FB

FB


Ads

Selasa, 06 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 029

“Ang-siocia, ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?”

“Pandang matamu itulah!”

Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya menjadi merah. Betapapun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, namun dia masih seorang gadis remaja sehingga diapun tidak terbebas daripada sifat wanita yang ingin dipuji dan dikagumi, apalagi oleh seorang pemuda setampan dan segagah Bun Beng!

“Pandang mataku? Aihhh.... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah? Engkau aneh sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!” Dan Bun Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.

“Ketika ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi hari tadi.”

Gadis itu berhenti bercerita. Bun Beng yang masih memejamkan matanya itu menanti sebentar, lalu sebagai komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara,

“Hemmm....!” Lalu menanti lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.

“Mengapa diam?”

“Agaknya Taihiap tidak menaruh perhatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau Taihiap tidak sudi menolong, aku.... aku pun tidak mau memaksa.”

Suara itu terdengar menjauh dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah berlari pergi!

Sekali menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok Bi.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan ceritamu dan ingin menolong Ayahmu.”

Diam-diam Siok Bi terkejut dan kagum. Dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan berkata,

“Aku bicara kepada orang yang memejamkan mata seolah-olah tidak peduli, mana.... enak hatiku?”

Tiba-tiba Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memiliki watak periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata,

“Wah, benar-benar aku tidak mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu dengan membuka mata, pandang mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kau anggap aku tidak peduli, habis bagaimana? Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai niat hati yang tidak baik terhadapmu! Ayahmu dan engkau pagi tadi beristirahat dalam hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”

Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu, Bun Beng bicara sungguh-sungguh, akan tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti orang tersenyum.

Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki mata dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu “nakal” dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjutkan.

“Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang. Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, mereka lalu memaksa Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!”

“Hemm, sungguh kurang ajar!” Bun Beng membentak dan gadis itu mendapat kenyataan betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang tersenyum. “Tentu engkau dan Ayahmu menghajar mereka!”

“Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dikeroyok dan dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng.”

“Apa? Dikerangkeng dan kau diam saja?”

Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu sudah marah lagi.

“Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka amat lihai. Aku roboh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai disini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk menyerbu ke Thian-liong-pang membebaskan Ayah. Akan tetapi.... ah, akan makan waktu lama, mungkin terlambat.... dan aku sangsi apakah aku dapat melawan Thian-liong-pang yang amat kuat itu?”

“Kemana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?”

“Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke utara....”

“Aku akan mengejar mereka!” Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.

Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak,
“Tunggu, Taihiap! Aku belum tahu namamu dan aku ikut....!”

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya.

“Jangan ikut, kau tunggu saja disini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!”

Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pemuda itu! Ia menarik napas panjang.

“Hebat dia....!”

Kemudian ia pun mengambil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan penginapan untuk mengejar ke utara. Benar juga pemuda itu, pikirnya. Kalau aku ikut, tentu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia membayangkan wajah tampan yang selalu tersenyum bibirnya dan berseri wajah dan matanya itu.

Kekhawatirannya tentang diri ayahnya agak berkurang karena ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw. Benar kata ayahnya bahwa sekarang banyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.

Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti berita yang didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar keterlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong Ketua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu.






Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia mempergunakan ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang sehingga tubuhnya seperti terbang di atas rumput seolah-olah tidak menginjak tanah dan tubuhnya lenyap, yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju ke utara!

Akan tetapi karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan harinya menjelang senja, barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang yang menawan Ketua Bu-tong-pai.

Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang, sebanyak empat orang mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerangkeng dimana yang tampak hanya sebuah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya kepala dan kedua tangan yang tampak keluar dari dalam kerangkeng yang terbuat daripada papan tebal dan beroda dua.

Bun Beng mempercepat larinya, sebentar saja dia telah melewati rombongan empat orang itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan itu berhenti dan empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga orang tua bermuka gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun Beng.

Ketika Bun Beng memperhatikan empat orang itu diam-diam terkejut. Memang benarlah berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan sikapnya menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh.

Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga mukanya itu mirip tengkorak, namun sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar tajam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang pedang.

Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehelai tali yang mengkilap seperti sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar matanya membayangkan keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip sebatang pedang. Biarpun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat diduga bahwa tentu ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.

Akan tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka kembar! Dan keduanya pun memegang sepasang senjata gelang yang dipasangi lima duri meruncing dan mengkilap.

Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan angkuh itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang buas dan merekalah yang langsung meloncat maju menghadapi Bun Beng. Seorang diantara mereka membentak,

“Bocah sinting, siapa kau berani bersikap kurang ajar?”

“Minggir kau sebelum kupatahkan kedua kakimu!” Orang ke dua membentak pula.

Bun Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil melirik ke arah kerangkeng, dia bertanya,

“Apakah kalian ini penculik-penculik dari Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua Bu-tong-pai?”

“Benar orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini. Lebih baik pergilah karena aku sudah merasa kalah dan ingin menghadap Ketua Thian-liong-pang!” Kakek di kerangkeng itu berkata.

“Bocah tak tahu diri! Ketahuilah bahwa kami benar dari Thian-liong-pang. Nah, setelah mendengar nama perkumpulan kami, engkau tidak lekas menggelinding pergi?”

Bun Beng dengan sikap tenang menggerakkan pundaknya, memandang kepada kedua orang kakek kembar yang mukanya bengis mengerikan itu sambil berkata,

“Sebenarnya aku mau pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku yang berada disini tidak membolehkan aku pergi sebelum kalian membebaskan Ang Lojin!”

Mendengar ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke sekeliling mereka. Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang ajar ini mempunyai empat orang sahabat. Kalau empat orang itu hadir di sekitar mereka tanpa mereka ketahui, dapat dibayangkan betapa lihai empat orang itu.

Apalagi setelah mereka memandang ke sekeliling tidak dapat melihat gerak-gerik orang disitu, mereka menjadi makin hati-hati karena hal itu hanya menandakan bahwa empat orang sahabat pemuda ini benar-benar lihai.

“Orang muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat bicara dengan mereka!”

Seorang diantara kakek kembar berkata, sedangkan tokoh Thian-liong-pang muda sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng sedangkan kakek bermuka tengkorak, sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang ke atas tempat yang agak tinggi, di atas batu-batu.

Agaknya seorang muda menjaga kerangkeng itu dan si kakek bermuka tengkorak menjadi penjaga di tempat tinggi. Sikap mereka yang tenang dan muka yang angkuh itu menimbulkan dugaan di hati Bun Beng bahwa tingkat mereka berdua itulah yang sesungguhnya tinggi, lebih tinggi daripada tingkat sepasang kakek kembar yang menghadapinya. Hal ini pun menjadi tanda bahwa mereka memandang rendah kepadanya sehingga untuk menghadapinya cukup oleh kedua kakek kembar yang rendah tingkatnya!

Bun Beng tertawa dan berkata,
“Mau berkenalan dengan empat orang sahabatku? Awas, mereka lihai sekali, kalau kalian berkenalan dengan mereka, tentu kalian akan mereka robohkan dengan mudah!”

“Tak perla banyak menggertak!”

Bentak kakek kembar ke dua, akan tetapi tidak urung dia dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri dengan sikap agak gentar.

“Lekas suruh mereka keluar!”

“Mereka sudah berada di sini, di depanmu, apakah kalian buta?”

Kini kedua kakek kembar itu terbelalak, dan benar-benar menjadi jerih. Kalau ada empat orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat melihatnya, hal itu hanya berarti bahwa empat orang itu bukanlah manusia, melainkan iblis-iblis.

Teringatlah mereka akan orang-orang Pulau Neraka, musuh utama mereka yang mereka takuti, akan tetapi pemuda ini kulit mukanya biasa saja, tentu bukan anggauta Pulau Neraka. Ah, tentu hanya gertakan saja, akal bulus, akal kanak-kanak untuk menakut-nakuti mereka!

“Bocah, jangan main-main engkau!” Seorang diantara mereka membentak.

“Inilah mereka!” Bun Beng melonjorkan kaki tangannya bergantian ke depan.

Muka kedua kakek kembar itu menjadi merah, mata mereka melotot dan karena kepala mereka botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang pernah menjadi kawan-kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip kera-kera itu!

Akan tetapi sebagai anggauta-anggauta Thian-liong-pang yang banyak pengalaman, menyaksikan sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka dan yang amat tenang itu, dua orang kakek kembar tidak mau sembrono. Seorang diantara mereka melangkah maju dan menegur.

“Orang muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari Thian-liong-pang? Apa yang kau perbuat ini hanya dapat dicuci dengan darahmu dan ditebus dengan nyawamu. Maka sebelum mampus, mengakulah siapa engkau!”

Bun Beng menggelengkan kepala.
“Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang kalian yang akan kalah, dan andaikata aku sampai mati pun, biarlah namaku menjadi rahasia dan setan penasaran, rohku akan mengejar-ngejar Thian-liong-pang!”

“Keparat!”

Kakek yang berada di depannya sudah menerjang dengan senjatanya yang aneh dan kiranya senjata gelang berduri itu digenggam dengan duri-durinya di depan, digerakkan secara cepat dan kuat sekali menghantam ke arah muka Bun Beng yang masih bertolak pinggang.

“Heeitt! Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam,”

Kata Bun Beng, dengan mudah ia mengelak ke kanan dan biarpun matanya melirik ke arah orang di depannya sambil tersenyum mengejek, namun telinganya dicurahkan untuk mengikuti gerakan kakek kedua yang telah melompat ke belakangnya.

Ketua Bu-tong-pai yang sudah merasai kelihaian orang-orang itu, menjadi gelisah sekali. Ia berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak terkenal yang jelas hendak menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan celaka. Pemuda itu akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia saja dan hal inilah yang menggelisahkan hatinya, sama sekali bukan dia tidak mempunyai harapan tertolong.

Sudah banyak tokoh kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh orang-orang Thian-liong-pang untuk dihadapkan Ketua mereka. Belum pernah ada tokoh yang dibunuh, maka dia tidak merasa khawatir akan keselamatan dirinya sungguhpun ada hal yang lebih hebat lagi dalam peristiwa ini, lebih hebat dan penting daripada keselamatan dirinya, yaitu keselamatan nama besar Bu-tong-pai yang terancam dan dihina!

Kini pemuda yang hendak menolong dirinya itu terlalu sembrono dan berani mati mempermainkan orang-orang Thian-liong-pang, maka dia tidak akan merasa heran kalau nanti melihat pemuda itu roboh dan tewas di depan matanya.

“Orang muda, awas senjata itu beracun dan berbahaya! Larilah!” teriaknya ketika melihat betapa pemuda itu diserang dari depan dan belakang dengan dahsyat.

“Jangan khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai menakut-nakuti anak kecil saja!”

Jawab Bun Beng sambil menggunakan gin-kangnya untuk melesat ke sana ke mari mengelak sambil tersenyum. Dia sudah melihat bahwa biarpun ilmu silat kedua kakek itu aneh sekali, gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak terlalu cepat dan kuat baginya dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka dengan mudah walaupun dia bertangan kosong.

Ketua Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu benar-benar bukan hanya pandai mempermainkan orang, melainkan juga memiliki gerakan yang amat kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah dengan baik sekali sehingga semua serangan kedua orang itu selalu mengenai angin kosong.

“Wuuuttt! Wah, galak amat!”

Bun Beng miringkan kepala untuk menghindarkan hantaman gelang berduri dari belakang, berbareng ia mengirim tendangan ke depan mengarah sambungan lutut lawan di depan jari tangannya menyentil senjata yang melayang di depan hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah sebuah diantara lima dari duri-duri gelang sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya.

“Cringgg!”

Dan kakek itu memekik kaget. Ternyata duri yang disentil jari itu telah patah dan telapak tangannya terasa panas dan perih sekali. Hampir saja ia melepaskan sebuah gelangnya dan ia melompat ke belakang.

Juga kakek di depan Bun Beng yang diserang tendangan tadi cepat melompat ke belakang. Mereka menjadi marah dan penasaran. Kakek yang di belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah, tangan kirinya bergerak dan gelang berduri yang kehilangan sebuah durinya itu tiba-tiba meluncur ke arah Bun Beng, berputaran dan mengeluarkan suara bercuitan.

“Bagus....!”

Bun Beng diam-diam kagum juga. Kiranya, senjata ini bukan hanya dipergunakan untuk menyerang dengan dipegangi, melainkan juga dapat menjadi senjata rahasia yang dilontarkan. Dia mengelak dan lebih kagum lagi hatinya melihat betapa gelang yang berputaran menyambar kepalanya itu setelah luput dari sasarannya, kini dapat membalik dan kembali ke tangan pemiliknya!

Dia cepat membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya, Bun Beng sudah memukul dengan telapak tangannya, pukulan jarak jauh dengan pengerahan sin-kangnya.

“Wuuuttt!”

Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung mundur. Akan tetapi kakek kedua yang kini berada di belakang Bun Beng sudah melontarkan gelang kanan ke arah punggung pemuda itu.

“Awasss....!”

Ketua Bu-tong-pai berteriak kaget. Namun tanpa memutar tubuhnya, Bun Beng mengulur tangan dan berhasil menangkap senjata itu, seolah-olah di belakang tubuhnya terdapat mata ketiga!

“Senjata yang buruk!”

Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan yang mahir seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan senjata itu! Tentu saja bukan demikian kenyataannya. Hanya karena dia telah digembleng oleh Ketua Siauw-lim-pai dan telah mempelajari delapan belas macam senjata, dan pernah pula diajar cara mempergunakan senjata gelang yang jarang dipakai di dunia kang-ouw, maka dia tidak asing dengan senjata ini, pula karena memang bakat yang dimiliki pemuda itu luar biasa sekali.

“Trang-cring-tranggg....!”

Tiga kali gelang berduri di tangan kedua orang kakek itu bertemu dan gelang kiri kakek yang di belakangnya patah menjadi tiga bertemu dengan gelang di tangan Bun Beng.

“Heh-heh-heh, sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi adil namanya, seorang satu! Masih mau dilanjutkan?” Dia menantang dan mengejek.

“Tahan dulu!”

Tiba-tiba kakek tua yang bermuka tengkorak melayang datang dan gerakannya membuat Bun Beng bersikap hati-hati karena melihat cara meloncatnya saja tingkat kepandaian kakek muka tengkorak ini sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan sepasang kakek kembar yang kasar. Akan tetapi dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu dengan tertawa,

“Apakah engkau mau mengeroyok pula? Marilah, biar lebih ramai!”

Kakek muka tengkorak itu tidak marah, hanya tetap tenang dan dingin ketika berkata,
“Thian-liong-pang tidak pernah memusuhi Siauw-lim-pai, apakah kini Siauw-lim-pai mendahului langkah mengumumkan perang terhadap Thian-liong-pang?”

Mendengar ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam pandang matanya sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Juga kakek Ketua Bu-tong-pai terkejut dan cepat berkata,

“Orang muda yang gagah. Kalau engkau seorang murid Siuw-lim-pai, harap menyingkir. Aku tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam urusan ini.”

Bun Beng merasa penasaran. Dia sendiri sudah dipesan oleh gurunya agar jangan melibatkan Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah ia mundur dan membiarkan Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang terutama sekali, haruskah dia mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis itu? Membayangkan betapa sinar mata yang indah itu menjadi kecewa, murung dan bahkan mungkin menangis lagi, dia tidak tahan dan tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai? Ilmu silat di dunia ini tidak terhitung banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya satu, yaitu mendasar segala gerakan pada pembelaan diri dan penyerangan. Kalau ada gerakan yang mirip dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, apa anehnya?”

Akan tetapi kakek bermuka tengkorak itu tidak puas.
“Orang muda, apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?”

“Aku tidak menyangkal apa-apa.”

“Kalau begitu mengakulah, engkau murid partai mana?”

“Aku pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung banyaknya sehingga aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini ilmu silat Siauw-lim-pai?”

Setelah berkata demikian, Bun Beng menggerakkan gelang berduri di tangannya, sekali memutar lengan dia telah menyerang dua orang kakek kembar sekaligus.

“Trang-cring....!” Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan.... kedua senjata mereka patah-patah.

“Ah.... ini adalah jurus ilmu silat kami....!”

Kakek kembar berseru dan cepat menerjang marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di tangan.

Bun Beng tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh seperti yang dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng pernah mempelajari ilmu silat gelang berduri dua orang kakek kembar itu? Tentu saja tidak. Melihat pun baru sekali itu.

Akan tetapi Bun Beng memiliki daya ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dia sudah mengerti dan dapat mengingat serta menirunya! Dia tadi ketika menghadapi pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya masih jauh lebih rendah darinya, mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan gerakan mereka sehingga kini ia dapat menirunya dengan baik, sungguhpun tentu saja hanya kelihatannya saja sama, padahal dasar yang menjadi landasan jurus-jurus itu lain sama sekali!

Kalau dua orang kakek kembar menjadi terkejut dan marah karena pemuda itu selain merampas senjata mereka, juga memukul mereka dengan ilmu mereka sendiri, adalah kakek muka tengkorak menjadi heran sekali.

Kalau murid Siauw-lim-pai, yang rata-rata angkuh dan mengandalkan ilmu sendiri, tidak mungkin mau melakukan jurus-jurus ilmu silat dua orang kakek kembar itu. Dia pun mendapat kenyataan bahwa kakek kembar bukan lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi tanda dengan mata kepada kawan-kawannya.

Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang muda itu sudah menyambar, didahului sinar hijau pedangnya, bagaikan bintang jatuh, sinar ini menyerbu ke arah Bun Beng.

“Bagus!”

Bun Beng memuji, benar-benar memuji karena gerakan orang yang tampan itu tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak. Kakek muka tengkorak juga menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning sehingga dalam sekejap mata Bun Beng sudah harus melesat ke sana-sini menghindarkan dirinya ditembus dua sinar pedang yang amat dahsyat. Dia masih sempat memperhatikan dengan hati cemas ketika melihat bahwa kakek kembar sudah meninggalkannya dan mendorong pergi kerangkeng di mana Ketua Bu-tong-pai tertawan.

“Berhenti!”

Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur cepat, berputaran mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kerangkeng.

“Krakkkk!”

Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi. Akan tetapi, dua orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal, mereka lalu mengangkat kerangkeng, menggotongnya dan berlari pergi secepatnya.

Bun Beng tak dapat mengejar karena dia didesak oleh dua sinar pedang yang amat cepat dan berbahaya sehingga dia harus mencurahkan perhatiannya untuk melawan dua orang pengeroyok baru yang lihai ini.

Dua orang itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah mengerahkan kepandaiannya, dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang bertangan kosong ini, namun tetap saja pemuda itu tidak dapat didesak karena selalu dapat mengelak cepat, bahkan balas menyerang mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin memperketat pengepungan dan mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu mengeluarkan ilmu silat Siauw-lim-pai.

Namun Bun Beng tidak mau dipancing dan tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya berkelebatan di antara sinar-sinar itu dan ia menyerang dengan ilmu silat yang ganasnya seperti ilmu setan! Dua orang itu terdesak mundur dan makin terheran. Pemuda ini memiliki ilmu silat yang aneh, pikir mereka.

Biarpun agak “berbau” dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, namun jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena melihat keganasannya lebih mirip ilmu silat golongan sesat! Tentu dia seorang tokoh yang amat lihai dan tinggi kedudukannya, pikir mereka.

Memang Bun Beng telah mempergunakan jurus-jurus ilmu silat dari Sam-po-cin-keng yang bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong Menyerbu Barisan) sehingga kedua orang itu tentu saja tidak mengenal ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini! Dua orang itu memberi isyarat lalu Si Kakek berkata.

“Kami tidak ingin bermusuhan dengan Siauw-lim-pai!” Setelah berkata demikian, mereka melesat jauh dan lari pergi.

Bun Beng penasaran. Dia tidak bernafsu untuk mengalahkan dua orang itu, apalagi membunuhnya, akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai. Maka dia pun lalu melompat dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak menyusul mereka, hanya membayangi dari jauh.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar