FB

FB


Ads

Selasa, 06 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 024

“Apakah engkau yang berjuluk Pendekar Siluman yang hebat itu?”

Tanyanya, suaranya halus dan wajahnya berseri. Suma Han tersenyum, sekaligus tertarik rasa sukanya kepada bocah yang cantik jelita itu.

“Benar, anak manis. Engkau siapakah?”

“Namaku Milana, aku keponakan Pangeran Jenghan dari Kerajaan Mongol. Kami sedang berpesiar di kapal, diserbu bajak laut dan aku diselamatkan oleh Bun Beng.”

Hati Suma makin kagum kepada Bun Beng. Hemm, biarpun putera seorang datuk kaum sesat seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan dilahirkan karena datuk itu memperkosa Bhok Kim, namun ternyata bocah ini mempunyai bakat lahir batin yang baik. Tentu menuruni watak ibunya, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang perkasa itu (baca cerita Pendekar Super Sakti).

“Marilah kalian ikut bersamaku membantu Nayakavhira. Kwi Hong, kau ajaklah dua orang anak ini.”

Suma Han memondong tubuh kakek bersorban dan mencari tempat yang ada pohonnya. Di situ dia lalu membangun sebuah pondok, mempersiapkan landasan dan keperluan pembuatan pedang. Bun Beng yang sudah berjanji membantu itu ditugaskan mengumpulkan kayu bakar karena menurut Nayakavhira pembuatan pedang itu membutuhkan banyak sekali kayu bakar untuk membuat api yang sepanas-panasnya.

Berhari-hari lamanya Suma Han sibuk di dalam pondok membuat pedang di bawah petunjuk kakek Nayakavhira yang lumpuh. Tiga orang anak itu sama sekali tidak boleh memasuki pondok yang panasnya luar biasa karena api besar dinyalakan siang malam tak pernah berhenti.

Bun Beng juga bekerja setiap hari mencari kayu bakar, sedangkan Kwi Hong bermain-main dengan Milana yang berwatak halus dan sebentar saja sudah dapat menarik rasa sayang di hati Kwi Hong yang wataknya kasar.

Kedua orang anak perempuan ini jauh berbeda wataknya. Kwi Hong yang lebih tua beberapa tahun, berwatak jenaka, riang gembira, galak dan pandai bicara. Sebaliknya Milana berwatak halus, lemah lembut dan pendiam, hati-hati dalam bicara agar jangan sampai menyingung perasaan orang lain. Namun, berkat kehalusan budi Milana yang pandai mengalah, mereka berdua dapat bersahabat dengan rukun.

Di dalam pondok itu terjadi hal yang tentu akan amat mengherankan tiga orang anak itu kalau saja mereka dapat melihatnya. Kakek Nakavhira duduk bersila di atas tanah, seperti arca tidak bergerak dan hawa panas di dalam pondok itu tak mungkin akan dapat tertahan oleh manusia biasa.

Suma Han menanggalkan baju atasnya dan sibuk membakar senjata yang bentuknya seperti bulan sabit itu di dalam api. Sudah tiga hari tiga malam logam itu dibakar, tetap saja masih utuh, tidak dapat membara.

Kakek itu berkali-kali minta ditambah api karena kurang besar sehingga setiap tumpukan kayu bakar yang dikumpulkan Bun Beng, selalu habis sehingga tidak ada cadangan sama sekali, membuat anak itu tidak berani berhenti karena khawatir kehabisan kayu bakar!

Kakek Nayakavhira mengeluarkan beberapa macam obat yang dioleskan pada logam putih itu, namun setelah lewat lima hari tetap juga logam itu belum membara. Kakek itu menjadi bingung dan prihatin sekali.

“Ya Tuhan, akan gagalkah usaha hamba?”

Keluhnya berkali-kali sehingga Suma Han menjadi kasihan. Juga pendekar ini merasa penasaran sekali. Sedangkan batu bintang saja dapat dibakar sampai mencair, yaitu ketika dia masih kecil dan menjadi pelayan Kang-thouw-kwi Gak Liat (baca cerita Pendekar Super Sakti), masa logam ini dibakar dalam api sampai lima hari lima malam belum juga membara? Teringat akan masa kecilnya, ia teringat kepada Bun Beng yang sibuk mengumpulkan kayu di luar pondok. Dahulu dia menjadi pelayan Gak Liat, dan sekarang, secara kebetulan, putera Gak Liat itu bekerja keras melayaninya! Demikianlah nasib mempermainkan manusia!

Ia teringat akan batu bintang, teringat akan latihan Hwi-yang Sin-ciang. Hwi-yang Sin-ciang! Bukankah sin-kang yang mujijat dan yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu mengandung hawa panas yang mujijat? Mengapa tidak ia pergunakan untuk coba-coba?

Dia memegang gagang senjata kakek yang aneh itu. Senjata itu terbuat daripada baja yang aneh sebagai gagang berduri, adapun ujungnya yang berbentuk bulan sabit berwarna putih itulah yang akan diolah menjadi pedang.

Suma Han mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sehingga wajahnya yang selama lima hari lima malam berdekatan dengan api tidak berubah apa-apa, kini setelah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya, muka itu berubah merah. Dan perlahan-lahan, logam putih berbentuk bulan sabit itu menjadi merah membara!

“Kakek Nayakavhira, aku berhasil!” Teriaknya girang.

Kakek yang sudah kehabisan semangat itu membuka matanya dan seketika wajahnya berseri!
“Hebat....! Biarkan sampai merah tua seluruhnya, baru digembleng!” Teriaknya dan semangatnya kembali. Matanya bersinar-sinar.

Suma Han tidak mau bicara tentang penggunaan Hwi-yang Sin-ciang dan kini setelah logam itu dapat membara, panasnya api sudah cukup untuk membikin bara menjadi tua. Tak lama kemudian logam itu sudah menjadi merah sekali.

“Cepat letakkan di landasan dan gembleng sampai bentuknya menjadi panjang membungkus gagang senjataku.”

“Membungkus gagang?” Suma Han bertanya.

“Benar. Logam putih itu hanya merupakan lapisan luar saja. Gembleng sampai lebar dan tipis sepanjang setengah kaki. Cepat!” Suara kakek itu gemetar penuh gairah.

Otomatis Suma Han mematuhi perintah ini karena dia sendiri sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang pembuatan pedang. Biarpun dia bukan seorang pandai besi, bahkan memegang martil dan menggembleng logam membara pun baru sekali itu selama hidupnya, namun pendekar ini memiliki tenaga yang melebihi tenaga seratus orang dengan sin-kangnya yang hebat, maka tentu saja gemblengannya juga amat kuat sehingga tak lama kemudian logam yang membara itu sudah menjadi lebar tipis sepanjang tiga setengah kaki.

“Bagus! Hebat....! Untuk menggembleng itu biarpun dalam keadaan sehat, tentu baru dapat kuselesaikan dalam waktu tiga hari. Akan tetapi engkau hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja. Benar-benar sukar dicari pendekar sakti seperti engkau, Suma-taihiap. Logam itu telah mendingin, bakar lagi sampai membara dan akulah yang akan menggemblengnya membungkus gagang.”

Kembali Suma Han menurut dan sekali ini, karena logam itu sudah pernah membara, panasnya api cukup membuat logam itu menjadi merah lagi. Akan tetapi kakek itu mengatakan belum cukup.

“Dia harus dibakar selama satu malam sampai melunak agar mudah digembleng membungkus gagang, apalagi tenagaku sekarang banyak berkurang.”






Pada keesokan harinya, ketika terdengar bunyi martil menghimpit logam di atas besi landasan sampai berdentang-dentang, dikerjakan sendiri oleh Kakek Nayakavhira yang dibuatkan tempat duduk tinggi oleh Suma Han dan ditonton oleh pendekar sakti itu.

Selama menyaksikan kakek itu bekerja, diam-diam Suma Han merasa kagum dan barulah dia tahu betapa sulitnya membuat sebatang pedang pusaka! Dalam menempa dan menggembleng ini, kakek itu bekerja seperti dalam samadhi sehingga setiap tempaan merupakan gerakan suci seperti seorang bersembahyang. Maka Suma Han menonton penuh perhatian dan penuh hormat.

“Bun Beng, mengasolah. Lihat, tumpukan kayu di belakang pondok sudah cukup banyak. Dan mendengar suara berdentang itu, agaknya mereka tidak membutuhkan terlalu banyak kayu lagi. Lihat sepagi ini tubuhmu sudah berkeringat!” Kwi Hong menegur Bun Beng yang bertelanjang baju dan sejak pagi buta telah menebangi kayu.

“Benarkah? Ah, kalau begitu aku mau beristirahat sebentar!” Bun Beng lalu duduk di atas batu dan menyusuti peluhnya.

“Aku akan masak air, tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman untukmu!”

Kwi Hong lalu berlari-lari kecil meninggalkan Bun Beng. Setelah bekerja keras sejak pagi, tubuhnya lelah dan kini duduk bersandar batu disiliri angin pagi, Bun Beng merasa nyaman sekali sehingga tak terasa lagi ia memejamkan matanya. Sudah hampir setengah bulan dia berada di situ sejak pertemuannya dengan Pendekar Siluman dan Kakek Nayakavhira, dan selama itu setiap hari dia bekerja keras dalam usahanya membantu kakek itu membuat pedang pusaka. Kini ia merasa lelah sekali dan mengantuk.

Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia merasa pundaknya diguncang tangan halus dan terdengar suara Kwi Hong.

“Ihhh, pemalas. Berhenti sebentar saja sudah tertidur pulas! Bun Beng, minumlah ini. Bukan air teh akan tetapi daun ini lebih sedap dan kata Paman dapat memulihkan tenaga. Minumlah!”

Bun Beng merasa malas untuk bangun, akan tetapi pundaknya ditarik sehingga ia terduduk dan ketika ia membuka sedikit matanya, ia melihat Kwi Hong yang membangunkannya bahkan kini anak perempuan itu menempelkan secawan minuman ke bibirnya!

“Bun Beng, lihat betapa indahnya bunga ini.... indah harum kupetik untukmu....”

Tiba-tiba Milana menghentikan kata-kata dan langkah kakinya ketika melihat Kwi Hong sedang memberi minum Bun Beng dengan sikap mesra. Milana memandang sejenak, kemudian memejamkan mata, membuang muka, melempar kembang di tangannya kemudian membalikkan tubuh dan pergi dari situ tanpa berkata-kata. Sambil melangkah pergi dia cepat-cepat menghapus dua butir air mata yang bergantung di bulu matanya.

Anak perempuan ini sama sekali tidak mengerti mengapa dia menjadi berduka, dan dia tidak tahu sama sekali bahwa setan cemburu yang selalu siap menggoda hati manusia, terutama sekali hati wanita, telah mulai menyentuh hatinya. Dia hanya merasa kecewa karena pagi itu dia sengaja mencari bunga yang paling indah di dalam hutan untuk dipetiknya dan diberikan kepada Bun Beng yang ia tahu tentu sedang bekerja keras.

Dengan hati penuh kegembiraan dia membawa bunga itu dan berlari-lari mencari Bun Beng, membayangkan betapa girangnya Bun Beng menerima pemberiannya, betapa anak laki-laki itu akan tersenyum kepadanya, memandang dengan matanya yang tajam dan tentu akan terpancing kata-kata pujian dari Bun Beng kepadanya. Dia tidak pernah merasa bosan mendengar pujian-pujian dari mulut Bun Beng.

“Milana, engkau baik sekali! Milana engkau manis sekali!” dan sebagainya.

Akan tetapi kegembiraannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Hong dengan sikap mesra memberi minum Bun Beng!

Milana sendiri tidak mengerti mengapa dia harus kecewa. Dia bersahabat baik dengan Kwi Hong yang dianggapnya seperti encinya sendiri, yang dianggapnya sebagai seorang saudara yang lebih tua darinya, lebih pandai dan dia pun tahu bahwa sebagai murid Pendekar Siluman, Kwi Hong memiliki kepandaian silat jauh lebih tinggi dari padanya, bahkan menurut pengakuan Bun Beng, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Bun Beng! Mengapa kini hatinya menjadi kecewa dan demikian tidak enak menyaksikan sikap mesra Kwi Hong kepada Bun Beng?

Bun Beng yang masih setengah mengantuk dan tadi menurut saja diberi minum, dengan mata setengah terpejam, dapat melihat bayangan Milana yang pergi lagi sambil membuang bunga setangkai di atas tanah. Matanya terbuka lebar memandang bunga itu dan dia lalu sadar akan keadaan dirinya yang seperti anak kecil diberi minum.

“Terima kasih, Kwi Hong, biar kuminum sendiri,” katanya sambil menerima cawan minuman itu.

Kwi Hong memberikan cawannya dan memandang dengan wajah berseri ketika Bun Beng minum dan kelihatan nikmat. Tentu saja nikmat minum-minuman sedap hangat itu di pagi hari.

“Eh, mana dia tadi?” Kwi Hong bertanya sambil menengok.

“Siapa?” Bun Beng pura-pura bertanya.

“Milana! Aku mendengar dia datang tadi. Mana dia?”

“Ah, aku tidak melihat dia,”

Kata Bun Beng sambil menutupi muka dengan cawan, meneguk habis minumannya sedangkan matanya melirik ke arah setangkai bunga yang terletak sunyi di atas tanah.

“Terima kasih, Kwi Hong. Engkau baik sekali.”

Bun Beng mengembalikan cawan kosong yang diterima Kwi Hong dengan wajah girang. Memang itulah yang dinanti-nantinya. Untuk menerima pujian Bun Beng itu, dia mau melakukan pekerjaan yang lebih berat daripada membuatkan secawan minuman!

“Bun Beng, mulai sekarang, engkau tidak perlu mencari kayu bakar lagi.”

“Ahh, mengapa?”

“Pedang pusaka itu sudah selesai! Paman tadi berpesan agar engkau tidak perlu mengumpulkan kayu bakar lagi, akan tetapi pedang itu akan ditapai oleh Kakek Nayakavhira beberapa hari lamanya. Paman telah pergi karena Kakek itu tidak mau diganggu, dan Paman pergi mencari sepasang garuda kami karena dipanggil-panggil tak kunjung datang.”

“Dan kita....?”

“Kita harus menunggu di sini sampai Paman kembali. Eh, Bun Beng, setelah pedang selesai, engkau tentu akan ikut Paman ke Pulau Es, bukan?”

Bun Beng berpikir sejenak. Alangkah akan senang hatinya kalau dapat pergi ke tempat Pendekar Siluman dan menjadi muridnya. Akan tetapi ia teringat kepada Milana. Mana mungkin dia meninggalkan Milana di tempat itu begitu saja? Dia ingin sekali pergi bersama Pendekar Siluman, akan tetapi dia tidak boleh meninggalkan anak perempuan itu. Lebih dulu dia harus mengantarkan Milana sampai dapat pulang ke tempat tinggalnya, yaitu di Kerajaan Mongol.

“Aku harus mengantar Milana lebih dulu pulang ke Mongol,” katanya.

Kwi Hong tertawa.
“Apa sukarnya? Dengan adanya Paman dan dengan menunggang garuda, sebentar saja kita akan dapat mengantar Milana. Eh, di mana anak itu? Milana....! Milana....!”

“Aku di sini....! Aku datang....!”

Terdengar jawaban Milana dan tampaklah anak itu datang berlari menghampiri mereka. Wajahnya sudah cerah kembali karena panggilan suara Kwi Hong sudah mengusir rasa kecewa hatinya.

“Milana, pedang telah selesai dibuat dan sekarang Bun Beng tidak perlu mencari kayu bakar lagi. Kita dapat bermain-main sambil menanti sampai Kakek itu selesai menapai pedang pusaka. Biar kusimpan dulu cawan ini!” Kwi Hong berlari pergi membawa cawan kosong.

Bun Beng memakai bajunya, lalu mengambil setangkai bunga dari atas tanah, mencium bunga yang indah itu sambil berkata,

“Milana, terima kasih atas pemberian bunga ini. Engkau sungguh seorang anak yang baik hati....”

Wajah Milana berseri kemudian berubah merah ketika Bun Beng mendekatinya.

“Kalau sudah selesai, tentu engkau akan diajak pergi oleh Suma-taihiap.” kata Milana perlahan. “Engkau akan sekaligus mendapatkan seorang sahabat yang manis seperti Kwi Hong.”

“Ah, mana mungkin! Aku harus mengantarmu lebih dulu pulang ke Mongol,” jawab Bun Beng tiba-tiba merasa kasihan kepada anak itu dan mendekati.

“Biarkanlah, aku dapat mencari jalan pulang sendiri.”

“Tidak Milana. Sebelum mengantar engkau pulang, aku tidak mau pergi meninggalkanmu disini. Pula, kurasa Suma-taihiap akan suka mengantarmu pulang dengan naik burung garudanya. Setelah kau tiba dengan selamat disana, barulah aku akan suka ikut dan belajar ilmu kepadanya.”

“Bun Beng, mengapa engkau begini baik kepadaku?” Milana bertanya, mengangkat muka memandang dengan hati terharu.

Bun Beng tersenyum.
“Apa kau kira engkau kalah baik? Engkaulah yang bersikap amat baik terhadap aku. Engkau keluarga istana raja, dan aku hanya seorang anak sebatangkara yang miskin, namun sikapmu baik sekali. Bagaimana aku tidak akan bersikap baik kepadamu? Lupakah kau akan pelajaran tentang cinta kasih? Kalau engkau menganjurkan cinta kasih antara manusia, agaknya manusia seperti inilah yang paling pantas dicinta.”

Percakapan mereka adalah percakapan kanak-kanak yang meniru-niru pelajaran filsafat, maka tentu saja “cinta” yang mereka sebut-sebut tidak ada hubungannya dengan cinta antara laki-laki dan perempuan dewasa. Betapapun juga, ada sesuatu yang aneh terasa di hati mereka.

“Mengapa begitu, Bun Beng? Apa bedanya aku dengan orang lain?”

“Hemm, entahlah. Mungkin karena engkau.... manis sekali.”

Milana makin girang dan ia tersenyum tidak tahu betapa Kwi Hong telah datang dan melihat mereka berdiri berhadapan demikian akrab dan melihat Bun Beng memegangi setangkai bunga indah dan mereka tidak tahu betapa Kwi Hong yang keras hati itu memandang dengan mata bersinar-sinar penuh iri dan cemburu!

Kwi Hong sendiri belum tahu tentang arti cinta antara pria dan wanita, namun tanpa disengaja dia merasa amat tidak senang menyaksikan keakraban antara Bun Beng dan Milana! Akan tetapi Kwi Hong menyembunyikan rasa tidak senangnya ketika ia berlari menghampiri mereka dan berkata.

“Nah, sekarang tiba waktunya kita bermain-main dan marilah kita memperlihatkan ilmu yang kita pelajari. Aku ingin sekali melihat ilmu silatmu, Milana. Agaknya engkau tentu telah mempelajari ilmu silat yang tinggi. Gerakan kakimu amat ringan dan tanganmu cekatan. Marilah kita main-main dan mengukur kepandaian masing-masing untuk menambah pengalaman dan pengetahuan.”

“Ah, mana mungkin aku dapat menandingimu, Kwi Hong? Engkau adalah murid To-cu dari Pulau Es yang terkenal, Pendekar Super sakti, sedangkan aku hanya seorang yang sebulan sekali saja menerima latihan dari Ibu. Dalam satu dua jurus saja aku tentu akan roboh!”

“Aihhh, mengapa kau merendahkan diri, Milana? Aku yakin kepandaianmu tentu sudah cukup tinggi. Pula, kita hanya main-main dan hitung-hitung berlatih, tidak bertanding sungguh-sungguh, mana perlu saling merobohkan?”

“Kwi Hong, ilmu silat adalah ilmu untuk menjaga diri, ada unsur bertahan akan tetapi juga selalu mengandung unsur menyerang. Kalau dipergunakan dalam pertandingan, mana bisa main-main lagi? Kepalan tangan dan tendangan kaki tidak mempunyai mata. Pula, selama hidupku, belum pernah aku menggunakan ilmu yang kupelajari untuk bertanding. Tidak, aku mengaku kalah!”

Kwi Hong menjadi kecewa sekali. Tidak ada seujung rambut dalam hatinya ingin merobohkan atau melukai Milana, hanya memang dia ingin mengalahkan anak itu di depan Bun Beng untuk mendapat pujian!

“Milana, untuk apa engkau mempelajari ilmu kalau kau takut mempergunakan?” Ia mendesak.

Bun Beng yang sudah mengenal watak halus Milana, merasa kasihan. Dia tidak menyalahkan Kwi Hong, karena ia maklum bahwa orang yang mempelajari ilmu silat tentu senang bertanding silat dan ia pun tahu bahwa bukan niat Kwi Hong untuk melukai Milana. Tentu saja Kwi Hong belum mengenal watak Milana yang sama sekali berlawanan dengan ilmu silat itu maka ia melangkah maju dan berkata,

“Kwi Hong, Milana tidak mau bertanding mengadu ilmu. Wataknya terlalu halus untuk bertanding. Kalau engkau ingin berlatih, marilah kulayani, biar terbuka mataku dan bertambah pengetahuanku menerima pelajaran dari murid Suma-taihiap yang sakti.”

Dalam ucapan ini, Bun Beng sama sekali tidak menyalahkan Kwi Hong, hanya ingin menolong Milana yang kelihatan terpojok. Akan tetapi, hati Kwi Hong tersinggung dengan kata-kata bahwa watak Milana terlalu halus, sama dengan mengatakan bahwa wataknya adalah kasar! Dengan kedua pipi merah ia lalu menjawab singkat.

“Baiklah. Mari!” Setelah berkata demikian ia lalu menerjang maju dengan serangan ke arah dada Bun Beng!

Bun Beng cepat mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi gerakan Kwi Hong amat cepatnya dan anak ini sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan lain yang amat cepat. Bun Beng terkejut, tak sempat mengelak lagi maka ia lalu menggerakkan tangan menangkis.

“Dukk!”

Kwi Hong merasa lengannya agak nyeri, akan tetapi Bun Beng terhuyung ke belakang. Dalam hal tenaga sin-kang dia kalah kuat oleh Kwi Hong yang menerima latihan sin-kang istimewa dari Suma Han di Pulau Es! Dan Kwi Hong yang merasa lengannya nyeri itu menjadi penasaran mengira bahwa Bun Beng agaknya memiliki kepandaian tinggi maka dia lalu menyerang terus dengan gencar.

Bun Beng menggerakkan kaki tangan, mempertahankan diri dengan ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang ia pelajari dari mendiang suhunya, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi lewat belasan jurus, dia terdesak hebat dan setiap kali terpaksa menangkis, dia terpental atau terhuyung.

“Wah, Kwi Hong.... aku menyerah kalah!” Bun Beng berseru sambil menangkis lagi.

“Dukk!”

Kembali Kwi Hong merasa lengannya nyeri. Biarpun sin-kangnya lebih kuat, namun kulit lengannya tidak sekeras dan sekuat Bun Beng yang selama setengah tahun hidup seperti kera liar dalam keadaan telanjang bulat. Ia makin penasaran.

“Mengadu ilmu tidak perlu mengalah. Bun Beng, keluarkan kepandaianmu, balaslah menyerang, jangan mempertahankan saja!”

Kwi Hong melanjutkan serangannya lebih cepat lagi sehingga Bun Beng menjadi repot sekali. Karena serangan bertubi-tubi itu amat cepat dan dahsyat, terpaksa ia dalam keadaan setengah sadar, telah menggerakkan kaki tangannya menurutkan ilmu dalam tiga kitab Sam-po-cin-keng.

Dia menangkis dengan gerakan membentuk lingkaran dengan kaki tangannya dan dari samping ia mengirim pukulan balasan, hanya mendorong ke arah pundak Kwi Hong dan dia berhasil! Pundak Kwi Hong terkena dorongannya sehingga anak perempuan itu terhuyung.

“Kau hebat juga!”

Biarpun mulutnya memuji, namun hati Kwi Hong menjadi panas. Dia menerjang lagi lebih hebat. Memang watak Kwi Hong keras dan tidak mau kalah. Dia merasa bahwa sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti dia tidak akan terkalahkan oleh anak-anak lain!

Bun Beng menjadi sibuk sekali. Biarpun dia mainkan ilmu silat yang dipelajari dari kitab orang sakti yang ia temukan di dalam sumber air panas di guha rahasia, namun isi kitab itu lebih ia kuasai teorinya saja, sedangkan isinya belum ia mengerti benar.

Apalagi kini Kwi Hong benar-benar mengeluarkan kepandaiannya. Ilmu silat yang dia pelajari dari Suma Han adalah ilmu silat tingkat tinggi dan anak ini setiap hari berlatih dengan para penghuni Pulau Es maka tentu saja serangan-serangannya amat hebat!

“Plakkk!”

Punggung Bun Beng kena ditampar. Dia terhuyung akan tetapi berkat semua penderitaan tubuhnya yang membuat tubuhnya kuat, dia tidak roboh dan dapat menangkis pukulan susulan. Kembali dia didesak hebat sampai mundur-mundur dan hanya mampu mengelak menangkis, sedangkan Kwi Hong seperti seekor harimau betina mempunyai keinginan untuk merobohkan Bun Beng. Kalau sudah kalah, tentu Bun Beng tidak berani merendahkannya dan akan menghargainya seperti yang ia inginkan!

“Kwi Hong, sudahlah....!” berkali-kali Milana menjerit ketika melihat betapa Bun Beng mulai terkena pukulan beberapa kali.

Biarpun bukan pukulan yang membahayakan, namun cukup membuat Bun Beng beberapa kali terhuyung dan mengaduh. Tiba-tiba Bun Beng menerjang dengan nekat! Sudah menjadi watak Bun Beng sebagai seorang anak yang tidak mengenal takut dan pantang menyerah! Apalagi baru menerima pukulan-pukulan seperti itu, biarpun diancam maut sekalipun dia pantang menyerah dan akan melakukan perlawanan.

Dia sudah mengalah, akan tetapi karena Kwi Hong agaknya bersikeras untuk merobohkannya, dia menjadi naik darah dan kini Bun Beng menerjang hebat dengan ilmu barunya secara sedapat-dapatnya. Biarpun gerakannya seperti ngawur, namun kakinya berhasil mengenai lutut Kwi Hong sehingga gadis cilik yang merasa kaki kirinya tiba-tiba lemas itu hampir jatuh!

Dia meloncat tinggi kemudian menukik turun dan menyerang Bun Beng dari atas dengan kedua tangan. Bun Beng terkejut, berusaha menangkis, namun hanya berhasil menangkis serangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya dapat menotok pundak Bun Beng, membuat pemuda cilik itu terguling.

“Kwi Hong, jangan lukai Bun Beng!” Tiba-tiba Milana yang sejak tadi berteriak-teriak mencegah pertandingan, sudah menerjang maju.

“Wuuuut....! Plakkk!”

Terjangan Milana cepat sekali, akan tetapi Kwi Hong masih sempat menangkis sehingga keduanya terhuyung mundur.

“Hemm, kiranya engkau boleh juga!”

Kwi Hong yang sudah menjadi marah karena menyesal bahwa dia telah merobohkan Bun Beng dan tentu Bun Beng akan marah kepadanya, sebaliknya suka kepada Milana yang membelanya, kini menyerang Milana yang cepat mengelak dan balas menyerang! Kiranya anak yang berwatak halus ini memiliki gerakan yang indah dan ringan sekali sehingga pukulan-pukulan Kwi Hong dapat ia elakkan semua.

Betapapun juga, dia segera terdesak hebat karena agaknya dalam keringanan tubuh saja dia dapat menandingi, sedangkan dalam ilmu silat dan tenaga, dia kalah banyak.

Biarpun Milana bergerak dengan gesit, tidak urung dia terkena dorongan tangan Kwi Hong yang mengenai pinggangnya sehingga ia terpelanting jatuh.

“Kwi Hong, kau terlalu!”

Bun Beng menubruk Kwi Hong, akan tetapi cepat Kwi Hong mengelak menjatuhkan diri sambil menendang.

“Bukk!” Paha Bun Beng terkena tendangan dan untuk kedua kalinya dia jatuh tersungkur.

“Kwi Hong! Apa yang kau lakukan ini?”

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Suma Han telah berada di situ. Melihat pamannya, seketika lenyap kemarahan dari hati Kwi Hong, terganti rasa takut.

“Paman, kami hanya main--main....”

“Main-main?”

Suma Han memandang Bun Beng yang telah bangun dan mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor. Juga Milana telah bangun dan memandang dengan wajah tenang.

“Karena menganggur, kami berlatih silat.” kata pula Kwi Hong.

“Hemm....”

Suma Han tetap memandang Bun Beng dan Milana penuh selidik. Melihat sikap pendekar itu dan melihat betapa Kwi Hong ketakutan, Bun Beng lalu cepat berkata.

“Kami hanya berlatih.”

Milana juga berkata,
“Kwi Hong hanya melatih saya, Suma-taihiap.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar