FB

FB


Ads

Kamis, 08 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 032

Terdengar sorak sorai dari para anggauta yang kini sudah pula berlutut menghadap Si Wanita berkerudung yang tersenyum di balik kerudungnya, Nirahai mengangkat kedua lengan ke atas dan suara sorakan itu terhenti. Keadaan menjadi sunyi dan semua orang mendengarkan ucapan dari balik kerudung, ucapan yang halus merdu namun berwibawa,

“Mulai saat ini Thian-liong-pang di bawah pimpinanku harus menjadi sebuah perkumpulan yang kuat, dihormati dan disegani di seluruh dunia kang-ouw. Untuk dapat menjadi kuat, kalian semua harus menggembleng diri dan mempertinggi tingkat ilmu silat yang akan kuajarkan kepada kalian semua, sesuai dengan tingkat masing-masing. Untuk menjadi perkumpulan yang disegani, Thian-liong-pang harus menunjukkan kegagahan dan kekuatannya menundukkan semua pihak yang menentang kita, dan untuk dapat dihormat, Thian-liong-pang harus bersih daripada segala perbuatan yang jahat. Tidak boleh ada penyelewengan lagi, tidak boleh ada perampokan, penindasan dan lain perbuatan jahat lagi. Semua perbuatan yang dilakukan oleh anggauta, harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang akan kuadakan. Setiap pelanggar akan menerima hukuman berat!”

Mendengar perintah pertama yang keluar dari mulut wanita berkerudung itu, diam-diam Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang menjadi girang sekali. Sai-cu Lo-mo demikian kagum dan gembiranya sehingga ia mengangkat tangan kanan ke atas sambil berteriak,

“Hidup Pangcu kita!”

Semua anggauta juga tertegun mendengar perintah tadi, tentu saja yang biasanya mengumbar nafsu, diam-diam menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau dia akan mangalami nasib sial dan dihukum seperti para pimpinan mereka yang kini masih menggeletak di situ menjadi mayat. Maka, mendengar seruan Sai-cu Lo-mo, serentak semua anggauta berteriak,

“Hidup pangcu....!”

Bahkan mereka yang tadinya suka mengandalkan nama besar Thian-liong-pang untuk melakukan penindasan dan perbuatan-perbuatan jahat, berteriak paling keras!

“Sekarang singkirkan dan urus jenazah mereka ini baik-baik, kuburkan sebagaimana mestinya. Sai-cu Lo-mo, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, kalian berdua kuangkat menjadi pembantu-pembantuku, sedangkan Tang Wi Siang, sesuai dengan kehendaknya sendiri menjadi pelayanku yang paling kupercaya. Mari kita masuk dan merundingkan segala urusan mengenai Thian-liong-pang. Aku ingin mendengar, hal apa saja yang dihadapi Thian--liong-pang saat ini.”

Nirahai diiringkan oleh tiga orang pembantunya memasuki gedung menuju ke ruangan dalam. Tak seorangpun pelayan diijinkan masuk ketika empat orang ini mengadakan perundingan, sedangkan para anak buah Thian-liong-pang sibuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di ruangan tadi.

Mereka, juga para pelayan, saling berbisik membicarakan Ketua partai yang penuh rahasia itu. Nirahai dengan tenang mendengarkan pelaporan tiga orang pembantunya mengenai keadaan Thian-liong-pang. Segala macam urusan mengenai perkumpulan ini diceritakan oleh Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, sedangkan Tang Wi Siang yang duduk di dekat Nirahai hanya mendengarkan dan bersikap sebagai seorang pelayan.

“Tiga buah perkumpulan yang menentang kita, mudah dibereskan. Aku akan mendatangi mereka dan menundukkan mereka. Hal-hal lain dijalankan seperti biasa, akan tetapi harus disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang akan kuadakan. Hanya satu hal yang mengherankan hatiku. Kau tadi menceritakan tentang usaha Thian-liong-pang yang gagal dalam memperebutkan seorang anak bernama Gak Bun Beng. Benarkah utusan kita itu dikalahkan oleh Pendekar Siluman dan anak itu akhirnya dibawa oleh Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai?”

“Benar, Pangcu,” jawab Sai-cu Lo-mo.

Nirahai mengerutkan keningnya.
“Anak ini.... Gak Bun Beng, ada hubungan apakah dengan Thian-liong-pang sehingga perkumpulan kita harus berusaha merebutnya?”

Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang seperti jenggot singa itu.
“Maaf, Pangcu. Sesungguhnya, dengan perkumpulan kita tidak ada hubungan apa-apa dan mendiang Ketua kami hanya memenuhi permintaan saya, karena sesungguhnya sayalah yang mempunyai hubungan dengan anak itu. Anak itu masih cucu keponakan saya sendiri.”

“Hemmm..... begitukah? Coba jelaskan, siapa sebenarnya anak itu, dia anak siapa dan bagaimana hubugannya denganmu, Lo-mo? Kalau kuanggap penting, percayalah, aku yang akan mendapatkannya untukmu. Tentang Pendekar Siluman, jangan khawatir, aku akan dapat menghadapinya!”

Bahkan Wi Siang sendiri diam-diam menjadi kaget mendengatkan ini. Berani menentang Pendekar Siluman? Benarkah Ketuanya yang baru ini memiliki kesaktian yang demikian hebat sehingga berani menentang Pendekar Siluman? Baru mendengar cerita para anggauta Thian-liong-pang tentang Pendekar Siluman yang bisa pian-hoa (merobah diri) menjadi raksasa dan menjadi setan tanpa kepala saja sudah membuat semua orang gagah di Thian-liong-pang ngeri dan serem!

Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang juga kaget dan sambil memandang wajah yang tertutup kerudung itu, Sai-cu Lo-mo menjawab,

“Dia adalah putera dari keponakan saya yang bernama Bhok Khim, murid Siauw-lim-pai.”

“Hemmm.... Bhok Kim yang berjuluk Bi-kiam, seorang di antara Kang-lam Sam-eng?”

“Betul, Pangcu,” jawab Sai-cu Lo-mo makin kagum dan terheran bagaimana wanita berkerudung ini agaknya tahu akan segala hal dan mengenal semua orang. Maka dia tidak menyembunyikan dirinya lagi dan menyambung, “Saya dahulu bernama Bhok Toan Kok, Bhok Kim adalah anak tunggal adikku....”

Akan tetapi agaknya Nirahai tidak mempedulikannya dan seperti orang melamun karena mengingat, berkata,

“Dan bocah itu she Gak? Hem.... tentu anak dari Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak....”

Tiga orang tokoh Thian-liong-pang itu terbelalak, makin heran dan kagum. Sai-cu Lo-mo berteriak,

“Bagaimana Pangcu dapat mengetahuinya....?”

Nirahai memandangnya.
“Aku tahu, dan Gak Liat yang memperkosa Bhok Kim sehingga wanita itu dihukum di Siauw-lim-pai, kemudian melahirkan anak dan.... mereka berdua kemudian saling bunuh. Hemm.... jadi engkau ingin mengambil cucu keponakanmu itu, Sai-cu Lo-mo? Apa perlunya? Anak itu adalah keturunan Gak Liat, datuk kaum sesat!”

Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang.
“Betapapun juga, dia adalah cucu keponakan saya, Pangcu.”






Nirahai mengangguk,
“Baiklah, urusan anak itu kita tunda dulu saja. Aku tidak ingin melibatkan Thian-liong-pang hanya karena urusan keturunan Gak Liat. Betapapun juga, kalau engkau mendengar dimana adanya bocah itu sekarang, dan ada kemungkinan merebutnya, aku suka membantumu. Tahukah engkau dimana dia itu sekarang?”

“Dia menjadi murid di Siauw-lim-si.”

Nirahai menggeleng kepala.
“Kalau Siauw-lim-si kita tidak dapat berbuat sesuatu, Lo-mo. Ibu anak itu adalah murid Siauw-lim-pai, sudah semestinya kalau anaknya menjadi murid Siauw-lim-pai pula. Jangan mengira bahwa aku takut menghadapi Siauw-lim-pai, akan tetapi apa perlunya kita menyeret perkumpulan menjadi musuh Siauw-lim-pai yang amat kuat hanya karena memperebutkan seorang anak, apalagi anak keturunan seorang seperti Gak Liat?”

Diam-diam Sai-cu Lo-mo harus membenarkan pendapat pangcunya ini. Tiba-tiba ia mengangkat kepala dan berkata,

“Pangcu.... maaf.... hati saya akan selalu gelisah kalau tidak menyatakannya sekarang. Kalau saya tidak keliru menduga.... saya dapat mengenal siapa kiranya Pangcu!”

Nirahai menoleh ke arah Chie Kang dan bertanya,
“Bagaimana dengan engkau, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang? Apakah engkau pun dapat menduga siapa aku?”

Chie Kang terkejut. Dia pun sedang berpikir-pikir. Kalau wanita berkerudung itu tidak memperlihatkan sikap mengenal semua orang, bahkan mengetahui segala hal yang bagi banyak tokoh kang-ouw merupakan rahasia, maka di dunia ini kiranya hanya ada seorang saja wanita seperti itu, akan tetapi diam-diam dia terkejut dan tidak percaya bahwa pangcunya yang baru adalah orang itu! Kini dia makin gugup mendengar pertanyaan itu dan menjawab,

“Saya.... saya hanya menduga-duga akan tetapi tidak berani memastikannya. Pribadi Pangcu penuh rahasia, sukar untuk diduga....”

Nirahai tersenyum di balik kerudungnya.
“Sai-cu Lo-mo, aku dapat menjenguk isi hatimu. Dugaanmu itu agaknya tidak keliru. Engkau dan Chie Kang telah kuangkat menjadi pembantu-pembantuku yang setia dan boleh dipercaya, sedangkan Wi Siang menjadi pelayan dan pengawalku. Hanya kalian bertiga sajalah yang boleh mengetahui siapa sebenarnya aku. Akan tetapi, kalau sampai seorang diantara kalian berani membocorkan rahasiaku, tanganku sendiri yang akan membunuhnya! Nah, agar hati kalian tidak ragu-ragu lagi, kalian boleh mengenalku.”

Berkata demikian, wanita berkerudung itu membuka kerudungnya, dan tampaklah wajahnya yang cantik jelita, wajah puteri Kaisar Mancu. Puteri Nirahai yang pernah menggemparkan seluruh dunia kang-ouw sebagai pemimpin pasukan-pasukan pemerintah yang membasmi para pemberontak!

Tiga orang tokoh Thian-liong-pang itu belum pernah bertemu muka sendiri dengan Nirahai, akan tetapi nama besar puteri ini sudah lama mereka dengar. Kini mendapat kenyataan bahwa yang menjadi Ketua mereka adalah puteri yang terkenal itu, yang berdiri dengan cantik dan agungnya, dengan sepasang mata yang amat berwibawa memandang kepada mereka dengan mulut yang berbentuk indah itu tersenyum halus, mereka serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Nirahai.

“Harap Paduka suka mengampunkan hamba sekalian yang tidak mengenal Puteri yang mulia,” kata Sai-cu Lo-mo mewakili saudara-saudaranya.

“Bangunlah kalian!”

Tiba-tiba Nirahai membentak dan ketika mereka dengan kaget bangkit berdiri memandang, Nirahai telah memakai lagi kerudungnya, menutupi mukanya yang cantik, dan kini dari sepasang lubang di depan kerudung, matanya memandang marah.

“Mulai saat ini, kalian tidak boleh sekali-kali menyebutku Puteri, dan jangan membocorkan rahasia ini! Aku adalah Pangcu (Ketua) Thian-liong-pang dan kalian sebut saja aku Pangcu. Nah, mari kita duduk dan melanjutkan perundingan demi kemajuan perkumpulan kita.”

Demikianlah, semenjak hari itu, Nirahai menjadi Ketua Thian-liong-pang. Kecuali tiga orang pembantunya itu, tak seorang pun diantara para anggauta Thian-liong-pang mengetahui bahwa Ketua mereka yang diliputi penuh rahasia, yang selalu menyembunyikan muka di belakang kerudung, yang memiliki ilmu kepandaian hebat seperti iblis, sebenarnya adalah Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu.

Nirahai menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada tiga orang pembantunya sehingga dalam waktu dua tahun saja, Sai-cu Lo-mo, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Tang Wi Siang telah memperoleh kemajuan yang amat hebat, tingkat mereka naik jauh lebih tinggi daripada sebelumnya, akan tetapi watak mereka pun berubah, penuh rahasia seperti watak Ketua mereka.

Para anak buah Thian-liong-pang juga dilatih ilmu silat oleh tiga orang tokoh ini sehingga pasukan Thian-liong-pang kini menjadi pasukan yang hebat, setiap orang anggautanya memiliki kepandaian tinggi.

Seperti telah diceritakan di bagian depan tadinya Nirahai menitipkan puterinya, Milana, kepada Pangeran Jenghan di Kerajaan Mongol. Selama membangun dan memperkuat Thian-liong-pang beberapa tahun, dia meninggalkan puterinya itu dan hanya kira-kira sebulan sekali dia pergi ke Mongol mengunjungi puterinya.

Milana sama sekali tidak tahu bahwa ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang yang amat terkenal itu. Baru setelah Nirahai mengajaknya ke Thian-liong-pang anak perempuan ini tahu bahwa ibunya adalah wanita berkerudung, Ketua Thian-liong-pang yang menggemparkan dunia kang-ouw. Juga kini Milana tahu, dengan hati penuh kebanggaan namun juga kedukaan, bahwa ayahnya adalah Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang agaknya berselisih paham dengan ibunya sehingga ayah bundanya itu saling berpisah, bahkan timbul gejala saling bertentangan!

Pertemuannya dengan suaminya, Suma Han, mendatangkan rasa duka yang hebat di hati Nirahai. Dia adalah seorang puteri kaisar, seorang wanita yang mempunyai harga diri tinggi sekali. Betapapun besar cinta kasihnya kepada Suma Han, namun sikap suaminya itu membuatnya berduka. Dia tidak mau menyembah-nyembah minta dibawa, sungguh rasa rindunya kadang-kadang menyesak di dada. Dia ingin memperlihatkan bahwa kalau Suma Han tidak membutuhkan dia, dia pun tidak akan merangkak-rangkak mengejar suaminya!

Keangkuhan ini membuat dia amat menderita, membuat cintanya kadang-kadang berubah menjadi kebencian, membuat dia ingin menandingi kebesaran suaminya, menandingi kepandaiannya. Dalam pertemuannya dua kali dengan Suma Han, pertama ketika tokoh-tokoh kang-ouw memperebutkan rahasia pusaka di Sungai Huang-ho, kedua baru-baru ini, Nirahai maklum bahwa dalam ilmu kesaktian dia masih belum mampu menandingi Suma Han.

Biarpun Perkumpulan Thian-liong-pang kini menjadi amat kuat dan agaknya para pembantu dan anak buahnya tidak kalah hebat oleh anak buah Pulau Es, namun kalau dia sendiri tidak mampu menandingi Suma Han, semua akan sia-sia belaka. Tidak ada seorang pun di Thian-liong-pang yang akan kuat bertanding dengan Suma Han. Maka dia harus mempertinggi ilmu-ilmunya.

Terutama sekali Nirahai ingin melihat puterinya, Milana menjadi seorang yang lebih pandai daripadanya. Keinginan untuk menjadi seorang yang lebih sakti dari Suma Han inilah yang membuat Nirahai melakukan hal-hal yang amat berani, di antaranya ialah menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua perkumpulan silat yang diundang atau kalau tidak mau dipaksa mengunjungi Thian-liong-pang! Untuk apa?

Sebaiknya kita sekarang mengikuti perjalanan Gak Bun Beng yang sedang mengunjungi Thian-liong-pang dengan mengikuti bayangan dua orang tokoh Thian-liong-pang dengan hati-hati karena dia maklum bahwa kedua orang itu sedang memancingnya untuk memasuki markas besar perkumpulan yang terkenal itu.

Markas Thian-liong-pang yang menjadi pusat perkumpulan itu merupakan sekumpulan bangunan besar, dikelilingi oleh dinding batu yang tingginya dua kali tinggi manusia. Di tempat ujung dinding temboknya terdapat tempat dimana tampak penjaga yang melakukan penjagaan siang malam sehingga sarang perkumpulan itu seperti benteng tentara saja. Pintu gerbang yang lebar terbuat dari kayu tebal berlapis besi, dijaga pula oleh selosin orang.

Pintu gerbang terbuka ketika dua orang tokoh Thian-liong-pang tiba disitu, akan tetapi begitu kedua orang itu masuk melalui pintu gerbang, daun pintu tertutup kembali dari dalam. Bun Beng memeriksa keadaan pintu gerbang yang amat kuat dan dinding tembok yang tinggi. Ia tersenyum.

Agaknya, orang-orang Thian-liong-pang itu terlalu memandang rendah kepadanya. Apa artinya dinding tembok setinggi itu baginya? Lebih tinggi lagi pun dia akan mampu melompatinya. Dia maklum bahwa mereka tentu sudah menantinya, akan tetapi dia tidak takut. Dia harus memasuki sarang Thian-liong-pang, menolong Ketua Bu-tong-pai, mungkin menolong banyak orang lagi yang terculik dan menjadi tawanan di tempat itu. Pula, dia sudah mengambil keputusan bulat untuk menemui Ketua Thian-liong-pang dan menegurnya agar tidak melakukan penculikan-penculikan.

Dia maklum bahwa orang-orang Thian-liong-pang amat lihai, apalagi ketuanya yang pernah ia lihat di pulau Sungai Huang-ho beberapa tahun yang lalu. Ia masih bergidik kalau teringat akan wanita berkerudung yang amat lihai itu. Akan tetapi, kepandaiannya sekarang tidak seperti dahulu, kini dia telah dewasa dan berilmu tinggi, kalau dia tidak menentang perbuatan sewenang-wenang ini, untuk apa dia mempelajari ilmu sampai bertahun-tahun?

Pula, dia teringat betapa tokoh wanita Thian-liong-pang dahulu bersikap baik kepadanya, dan rata-rata orang Thian-liong-pang tidaklah seganas orang Pulau Neraka. Selain kenyataan itu, juga dalam perjalanannya dia tidak pernah mendengar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan orang jahat, tidak pernah melakukan kejahatan. Kalau sekarang mereka menculik ketua-ketua perkumpulan dan tokoh-tokoh kang-ouw tentu ada rahasia di balik perbuatan mereka itu dan dia harus membongkar rahasia itu dan berusaha menghentikan perbuatan mereka.

Akan tetapi Bun Beng bukan seorang yang sembrono. Dia maklum bahwa meloncat begitu saja pada siang hari itu merupakan perbuatan yang amat berbahaya. Tidak, dia tidak berani bersikap sembarangan. Maka dia mundur kembali dan mengintai dari jauh, menanti sampai malam tiba karena dia mengambil keputusan untuk memasuki sarang naga itu setelah hari menjadi gelap.

Setelah hari berganti malam, Bun Beng berindap-indap mendekati dinding yang mengurung sarang Thian-liong-pang. Ia sudah memilih bagian kiri di ujung, sebelah kiri pintu gerbang, untuk meloncat masuk.

Tiba-tiba ia mendengar suara tambur dan gembreng di sebelah-dalam. Ia berhenti di bawah dinding dan mendengarkan penuh perhatian. Apakah Thian-liong-pang mengadakan pesta? Hemm, bukan, bantah hatinya. Tambur dan gembreng itu dipukul seperti kalau dipergunakan untuk mengiringi orang bermain silat! Agaknya mereka sedang berlatih silat. Dia tidak akan merasa heran kalau mereka telah siap menantinya, bahkan dia menduga bahwa tentu gerak-geriknya sejak tadi telah diintai. Namun dia tidak peduli. Sekarang atau dia akan terlambat.

Dengan gerakan indah Bun Beng meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan kedua kakinya hinggap di atas dua ujung tombak, gerakannya amat ringan seolah-olah seekor burung garuda yang besar. Ia merasa heran sekali karena tidak ada anak panah atau senjata orang menyambutnya.

Di bawah tidak tampak orang menjaga, hanya tampak genteng bangunan-bangunan dan tampak sinar penerangan yang besar, terutama di depan sebuah bangunan terbesar di situ. Tampak pula orang-orang hilir mudik, akan tetapi tidak ada yang menengok, seakan-akan mereka itu hanya orang-orang dusun yang tidak paham ilmu silat dan tidak tahu akan kedatangannya.

Bun Beng merasa penasaran. Apakah pihak Thian-liong-pang menganggap dia begitu rendah sehingga tidak pantas untuk menjaga dan menghebohkan kedatangannya? Ia melayang turun dari tembok, hinggap di atas genteng, kemudian melayang turun pula ke bagian samping bangunan besar yang agaknya saat itu menjadi pusat keramaian. Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang kakek yang berkata tenang.

“Selamat datang, Siauw-hiap dari Siauw-lim-pai. Biarpun caramu masuk tidak selayaknya, namun mengingat bahwa Siauw-hiap adalah seorang murid Siauw-lim-pai, Pangcu kami mempersilakan Siauw-hiap untuk duduk sebagai tamu menonton pertunjukan kami. Kami menerima Siauw-hiap sebagai seorang tamu yang terhormat, ataukah.... Siauw-hiap lebih suka dianggap sebagai seorang pencuri yang rendah?”

Bun Beng memandang orang itu yang ternyata adalah seorang kakek berkepala gundul, berjenggot dan berkumis, pakaiannya seperti seorang sasterawan, usianya kurang lebih enam puluh tahun, suaranya tinggi nyaring akan tetapi sikapnya halus dan seperti orang lemah. Mendengar ucapan itu, Bun Beng tersenyum.

“Terserah kepada Thian-liong-pang akan menganggap aku sebagai apa. Akan tetapi karena aku ingin bertemu dengan Pangcu kalian, dan melihat betapa aku disambut sebagai tamu, biarlah aku menerima sambutan ini.”

“Kalau begitu, silakan Siauw-hiap!” kata kakek itu.

Bun Beng berjalan dengan sikap tenang menuju ke ruangan depan bangunan besar diiringkan oleh kakek gundul. Kini mengertilah dia mengapa dia tidak disambut sebagai musuh dan tidak diserang. Kiranya Thian-liong-pang agaknya merasa enggan bermusuhan dengan Siauw-lim-pai, dan hanya karena memandang Siauw-lim-pai maka dia disambut dengan manis budi.

Dia mengerti bahwa andaikata kedua orang tokoh yang menawan Ketua Bu-tong-pai tadi tidak mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang ia miliki dan tidak melaporkan bahwa dia seorang murid Siauw-lim-pai, tentu penyambutan mereka akan lain sekali.

Ketika kakek gundul itu mengajaknya memasuki ruangan depan yang luas dan diterangi banyak lampu gantung besar, dia cepat melayangkan pandang matanya menyapu keadaan di situ. Ruangan itu luas sekali dan terdapat anak tangga di sebelah dalam. Di atas anak tangga itu terdapat ruangan lain dan tampaklah seorang wanita berkerudung duduk di atas sebuah kursi besar yang lantainya ditilami kulit seekor biruang.

Wanita berkerudung yang dikenalnya sebagai Ketua Thian-liong-pang yang dahulu pernah datang ke Sungai Huang-ho itu duduk dengan sikap tenang, kedua kakinya menginjak kepala biruang yang berada di bawah kursinya, di sebelah kanan wanita ini duduk seorang kakek yang mukanya seperti seekor singa, kursinya agak kecil dibandingkan dengan kursi Si Wanita berkerudung.

Disebelah kanan agak belakang Ketua Thian-liong-pang ini berdiri seorang wanita cantik yang dikenal pula oleh Bun Beng sebagai wanita yang dahulu mewakili Thian-liong-pang di Sungai Huang-ho. Sedangkan di belakang, agak mundur, berdiri seorang wanita lain yang juga cantik, pakaiannya seperti wanita lihai yang berdiri di sebelah kanan Ketua itu.

“Silakan duduk disini, Siauw-hiap,” kata kakek gundul sambil mempersilakan Bun Beng duduk di atas kursi dekat anak tangga.

Akan tetapi Bun Beng tidak segera duduk, hanya berdiri dengan terheran-heran memandang kearah para tamu yang duduk menghadap ke arah Ketua, dengan kursi-kursi yang diatur setengah lingkaran mengurung ruangan di bawah anak tangga, sedangkan para penabuh tambur dan gembreng berdiri paling ujung.

Dia tidak peduli dan tidak melihat betapa Ketua Thian-liong-pang sama sekali tidak mengacuhkannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat Ang-lojin, Ketua Bu-tong-pai yang akan ditolongnya itu, duduk pula di antara para tamu dengan sikap tenang dan sama sekali tidak menoleh kepadanya! Mengapa orang itu seperti tidak mengenalinya? Mustahil kalau tidak mengenal atau tidak tahu bahwa kedatangannya untuk menolong ketua itu! Atau pura-pura tidak kenal? Ah, inipun tidak mungkin.

Bukankah dua orang tokoh Thian-liong-pang sudah tahu betapa di tengah jalan dia berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai itu? Tentu hal ini sudah dilaporkannya pula kepada Ketua Thian-liong-pang. Apa perlunya lagi Ketua Bu-tong-pai berpura-pura? Diapun tidak mau berpura-pura karena hal ini berarti bahwa dia takut, maka dia lalu menghampiri Ketua Bu-tong-pai dan menegur.

“Ang-locianpwe, engkau baik-baik sajakah?”

Kakek itu memandangnya akan tetapi sinar matanya seperti tidak mengenalnya sama sekali. Dia hanya mengangguk tanpa menjawab! Bun Beng menjadi penasaran sekali. Mengapa Ketua Bu-tong-pai bersikap seperti ini? Padahal susah payah ia berusaha menolongnya dan di jalan tadi sikapnya tidak sedingin ini!

“Locianpwe, apakah kau lupa kepadaku?” Ia menegur lagi.

Kakek itu kembali memandangnya dengan sikap tidak acuh, lalu menjawab dengan suara ragu-ragu,

“Siapakah? Maaf, aku tidak mengenalmu.”

Setelah berkata demikian kakek ini kembali membuang muka menonton dua orang yang sedang bertanding di bawah anak tangga, memandang penuh perhatian seperti yang dilakukan oleh semua orang yang duduk di situ. Makin heran Bun Beng ketika melihat betapa para tamu yang sebagian besar terdiri dari kakek-kakek yang kelihatannya berilmu tinggi itu sama sekali tidak menoleh kepadanya, seolah-olah dia hanya seekor lalat saja!

Dengan hati mengkal Bun Beng lalu duduk di atas kursi yang ditunjuk oleh kakek gundul. Kakek inipun duduk di atas sebuah kursi di sebelah kanan Bun Beng. Seorang pelayan datang menyuguhkan arak kepada Bun Beng, akan tetapi pemuda ini menolak dan menyuruh taruh arak dengan guci dan cawannya di atas meja. Pelayan itu lalu memenuhi meja di depan kakek gundul dan Bun Beng dengan hidangan-hidangan seperti yang memenuhi meja-meja lain pula.

Kini Bun Beng memperhatikan para tamu yang duduk disitu. Ada belasan orang, tepatnya empat belas orang tamu yang melihat sikapnya adalah orang-orang berkepandaian tinggi, akan tetapi sikap mereka dingin dan tak acuh seperti sikap Ketua Bu-tong-pai. Di depan mereka inipun terdapat meja penuh makanan dan mereka semua menonton pertandingan sambil makan minum.

Di belakang para tamu duduk pula banyak orang dan diantara mereka Bun Beng mengenal dua orang tokoh yang pernah dilawannya siang tadi, yaitu mereka yang menculik Ketua Bu-tong-pai. Sedangkan di belakang rombongan yang duduk ini, yang jumlahnya juga belasan orang, nampak puluhan orang berdiri menonton. Sepasang kakek kembar yang lihai dan yang menggotong kerangkeng Ketua Bu-tong-pai tampak diantara mereka yang berdiri.

Diam-diam Bun Beng menduga-duga dan dia terkejut. Agaknya sepasang kakek kembar itu adalah anggauta-anggauta rendahan saja, sedangkan kakek muka tengkorak dan pemuda tampan adalah anggauta yang lebih tinggi. Kakek gundul yang duduk di sebelahnya yang tadi menyambutnya, tentu lebih tinggi kedudukannya, apalagi kakek muka singa dan wanita cantik yang duduk dan berdiri di dekat Ketua Thian-liong-pang.

Kalau sepasang kakek kembar yang demikian lihai itu saja menjadi anggauta rendahan, dapat dibayangkan betapa lihai kakek gundul di sebelahnya ini, apalagi kakek muka singa, dan lebih-lebih ketuanya!

Bun Beng bersikap hati-hati dan tidak mau bergerak, hendak melihat perkembangannya karena dia sungguh-sungguh bingung dan terheran-heran mengapa Ang-lojin yang tadinya diculik sekarang menjadi tamu dan bersikap tidak mengenalnya? Kini Bun Beng mulai memperhatikan dua orang yang bertanding dan kembali dia tercengang.

Yang bertanding dengan golok dan pedang itu bukanlah orang-orang sembarangan! Laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkepala besar dan bersenjata golok itu memiliki ilmu golok yang amat hebat, sedangkan kakek kurus yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu memiliki ilmu pedang yang amat tinggi pula.

Diam-diam ia menonton dan mencurahkan perhatiannya. Bun Beng banyak mengenal ilmu silat, bahkan dahulu gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, telah membuka rahasia tentang dasar-dasar gerakan ilmu silat-ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh partai-partai besar.

Maka setelah menonton belasan jurus, Bun Beng mengenal bahwa Si Pemain golok itu tentulah seorang tokoh Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang amat terkenal karena kehebatan ilmu golok mereka, sedangkan Si Pemain pedang itu tidak salah lagi tentulah seorang tokoh besar dari Hoa-san-pai karena ilmu pedang yang dimainkannya tidak salah lagi adalah Hoa-san Kiam-sut! Dia menjadi heran buka main. Mengapa dua orang tokoh dari Sin-to-pang dan Hoa-san-pai bertanding di tempat ini? Dan selain ditonton oleh banyak tamu dan orang-orang Thian-liong-pang sambil maka minum, juga diiringi tambur dan gembreng!

Pertandingan itu berjalan dengan seru dan jelas tampak betapa tokoh Sin-to-pang mulai terdesak, bahkan pundaknya telah terluka goresan pedang. Kalau semua tamu memandang dengan sikap dingin, demikian pula para tokoh Thian-liong-pang, hanya Bun Beng seoranglah yang menonton dengan hati tegang.

“Cukup....!”

Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, namun penuh wibawa keluar dari balik kerudung yang menyembunyikan kepala Ketua Thian-liong-pang. Seketika tambur dan gembreng berhenti dan kedua orang yang bertanding itu pun meloncat mundur menghentikan gerakan masing-masing!

Bahkan kini seorang kakek yang agaknya merupakan ahli pengobatan Thian-liong-pang, menghampiri tokoh Sin-to-pang yang seperti bekas lawannya telah duduk kembali di kursi masing-masing, kemudian mengobati luka di pundak tokoh ini.

Bun Beng memandang bengong. Hampir dia tidak dapat percaya akan dugaannya yang agaknya tidak dapat salah lagi. Kedua orang tokoh itu diadu! Seperti dua ekor jangkrik diadu! Betapa mungkin ini? Mengapa mereka sudi? Dan agaknya mereka berdua tadi bukanlah pasangan pertama yang diadu. Selagi ia menduga-duga dengan bingung, terdengar suara merdu dari balik kerudung.

“Ang-lojin dari Bu-tong-pai dan Tok-ciang Siucai dari Lam-hai-pang, harap suka maju dan memperlihatkan kepandaian!”

Jantung Bun Beng berdebar tegang.

“Siauw-hiap, silakan mencoba hidangan!” Tiba-tiba kakek gundul berkata.

“Terima kasih, aku tidak lapar,”

Jawab Bun Beng tanpa mengalihkan pandang matanya dari Ketua Bu-tong-pai yang kini telah bangkit berdiri dari kursinya dan melangkah maju ke tempat pertandingan dengan sikap tanpa ragu-ragu dan wajah tidak membayangkan sesuatu.

“Kalau begitu, silakan minum secawan arak sebagai penyambutan dari Pangcu kami,” kata pula kakek itu yang sudah bangkit dan menyodorkan secawan arak penuh kepada Bun Beng.

Mendengar ini, Bun Beng menoleh ke kiri, ke arah Ketua Thian-liong-pang dan ia melihat betapa sepasang mata di balik lubang kerudung itu tertuju kepadanya dengan sinar tajam. Tanpa menjawab ia menerima cawan arak dan minum arak itu habis sekali teguk. Hampir ia tersedak, tubuhnya terasa nyaman hangat setelah ia minum arak tadi. Kepalanya menjadi agak pening sehingga diam-diam ia terkejut sekali. Tak mungkin secawan arak membuat ia mabok!

“Harap Siauw-hiap minum secawan lagi sebagai penyuguhan dari Thian-liong-pang,” kata pula kakek gundul.

“Cukup, aku tidak ingin minum lagi, ingin menonton pertandingan!”

Kata Bun Beng dengan hati-hati, dan biarpun ia menjadi curiga sekali, pikirannya diputar untuk menduga apa yang terdapat di dalam arak yang diminumnya tadi, namun ia menujukan pandang matanya ke depan, ke arah Ketua Bu-tong-pai yang kini telah berhadapan dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tinggi kurus tampan dengan pakaian seperti seorang siucai (gelar sasterawan).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar