FB

FB


Ads

Sabtu, 03 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 020

Lulu memandang mereka.
“Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita mengalahkan dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri? Alangkah rendah dan memalukan. Lain kali masih banyak waktu untuk kuhancurkan dia. Dia itu musuhku! Musuhku....!"

Akan tetapi Lulu cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan Keng In dan berjalan memasuki istananya. Setelah ia berada seorang diri di kamarnya, Ketua Pulau Neraka ini melempar diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya yang menangis itu di atas bantal.

“Koko.... ahhhh, Han-koko.... engkau masih lemah seperti dulu....! Kalau engkau tidak mau berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di tanganmu.... kau tunggu saja....!”

Mengapa Lulu tiba-tiba menjadi majikan Pulau Neraka? Agar tidak membingungkan, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari pergi meninggalkan suaminya, Wan Sin Kiat atau yang terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san).

Semenjak Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, kemudian ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian Suma Han dengan ratap tangis dan merasa betapa semangatnya dan seluruh kebahagiaan hatinya terbawa pergi oleh kakak angkatnya itu (baca cerita Pendekar Super Sakti).

Semenjak itu, dia hidup menderita kesengsaraan batin dan barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak angkatnya itu pria yang dicintanya dan betapa dia telah melakukan kesalahan yang besar dalam hidupnya dengan menerima dijodohkan dengan Wan Sin Kiat. Dia suka kepada Sin Kiat dan kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi suaminya ini, akan tetapi dia tidak dapat mencintanya sebagai seorang isteri mencinta suami karena kini dia merasa yakin bahwa dia hanya dapat mencinta Suma Han seorang yang tak mungkin diganti dengan pria lain.

Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan dengan Sin Kiat, sudah bersumpah di depan meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya mempergunakan kebijaksanaan dan berusaha untuk mencinta suaminya, melayaninya sebagaimana kewajiban seorang isteri yang baik. Namun, sampai dia melahirkan seorang anak, tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat, tidak dapat melupakan Suma Han, bahkan makin berat penderitaan batinnya yang menjerit-jerit ingin dekat dengan pria yang dicintanya itu.

Suaminya juga maklum dan merasa akan keadaan isterinya itu, dan akhirnya, karena tidak kuat lagi, Lulu membawa anaknya pergi meninggalkan suaminya.

Dengan niat hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke Pulau Es, dia melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan tetapi Lulu sekarang tidak seperti dahulu ketika masih kanak-kanak bersama Han Han (Suma Han) melakukan perjalanan, kini setelah menjadi murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat dan dia dapat melakukan perjalanan cepat.

Betapapun juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau Es. Maka Lulu yang tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan perjalanannya dengan mengira-ngira saja, sambil mengingat-ingat perjalanannya dahulu ketika meninggalkan Pulau Es bersama Suma Han. Banyak daerah yang sudah ia lupakan, maka di luar tahunya, dia tersesat sampai memasuki daerah Khitan!

Pada suatu pagi, dia melihat sebuah tanah kuburan yang luas, tanah kuburan yang megah dan terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan itu adalah tanah kuburan keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika melihat seorang kakek bongkok yang lihai bertanding melawan seorang tinggi besar kurus berkulit hitam memakai sorban. Ia teringat akan penuturan sucinya, Puteri Nirahai, tentang penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai dan bongkok benama Gu Toan.

Kini melihat kakek bongkok itu dan keadaan tanah kuburan, ia segera menduga bahwa tentu inilah kuburan keluarga Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa berpihak kepada kakek bongkok. Setelah menggendong Keng In erat-erat di punggungnya, Lulu mencabut pedangnya dan meloncat ke gelanggang pertempuran sambil berseru,

“Apakah Locianpwe yang bernama Gu Toan?”

Kakek bongkok itu sedang didesak hebat oleh orang India tinggi kurus yang amat lihai, namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh.

“Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Suci Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoinya, murid Subo Maya.”

“Ahhh.... kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka-pusaka dan pergi dari sini. Bawa pusaka-pusaka itu.”

Lulu tertegun dan bingung.
“Pusaka apa....?”

“Dessss!”

Tubuh Gu Toan terguling-guling karena dia terkena pukulan di pundaknya oleh tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat bangun lagi dan mulutnya menyemburkan darah segar. Melihat ini, Lulu menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi orang India itu mendorongkan tangan kiri ke depan dan Lulu terhuyung-huyung!

“Jangan bantu aku! Lekas kau buka batu di belakang kuburan Suling Emas, ambil semua pusaka dan bawa pergi. Cepat....!”

Kakek Gu Toan kembali berkata dan menerjang orang India itu dengan nekat. Kakek itu mempergunakan bahasa selatan yang dimengerti oleh Lulu, akan tetapi agaknya tidak dimengerti oleh kakek India itu yang menjadi marah dan mengamuk dengan kaki tangannya yang panjang-panjang.

Maklum bahwa menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting daripada nyawa kakek bongkok itu, apalagi teringat bahwa pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas adalah pusaka yang diperebutkan semua orang kang-ouw, Lulu cepat meloncat dan meneliti batu nisan kuburan satu demi satu.

Akan tetapi tidak sukar dan tidak lama dia mencari karena batu nisan kuburan Suling Emas adalah yang terbesar dan berada di tengah-tengah. Cepat dia menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah kuburan dan dengan tenaga sin-kang dia mendorong batu besar yang berada disitu.

Batu tergeser dan di bawahnya terdapat sebuah lubang. Cepat diraihnya sebuah peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya. Ketika ia meloncat bangun, ia melihat Si Bongkok kembali terhuyung-huyung terkena pukulan lawannya yang lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok berseru.

“Lekas pergi! Lekas lari.... pusaka itu menjadi milikmu....!”

Mendengar ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan keselamatan anak di gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Beberapa hari kemudian ketika ia membuka peti kuning, ia mendapatkan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi, yaitu ilmu-ilmu yang dipelajari Suling Emas dari Bu Kek Siansu dan telah ditulis sebagai kitab oleh Suling Emas.






Ilmu silat Kim-kong-sin-hoat, Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-kiam-hoat dan Lo-hai-san-hoat. Selain empat buah kitab ilmu silat tinggi ini, terdapat pula sebuah kipas, kipas pusaka milik mendiang Suling Emas!

Lulu teringat bahwa pusaka Suling Emas dahulu dipinjam oleh Nirahai. Dia menjadi girang sekali dan sambil melanjutkan perjalanannya mencari Pulau Es yang ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu itu. Karena dia telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pada dasarnya dia memiliki sin-kang luar biasa dari latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu-ilmu itu cepat dapat dikuasainya.

Akhirnya, setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan menempuh segala macam kesukaran, tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat dia dan Suma Han mendarat dahulu ketika mereka meninggalkan Pulau Es (Baca cerita Pendekar Super Sakti). Tempat itu sunyi sekali, tidak ada manusia dan tentu saja tidak tampak nelayan, maka dengan tekun dan sabar Lulu membuat sebuah perahu dari batang pohon.

Biarpun dia memiliki tenaga yang hebat, namun sebagai seorang wanita yang tidak pernah melakukan pekerjaan berat, tentu saja pembuatan perahu ini memakan waktu berbulan-bulan. Dengan nekat ia lalu meluncurkan perahunya ke tengah lautan dan hanya mengandalkan dayung dan kedua tangannya untuk mendayung perahu, pergi mencari Pulau Es, atau lebih tepat lagi, pergi mencari Suma Han, laki-laki yang dicintanya. Tekadnya, kalau tidak dapat mencari Suma Han dan hidup di samping pria ini, lebih baik mati saja!

Dalam pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah ketidak mampuan mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan hebat bagi Lulu dan anaknya, jauh lebih hebat daripada ketika dia melakukan perjalanan darat. Beberapa kali badai dan taufan mengancam nyawa, mengombang-ambingkan perahu hampir tenggelam.

Dalam keadaan seperti itu, Lulu hanya dapat menangis, mendekap puteranya dan menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta pertolongan dari orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan belum menghendaki dia mati, biarpun badai seperti itu, Lulu dan puteranya tetap selamat!

Karena serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana arah tujuannya, dan tidak tahu dimana adanya Pulau Es! Jangankan itu, bahkan dia tidak tahu lagi dimana letaknya daratan yang sudah tidak tampak lagi dari tengah lautan. Dia tidak takut kelaparan karena dengan kepandaiannya, mudah saja baginya untuk menangkap ikan dan memanggang dagingnya, minuman pun tidak kurang karena kini selain air hujan, ia dapat pula minum dari gumpalan es yang kadang-kadang terdapat di atas permukaan air laut. Hanya menghadapi amukan badai, dia benar-benar tidak berdaya dan hanya mampu menangis, menyebut-nyebut nama Suma Han.

Pada suatu pagi, tiba-tiba dia mendengar suara melengking di atas perahu dan betapa kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar sekali beterbangan di atas perahu sambil mengeluarkan suara melengking-lengking panjang. Tiba-tiba burung itu menyambar ke bawah, agaknya hendak menerkam Keng In yang berada di atas papan perahu.

“Prakkk!”

Dayung di tangan Lulu hancur, akan tetapi burung itu pun terpental dan terbang ke atas sambil memekik marah.

“Keparat jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun kalau kau berani!”

Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil memaki-maki. Dia menyambar Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka anak dan peti itu dia ikat kuat-kuat di punggungnya, tangannya mencabut pedang, siap menghadapi burung rajawali yang agaknya masih penasaran dan beterbangan mengelilingi atas perahu kecil.

Burung rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah menyakitinya. Lulu mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat dan juga pandai sekali bertempur, karena kuku-kuku jari kakinya diulur seperti pisau-pisau runcing menangkis sambil mencengkeram.

“Crakkkk.... aihhh!”

Lulu menjerit dan meloncat ke belakang. Kuku jari kaki kiri burung itu patah terbabat pedang, akan tetapi cengkeraman kaki kanannya berhasil merampas pedang dan melukai sedikit lengan tangan Lulu! Sambil terbang berputaran, burung itu memekik-mekik kesakitan dan juga saking marahnya pedang rampasan dilepaskan dan jatuh ke dalam laut, kemudian ia siap untuk menyerang lagi.

Biarpun marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia berlaku cerdik. Dilolosnya sabuk sutera dari pinggang dan begitu burung itu menyambar turun, Lulu menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas merupakan sinar putih, ujung sabuk dengan tepat melibat leher burung dan ia meloncat ke atas mengayun dirinya dengan sabuk itu. Di lain saat, Lulu telah duduk di atas punggung rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat sehingga leher burung itu tercekik!

“Menyerahlah! Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu sampai patah!”

Lulu membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu leher, sedangkan tangan kanannya menarik ujung sabuk yang telah melibat leher burung. Burung itu meronta-ronta, berusaha memutar kepala untuk mematuk orang yang menduduki punggungnya, namun Lulu lebih cepat lagi menghantam kepala burung itu dengan telapak tangan kiri. Setelah burung itu megap-megap hampir kehabisan napas, Lulu mengendurkan cekikannya dan kembali membentak.

“Hayo terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!”

Setelah beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu agaknya merasa bahwa dia telah bertemu mahluk yang lebih kuat, maka sambil mengeluh panjang ia tidak meronta lagi, melainkan terbang dengan lurus dan cepat menuju ke utara.

Lulu girang bukan main. Kalau burung ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah mencari Pulau Es dengan menunggang burung raksasa ini daripada naik perahu kecil yang selalu dilanda ombak!

“Eh, Tiauw-ko (Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang bersahabat. Tolonglah terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es, kau tahu?”

Akan tetapi burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara? Kalau dia mengalami kesukaran dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi adalah sarangnya, maka biarpun kini dia tidak berani lagi membantah atau melawan penunggangnya, otomatis dia terbang secepatnya menuju ke sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!

Pada waktu itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak dikenal orang. Para penghuninya, biarpun memiliki ilmu kepandaian yang lihai namun merupakan keturunan orang-orang buangan yang selamanya mengasingkan diri di tempat ini.

Pemimpin mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian paling tinggi, dan pada waktu itu, yang menjadi pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang ilmunya tinggi sekali. Seorang di antara mereka yang paling tua menjadi pemimpin pertama sedangkan lima orang lain menjadi pembantu-pembantunya.

Karena hidup terasing, keadaan mereka lebih menyerupai kehidupan orang-orang yang masih biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya terbuat daripada kulit-kulit binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, bahkan banyak di antara mereka yang turun-temurun mempelajari huruf-huruf sehingga pada waktu itu mereka mengenal huruf-huruf yang kuno yang dipergunakan ratusan tahun yang lalu dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.

Ketika Lulu melihat burung yang ditungganginya itu terbang di atas sebuah pulau hitam yang kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata,

“Tiauw-ko, itu bukan Pulau Es! Pulau Es kelihatan putih bersih, tidak seperti ini. Kau keliru memilih tempat!”

Akan tetapi rajawali yang tidak mengerti kata-kata ini, tetap saja terbang merendah dan tiba-tiba Lulu melihat gerakan orang-orang di atas pulau, juga dia melihat bangunan-bangunan aneh. Melihat di bawah ada orang, dia girang sekali. Mungkin sekali penghuni pulau di bawah ini akan dapat memberi keterangan tentang Pulau Es, dan siapa tahu kalau-kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka mengantar dengan perahu. Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya ini pun amat berbahaya!

“Turunlah! Turun ke tempat orang-orang itu!”

Lulu menepuk-nepuk leher rajawali dan burung itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu cepat merangkul lehernya. Anaknya mulai menangis.

“Diamlah, Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang....” Lulu menghibur dan menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di punggung.

Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika burung rajawali sudah terbang rendah, ia melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di bawah itu bermacam-macam warnanya, tidak lumrah manusia karena ada yang hitam, merah, hijau, biru dan kuning!

Akan tetapi karena burung itu sudah hinggap di atas tanah, ia lalu melompat turun dengan gerakan ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung rajawali yang merasa punggungnya tidak ditunggangi lagi, memekik girang lalu terbang ke atas membubung tinggi, masih memekik-mekik.

Orang-orang yang aneh itu menghadapi Lulu dan memandang penuh perhatian. Enam orang kakek yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di antara mereka yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih berkata, suaranya kaku dan aneh, akan tetapi Lulu masih dapat menangkap artinya.

“Toanio siapakah? Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?”

Kini Lulu yang terbelalak keheranan.
“Orang buangan dari Pulau Es? Apa maksudmu? Aku justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau itu?”

“Kami tidak tahu dan mau apa engkau mencari Pulau Es?”

“Aku mau mencari sahabatku di sana!”

“Sahabatnya di Pulau Es!”

Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini memandang Lulu dengan geram. Hal ini mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya mereka ini adalah orang-orang yang membenci Pulau Es, entah apa sebabnya. Melihat mereka sudah siap-siap dengan mencabut bermacam senjata, Lulu cepat bertanya,

“Kalian siapakah? Dan pulau apakah ini?”

Kakek itu menjawab,
“Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari Pulau Es. Pulau ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es, dan sekali waktu, pasti kami akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh kami di Pulau Es!”

Hati Lulu makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik. Han Han (Suma Han) telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biarpun dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya itu pun mencintainya, namun telah tega mengawinkan dia dengan orang lain!

Sekarang setelah ia melarikan diri dari suaminya, mengingat akan watak kakak angkatnya itu, tentu dia akan dimarahi dan belum tentu kakak angkat itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang ini! Dia kelak akan dapat memperlihatkan bahwa dia pun bukan orang sembarangan, dan dia akan menginsafkan kakak angkatnya itu! Apalagi karena sekarang dia telah menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas.

“Bagus!” tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. “Kalau begitu, biarlah aku akan memimpin kalian untuk menyerbu Pulau Es!”

Terdengar suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata,
“Engkau katakan tadi bahwa engkau hendak mencari sahabatmu di Pulau Es?”

“Benar, akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat kalian? Aku akan memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar kalian menjadi orang pandai dan beradab, tidak seperti sekarang ini!”

“Perempuan muda, bicaramu tekebur sekali! Engkau anggap kami ini orang apa mudah saja mengangkat seorang pemimpin seperti engkau? Biarpun engkau datang secara aneh menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang kepandaian, hemm.... agaknya melawan orang tingkat terendah dari kami saja belum tentu engkau menang!”

Semenjak gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati. Kini mendengar kata-kata itu, naik darahnya.

“Siapa yang paling tinggi tingkatnya di sini?”

Kakek bermuka kuning itu tertawa.
“Aku!”

“Baik. Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apakah aku cukup berharga menjadi ketua di sini?”

Kembali terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu. Kakek itu mengelus jenggotnya dan berkata,

“Perempuan muda, engkau sungguh lancang. Akan tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini dia diangkat menjadi pemimpin. Aku orang pertama di sini, kalau engkau bisa mengalahkan aku, tentu saja engkau patut menjadi pemimpin.”

“Bagus! Kalau begitu, kau tunggu sebentar!”

Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya. Keng In, anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis karena lapar, maka dia lalu menyusui anaknya, ditonton oleh semua orang yang berada disitu dengan heran. Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang disusui karena Sang Ibu yang sudah berubah warna kulitnya berarti telah mempunyai darah yang beracun sehingga anak-anak diberi makanan buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan makanan lain.

Setelah menyusui anaknya yang lantas tertidur saking lelahnya, Lulu meloncat bangun dan menggulung lengan bajunya, menghadapi kakek itu. Dia teringat pedangnya yang sudah jatuh ke laut, maka dia bertanya,

“Engkau hendak bertanding dengan senjata apa?”

“Perempuan muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau tidak bersenjata, biarlah kuhadapi engkau dengan tangan kosong pula. Bahkan kalau engkau bersenjatapun, aku sanggup menghadapimu dengan tangan kosong!”

Setelah berkata demikian, kakek muka kuning itu lalu menancapkan rantingnya di atas tanah, kemudian kakinya yang telanjang itu melangkah maju menghampiri Lulu.

“Bagus, kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan seranglah!”

Biarpun Lulu mempergunakan kata-kata dan sikap sombong, namun sebenarnya dia cerdik dan diam-diam dia waspada karena dia dapat menduga bahwa orang-orang aneh ini tentu memiliki kepandaian yang aneh pula.

“Perempuan muda, jaga seranganku!” Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya menyambar.

“Wuuuuttt!”

Angin keras menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena tepat seperti telah diduganya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang hebat. Namun dia tidak gentar dan dengan mudah ia mengelak dengan loncatan ringan kemudian dari samping kakinya menendang ke arah lambung lawan.

“Plakk!”

Kakek itu menangkis dan dia berseru kaget. Sama sekali tidak disangkanya bahwa perempuan muda itu memiliki tendangan yang demikian hebat sehingga tangkisannya yang dapat mematahkan balok itu ketika mengenai kaki, terasa nyeri sedangkan wanita itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia bahwa wanita itu tidak bersombong kosong, maka mulai dia menerjang bagaikan angin ribut, cepat dan kuat setiap pukulannya.

Lulu merasa girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki untuk mengukur tenaga dan biarpun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu bahwa sin-kangnya yang dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi tenaga kakek ini. Maka dia pun kini melawan dengan pengerahan tenaga, bahkan dia mulai mainkan ilmu-ilmu silat baru yang ia pelajari dari kitab peninggalan Suling Emas.

Berkali-kali kakek itu berseru kaget dan heran ketika mengenal ilmu silat yang dasarnya sama dengan ilmunya sendiri, hanya dia tidak mengenal perubahan-perubahannya yang jauh lebih hebat daripada kepandaiannya.

Ketika Lulu mencoba untuk mainkan Kim-kong Sin-kun, dia masih mampu menahan, akan tetapi ketika Lulu merobah ilmunya dan mencoba mainkan Hong-in-bun-hoat, kakek itu berseru kaget dan terdesak hebat.

Dia hanya melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang menulis huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya serangan kedua tangan itu luar biasa sekali, dan kuatnya bukan main sehingga angin pukulannya saja membuat dia tergetar.

Memang demikianlah sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera Angin dan Awan), yang dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang. Ilmu ini mendasarkan pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti menjadi sifat huruf-huruf itu, coretannya sesuai dengan makna hurufnya seperti lukisan, akan tetapi kalau coretan-coretan itu dilakukan sebagai gerakan menyerang, hebatnya bukan main!

Setelah mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah “coretan” tak tersangka-sangka dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki pertahanan Si Kakek dan jari-jari yang lembut itu mengenai pangkal lengan.

“Cusss!”

“Aduhhh....!”

Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang dan dari pangkal lengannya keluar darah. Baju kulit harimau beserta kulit dan daging pangkal lengan itu terkuak oleh jari tangan Lulu!

“Toanio, tidak kusangka ilmu kepandaianmu hebat bukan main! Akan tetapi aku belum kalah! Hadapi rantingku ini!”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit sekali kakek yang sudah terluka itu menyambar rantingnya lalu menerjang maju.

“Cuittt.... tar-tar-tar....!”

Senjata yang hanya merupakan ranting kayu itu ternyata lemas sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak dan mengancam kepala Lulu dari empat penjuru!

Kalau saja Lulu tahu bahwa sekali terkena ujung ranting itu dia akan menderita luka berbisa yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan mendatangkan bahaya. Untung dia tidak tahu sehingga dia dapat bersikap tenang, mengelak ke sana sini sambil berusaha merampas ranting!

Akan tetapi tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung dipergunakan untuk menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke kiri, dan ranting itu sudah meledak lagi berubah lemas menyambarnya seperti lecutan cambuk.

Diserang secara aneh oleh senjata yang dapat lemas dan berubah kaku ini, Lulu menjadi sibuk sekali. Untung bahwa dia pernah digembleng oleh Maya dalam hal ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sehingga kini tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata istimewa lawan itu.

Para penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu, kini menjadi bengong dan terbelalak kagum. Biarpun wanita itu terdesak, namun jelas tampak oleh mereka betapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan lebih tinggi tingkatnya daripada kakek yang menjadi ketua mereka!

Payah juga Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi penasaran dan marah karena sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Tubuhnya terus dikejar ujung ranting yang menghalangi dia melakukan serangan. Sayang dia tidak mempunyai senjata.

Tiba-tiba ia teringat. Di dalam peti kuning terdapat sebuah senjata kipas peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah mempelajari ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah di antara kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan kipas itu, Teringat akan ini, dia berseru.

“Tahan senjata!”

Kakek itu berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, namun belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan! Karena dia menyerang terus menerus dan belum pernah ia melakukan pertandingan selama itu, napasnya memburu dan hampir putus, mukanya sebentar merah sebentar pucat, membuat muka yang berwarna kuning itu sebentar tua sebentar muda warnanya.

“Apakah engkau menyerah kalah?” kakek itu menegur.

Lulu meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu berdiri lagi menghadapi lawannya.

“Belum ada setitik darahku keluar, bagaimana aku menyerah kalah? Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah dan menjadi pembantuku, karena kalau aku menggunakan senjataku ini, engkau pasti akan kalah.”

“Senjata.... kipas....?”

Kakek itu mengerti kipas dari dongeng nenek moyang dan sebagian besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat kipas selamanya, juga mendengarpun belum, maka mereka memandang terheran-heran.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar