FB

FB


Ads

Selasa, 06 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 027

Makin dijalankan pikirannya, makin lapanglah dadanya dan langkahnya pun tegap, wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar. Setelah dia berhasil tiba di kuil Siauw-lim-si dan menceritakan tentang kematian suhunya, berita ini diterima dingin oleh para hwesio pimpinan Siauw-lim-pai yang menganggap bahwa kakek itu sudah bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai lagi.

Akan tetapi mengingat bahwa Gak Bun Beng adalah putera seorang tokoh wanita Siauw-lim-pai, dan betapapun juga Siauw Lam Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak berkeberatan menerima Bun Beng.

Pemuda cilik itu mulai berlatih dengan giat disamping bekerja keras seperti yang pernah dilakukan gurunya, yaitu menjadi pelayan, tukang kebun, dan pekerjaan apa saja untuk melayani keperluan kuil dan membantu para hwesio.

Nirahai, bekas puteri Raja Mancu yang berwatak keras dan berilmu tinggi itu kini sudah berhenti menangis. Kekerasan hatinya dapat menindih kedukaan dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menghadapi orang yang dicintanya namun yang selalu mengalah dan berwatak lemah itu dengan kekerasan. Di tengah jalan, dia menurunkan puterinya untuk memakai sebuah kerudung menutupi kepalanya. Melihat ini, Milana terkejut dan heran.

“Ibu, mengapa Ibu memakai itu?”

Dari dalam kerudung itu terdengar jawaban suara dingin seolah-olah ibunya telah berubah tiba-tiba setelah berkerudung,

“Milana, mulai saat ini engkau akan turut bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah Ketua Thian-liong-pang dan tidak seorang pun boleh melihat mukaku kecuali engkau.”

Milana memandang kepala berkerudung itu dengan mata terbelalak,
“Ibu....! Engkau Ketua Thian-liong-pang yang terkenal itu....? Akan tetapi mengapa....?”

Hati anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang tidak segan-segan melakukan segala macam kekejaman sehingga ditakuti dunia kang-ouw.

“Diamlah. Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada kita! Engkau ikut bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!” Dia menggandeng tangan Milana dan lari cepat sekali.

Adapun Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepanjang jalan tidak pernah bicara. Wajahnya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah garis-garis derita pada wajahnya.

Karena sepasang burung garuda sudah tewas, mereka melakukan perjalanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari sebuah perahu yang dibelinya dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es.

Dalam pelayaran ini, barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dia mendengarkan cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri pedang pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siu-cai itu tadinya menculiknya yang kemudian dikalahkan oleh Nirahai dan melarikan diri membawa pedang pusaka.

“Aihhhh.... kiranya dia....!”






Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi dirinya sendiri dan orang lain. Apakah dia yang harus menebus dosa yang dilakukan nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya?

“Apakah Paman mengenal Siucai gila itu?”

“Banyak yang sudah kau ketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pamanmu sekarang, seorang yang penuh noda dalam hidupnya. Orang gila itu agaknya tidak salah lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi murid Maharya. Aku belum pernah melihat orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar.”

“Paman, dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!”

Suma Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di depan matanya seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh, berbisik dalam pelukannya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa, yang telah berkorban untuk dia, dan sebelum menghembuskan napas terakhir mengaku cinta.

Gadis itu adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusaka, hampir berhasil menculik Kwi Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki kekuatan batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!

“Dia tidak membohong, Kwi Hong. Biarpun aku tidak membunuh tunangannya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahh, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat untuk menundukkan Sepasang Pedang Iblis.”

“Kenapa Paman hendak pulang? Bukankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas kembali pedang itu?”

Kembali Suma Han menggeleng kepala.
“Semangatku lemah, aku tidak mempunyai nafsu untuk berbuat apa-apa, kecuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai sekarang engkau harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa mendatang amat berat dengan munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali kau melarikan diri dari pulau lagi karena aku tidak akan mengampunkanmu lagi.”

Demikianlah, dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-pertemuannya dengan Lulu dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang pertama karena dicintanya semenjak kecil, yang ke dua karena telah menjadi isterinya, bahkan menjadi ibu dari anaknya.

Suma Han mengajak keponakannya pulang ke Pulau Es. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk tidak mencampuri urusan luar, hanya melatih diri dan memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia melatih ilmu kepada Kwi Hong dengan penuh ketekunan sehingga anak perempuan ini memperoleh kemajuan yang pesat sekali.

**** 027 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar