Penjaga itu berhenti dan tertawa.
“Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu akan akal bulusmu!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin merapat pada jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji dengan kedua lengan di kanan kiri mukanya.

“Apa.... apa maksudmu?”

Kembali penjaga itu tertawa dan berdiri agak jauh sehingga Bun Beng tidak akan mampu menjangkau dengan tangannya.

“Ha-ha-ha, apa kau kira aku bodoh? Engkau tentu ingin agar aku mendekat sehingga engkau dapat menangkapku dan membunuhku, bukan?”

Rasa lega menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak,
“Memang aku ingin sekali mencekik lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!”

“Jangan mimpi, aku lebih cerdik darimu. Begitu melihat engkau di pintu, aku sudah curiga karena biasanya engkau tidak mengacuhkan roti dan air yang kubawa untukmu. Tentu engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka aku tidak mau mendekat. Nah, nih, kau tangkap roti dan airmu. Ha-ha-ha!”

Penjaga itu melemparkan roti dan guci air ke arah kedua tangan Bun Beng. Dengan sengaja Bun Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya, akan tetapi guci air itu luput dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya tumpah.

“Jahanam, lekas ambilkan air untukku. Aku haus sekali!” Bun Beng berteriak-teriak akan tetapi penjaga itu tertawa.

“Rasakan kau!” katanya sambil berjalan pergi!

Bun Beng cepat mengambil kapaknya dan lupa makan. Dia mulai lagi bekerja, hatinya lega. Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya sehari semalam lagi! Batu-batu itu mulai mudah dibongkar karena tanahnya lembek dan basah, bahkan kini ada air menetes-netes memasuki kamar. Dia menggali terus penuh semangat.

Pada keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan kini jelas terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada batu bergerak, kapaknya terayun ke arah batu itu dan....

“krasak-krasak byuuuurrrr.”

Bun Beng cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada dinding dekat lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong oleh masuknya air seperti dituang. Bun Beng berdiri mepet dinding dengan muka pucat. Bahaya yang datang mengancamnya ini tidak kalah mengerikan.

Memang benar dia telah berhasil membobol dinding, akan tetapi ternyata di belakang dinding itu adalah air yang entah berapa banyaknya, yang kini membanjiri kamar tahanan. Bun Beng tidak mau panik, dan otaknya bekerja cepat.

Kalau dia menerobos lubang itu, tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang menerjang masuk, maka ia hanya mepet dinding dekat lubang sambil mencengkeram dinding batu dengan kedua tangannya. Dia maklum bahwa kalau kamar itu telah penuh, air akan terus menerobos keluar melalui celah-celah jeruji pintu.

Akan tetapi, mengingat bahwa lubang itu tidak begitu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka tekanan air dari luar lubang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan kenekatan luar biasa, Bun Beng menanti sampai kamar itu penuh, air naik dengan cepatnya sampai ke leher, dia memejamkan mata dan mengumpulkan napas sepenuh paru-parunya sambil menanti.

Bun Beng memang cerdik. Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang dinding selain air menerjang masuk, tentu dia akan terseret dan terbanting kembali sehingga membahayakan keselamatannya. Sebentar saja air menjadi penuh dan Bun Beng yang telah tenggelam di dalam air itu merasa betapa dorongan air dari lubang dinding yang jebol itu tidak begitu kuat lagi.

Cepat ia melepaskan cengkeraman tangannya pada dinding, berenang ke arah lubang dengan tangan meraba-raba karena ketika ia membuka matanya, dia tidak dapat melihat apa-apa, air itu keruh dan akhirnya ia dapat meraba dinding yang jebol. Ia merangkak, berpegangan pada pinggiran lubang, terus merayap keluar lubang itu.

Ketika ia meluncur ke depan, tubuhnya terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa dia berada di air yang dalam, entah telaga, sungai atau laut! Tak mungkin lautan, pikirnya, karena air tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke atas, bahkan membantu dengan kaki tangannya karena dia harus dapat tiba di permukaan air. Dadanya seperti akan meledak karena sudah terlalu lama dia menahan napas!

Betapa girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di permukaan air. Ia membuka mulut dan menghisap napas banyak-banyak sampai dadanya terasa nyeri. Ia terengah-engah, berganti napas dan membuka kedua matanya. Kiranya ia telah tiba di permukaan sebuah sungai yang amat lebar, sungai yang selain lebar juga dalam, dan airnya keruh. Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia muncul, yaitu di tengah-tengah, ia melihat kedua tepinya jauh sekali.

“Aduhh....!”

Tiba-tiba secara otomatis Bun Beng mengerahkan sin-kang membuat kakinya keras karena kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan gigitan itu dengan sin-kangnya yang membuat kaki kirinya kebal, akan tetapi kini mahluk yang mengigitnya itu meronta dan hendak menyeretnya ke bawah. Bun Beng menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor ikan menggigit kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.

“Ikan keparat!”

Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya. Ikan itu mencelat karena gigitannya terlepas dan karena dia tidak dapat tahan lama di atas permukaan air. Akan tetapi kini Bun Beng melihat suara hiruk pikuk di kanan kirinya, air berguncang dan suaranya berkecipak, tampaklah kepala-kepala dan ekor-ekor banyak ikan besar mengurungnya dan menyerangnya dari depan, kanan kiri dan belakang!

Bun Beng makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele yang tidak bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap dan matanya seperti mata orang yang licik, gerakannya cepat sekali. Biasanya ikan macam ini merupakan bahan hidangan yang lezat, baik dipanggang maupun dimasak atau digoreng sekalipun. Biasanya melihat seekor ikan seperti ini di darat menimbulkan selera.

Akan tetapi pada saat itu, agaknya selera ikan-ikan itulah yang timbul melihat tubuh Bun Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda dengan yang biasanya dilihat Bun Beng, amatlah besarnya. Belum pernah ia melihat ikan lele sedemikian besarnya, biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan lele, karena tidak mempunyai kumis!

Bun Beng tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai mengamuk. Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerangnya dari depan sehingga tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian kaki tangannya bekerja memukul dan menendang ikan-ikan itu.

“Aupp....!”

Karena lupa bahwa dia bukan sedang berada di darat, maka begitu dia main silat di air, tubuhnya tenggelam dan dia gelagapan. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya dan kini setelah tubuh atasnya timbul, ia hanya menggunakan kedua tangan saja untuk memukul dan mendorong ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya dia pergunakan untuk menahan tubuhnya agar tidak tenggelam.

Bun Beng adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, dan kalau hanya dikeroyok oleh ikan-ikan seperti itu saja, agaknya dia akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya dengan mudah.

Akan tetapi itu kalau di darat. Kalau di air, dialah yang repot sekali. Kepandaiannya berenang di air amat terbatas, bukan termasuk ahli, tentu saja dibandingkan dengan ikan-ikan yang memang hidupnya di air dia kalah jauh dan sebentar saja Bun Beng menjadi gelagapan dan sudah beberapa kali tubuhnya terkena gigitan ikan-ikan kelaparan itu.

“Celaka”, keluhnya.

Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah diancam bahaya air, dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini dia kembali menghadapi maut di mulut ikan lele! Benar-benar menyebalkan bahaya yang sekali ini mengancamnya. Betapa tidak menyebalkan kalau dia harus mati di mulut ikan-ikan lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele itulah yang mati di mulut manusia. Betapa memalukan, seorang pendekar mati dikeroyok ikan lele! Tidak, dia tidak mau mati begitu remeh! Bun Beng melawan sedapatnya sambil berusaha berenang ke tepi sungai itu.

Tiba-tiba terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap. Bun Beng mendengar ini, akan tetapi dia tidak dapat mengalihkan perhatiannya terhadap pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar tubuh menghantam seekor ikan dengan tangan kanannya, membuat ikan itu terlempar dalam keadaan mati karena kepalanya pecah.

Tiba-tiba saja, seperti munculnya tadi, ikan-ikan itu menyelam dan lenyap, kecuali beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum Bun Beng sempat sadar akan datangnva bahaya lain, tahu-tahu pundaknya terasa nyeri dan tubuhnya melayang ke atas!

Bun Beng terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar kelepak sayap burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia duga dan khawatirkan, pundaknya telah dicengkeram oleh kaki seekor burung rajawali yang besar dan ia dibawa terbang tinggi sekali!

“Sialan!”

Bun Beng menyumpahi dirinya. Terlepas dari mulut ikan lele, kini masuk ke dalam cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa dirinya selalu ditimpa kemalangan dan diancam bahaya maut yang mengerikan? Teringat ia akan pengalamannya dahulu ketika ia diterbangkan seekor burung dan dia bersembunyi di dalam keranjang.

Dia memandang penuh perhatian dan keningnya berkerut. Celaka! Burungnya yang itu-itu juga! Burung rajawali milik Pulau Neraka! Tak salah lagi, dia mengenal modelnya. Wah, wah, kalau burungnya ada, tentu pemiliknya ada. Bocah laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji dan sadis! Sekarang tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam daripada dahulu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar