FB

FB


Ads

Sabtu, 03 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 019

Yang bersikeras mempertahankan senjatanya, menjerit dan memegangi tangan yang terpaksa melepaskan tombak karena kulit telapak tangan mereka berdarah! Dengan tenang Suma Han melangkah terus, menggerakkan tongkatnya dan belasan batang tombak terpelanting ke kanan kiri, terpelanting keras sekali, ada yang meluncur seperti anak panah dan hilang di antara pohon-pohon, ada pula yang menancap di atas tanah sampai setengahnya lebih!

Mereka yang telah menyerang, belasan orang itu, meritih-rintih, dan mereka yang belum menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Karena maklum bahwa menyerang seperti kawan-kawannya tadi tidak akan berhasil sedangkan lawan telah melewati hadangan pasukan mereka, belasan orang sisa yang kehilangan tombak lalu menggerakkan tombak mereka, melontarkan kuat-kuat sehingga kini ada belasan yang meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing menyerang ke arah tubuh belakang Suma Han!

Seperti tadi, Suma Han tenang-tenang saja, tidak menengok sama sekali sehingga seolah-olah sekali ini dia akan celaka oleh belasan batang tombak yang meluncur secara kuat, cepat dan tepat ke arah punggungnya.

Akan tetapi setelah ujung tombak-tombak itu tinggal beberapa senti lagi dari punggungnya, tubuhnya membalik, tangan kanannya mengibas ke depan dan.... belasan batang tombak itu runtuh dan semua menancap ke atas tanah di depan kakinya, berjajar-jajar rapi seperti diatur. Kemudian ia membalikkan tubuh lagi dan berjalan maju terpincang-pincang dibantu tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

“Pendekar Siluman.... kepandaiannya seperti iblis....” Pasukan muka biru muda itu berbisik dan saling pandang dengan mata terbelalak.

Kini pada sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi, pasukan yang terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus. Hemm, pikirnya, setingkat lebih tinggi, akan tetapi tetap saja dia tidak puas dan merasa dipandang rendah. Dia dapat menduga bahwa tingkat tertinggi tentu berwarna putih, dan warna yang mendekati putih adalah warna kuning.

Kalau Si Ketua merasa terlalu tinggi untuk menghadang sendiri, sedikitnya dia harus mengutus tokoh-tokoh bermuka kuning untuk menghadapinya. Akan tetapi muka hijau pupus? Hemmm, kalian terlalu memandang rendah To-cu Pulau Es, padahal orang-orang Pulau Neraka dahulunya hanyalah orang-orang buangan dari Pulau Es!

“Haiii! Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?” Seorang di antara mereka bertanya.

Akan tetapi, seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka bicara melainkan melangkah maju terpincang-pincang ke depan, tidak mempedulikan delapan belas orang yang bersenjata masing-masing sebatang golok besar itu, sedangkan tangan kiri mereka siap mendekati kantung di pinggang yang ia duga tentu berisi senjata rahasia berbisa!

Melihat sikap Suma Han, delapan belas orang itu lalu membuka barisan dan mengurung. Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti itu membuat mereka hati-hati sekali sehingga kurungan itu mengikuti gerakan Suma Han yang melangkah maju. Tiba-tiba seorang diantara mereka berseru keras dan terdengar goloknya berdesing menyambar, diikuti oleh golok-golok lain yang menyambar secara berturut-turut.

Hemm, kepandaian mereka ini sedikitnya tiga kali lipat daripada tingkat pasukan pertama yang bermuka biru muda tadi, pikir Suma Han. Ketika semua golok menyerangnya, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga delapan belas orang yang tiba-tiba kehilangan lawan itu mengira dia pandai menghilang! Akan tetapi mereka segera melihat ke atas dan delapan belas buah tangan kiri bergerak.

“Ciat-ciat-ciatt!”

Belasan batang pisau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah seluruh bagian tubuh Suma Han.

“Trang-cring-cring-trang....!”

Semua pisau itu terpental dan melayang jauh ke segenap penjuru karena ditangkis oleh segulung sinar dari tongkat yang diputar sedangkan tubuh Suma Han sudah melayang turun lagi. Delapan belas orang itu kembali menerjang, sinar golok mereka berkeredepan menyilaukan mata. Suma Han memutar tongkatnya sambil mengerahkan tenaga.

Terdengar suara hiruk pikuk dan setelah suara itu lenyap, delapan belas orang itu berdiri bengong memandangi gagang golok di tangan yang sudah tidak ada goloknya lagi karena senjata mereka telah patah semua!

Ketika mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung itu sudah berloncatan ke depan. Mereka tidak berani mengejar karena selain mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar itu, juga di depan terdapat pasukan penjaga lain yang lebih tinggi tingkatnya.

Kini Suma Han melihat pasukan terdiri dari sembilan orang yang bermuka merah muda, yaitu tiga wanita dan enam pria, masing-masing memegang senjata Siang-kiam (Sepasang Pedang).

“To-cu dari Pulau Es, perlahan dulu!” seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan berambut panjang riap-riapan sampai ke pundak, menegurnya.

“Kalian ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?”

Suma Han bertanya, sikapnya tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan sambil mengerahkan Im-kang sehingga sembilan orang yang mendengat suara ini, tergetar jantungnya dan menggigil kedinginan.

Akan tetapi dengan pengerahan sin-kang, mereka dapat mengusir rasa dingin itu dan kini pasukan itu terpecah menjadi tiga, masing-masing tiga orang, seorang wanita dan dua orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini mengurung Suma Han dari depan, kanan dan kiri.

“Kami adalah murid-murid tingkat dua!” jawab kakek itu.

“Hemm, Ketua kalian membuang-buang waktu saja. Mengapa tidak dia sendiri saja yang maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang lebih kuat?”

“Orang muda yang sombong!”

Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya menudingkan pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik akan tetapi sinar matanya liar dan ganas.

“Biarpun engkau To-cu Pulau Es, akan tetapi engkau masih muda, kakimu buntung, tidak selayaknya bersikap sombong seperti itu. Lihat pedang!” Wanita itu sudah menyerang, disusul dua orang temannya.






Melihat gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari kitab-kitab peninggalan Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus yang ampuh akan tetapi sayang bahwa gerakan mereka kurang sempurna.

“Hemmm, mengapa begitu melakukan jurus Siang-liong-jio-seng (Sepasang Naga Berebut Bintang)?”

Dengan tongkatnya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan kanannya meraih dan secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak itu telah pindah ke tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya dan memutar sepasang pedang dengan kedua tangan.

“Beginilah mestinya! Dalam perebutan antara sepasang naga, yang kanan harus mengalah karena biasanya lawan memperhatikan tangan kanan sehingga yang kiri dapat melakukan serangan tiba-tiba yang mengacaukan lawan. Jangan menitik beratkan gerakan pedang kanan!”

Sementara itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan mereka terampas dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini cepat menerjang dengan pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan sepasang pedang dengan jurus Siang-liong-jio-seng yang amat dikenal oleh mereka itu dan anehnya, biarpun mereka mengenal baik jurus ini, berturut-turut mereka berseru kaget karena terdengar kain robek dan tiba-tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat lenyap, yang tinggal hanya sepasang pedang rampasan itu menancap di tanah, dan ketika mereka saling pandang, tampaklah betapa pakaian mereka telah robek dan berlubang di dua tempat, yaitu di ulu hati dan perut!

Sebagai ahli-ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya, sembilan orang bermuka merah muda ini maklum bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki, mereka tentu telah roboh dengan jantung tertembus pedang dan sudah tewas semua! Maka mereka hanya dapat menghela napas dan memandang pendekar kaki buntung yang kini telah berjalan terpincang-pincang menuju ke penjagaan terakhir, yaitu empat orang kakek bermuka kuning.

Empat orang kakek itu usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih, sikapnya gagah dan angker, pakaiannya sederhana, dengan jubah panjang dan rambut serta jenggot mereka panjang, kaki mereka telanjang tak bersepatu dan tangan mereka hanya bersenjatakan sebatang tongkat kecil yang panjangnya satu setengah meter, terbuat dari kayu hitam atau ranting yang lemas.

Melihat keadaan ini, Suma Han bersikap hati-hati karena dia dapat menduga bahwa tentu empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh tingkat satu, hanya di bawah Sang Ketua dan telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Hanya ia merasa heran mengapa jumlah mereka ada empat orang, tidak enam atau tiga karena semenjak pasukan pertama, penghuni Pulau Neraka itu menggunakan bentuk barisan tiga bintang yang dapat diluaskan menjadi masing-masing pasukan sembilan orang namun pada dasarnya masih mempergunakan bentuk barisan tiga bintang dengan gerakan segi tiga.

Dia tidak tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu bermuka kuning itu ada enam orang, yang seorang telah meninggal dunia sedangkan yang seorang lagi kini sedang merantau atas perintah Ketua mereka untuk menyelidiki keadaan kang-ouw yang geger karena hilangnya pusaka-pusaka yang diperebutkan setelah pasukan Pulau Neraka mengalami kegagalan di muara Sungai Huang-ho dahulu.

Oleh karena itu, kini hanya tinggal empat orang saja yang menghadapinya sebagai penjagaan terakhir dan mereka pun kini menjaga di depan bangunan besar yang menjadi istana dari majikan Pulau Neraka.

Setelah melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma Han lalu menghadapi empat orang itu dan berkata,

“Melalui garuda betina peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku datang, dan sekarang aku datang untuk menjemput muridku. Harap Su-wi Lo-cianpwe suka menyampaikan kepada To-cu Pulau Neraka agar mengembalikan muridku kepadaku.”

Empat orang kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang pendekar buntung itu dari kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub karena baru sekarang mereka melihat pendekar yang terkenal di seluruh dunia itu, yang ternyata tidak kelihatan luar biasa, bahkan hanya merupakan seorang pemuda yang cacad!

Betapapun juga, melihat sikap dan sinar matanya, mereka bergidik dan maklum bahwa pemuda di depan mereka ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Seorang diantara mereka yang rambutnya sudah hampir putih semua, segera mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata,

“To-cu dari Pulau Es sudah dapat tiba di sini membuktikan bahwa nama besarnya bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, sudah menjadi tugas kami untuk menjaga di sini dan kalau To-cu hendak menjemput murid dan bertemu dengan To-cu kami, harus melalui tongkat kecil kami.”

Suma Han mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.
“Hemm.... agaknya To-cu Pulau Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian hendak menguji kepandaianku? Nah, lihat baik-baik, biarpun kalian berempat, apakah aku kalah banyak?”

Suara Suma Han mengandung getaran yang dahsyat dan berpengaruh. Tiba-tiba empat orang kakek itu memandang terbelalak dan bingung karena di depan mereka kini bukan hanya ada seorang pemuda kaki buntung, melainkan pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang kembar!

Tentu saja mereka terkejut sekali dan betapa pun mereka mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh mujijat itu, tetap saja pandangan mereka tidak berubah, lawan telah menjadi dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah mereka!

Karena bingung, empat orang kakek itu lalu menggerakkan ranting di tangan mereka, menghantam Suma Han yang terdekat. Akan tetapi, biarpun ranting mereka mengenai tepat tubuh lawan, mereka seolah-olah menghantam bayangan saja dan ranting itu “lewat” menembus tubuh orang yang diserang.

Hal ini memang tidak mengherankan karena yang mereka serang itu bukanlah tubuh Suma Han yang asli, melainkan bayangan yang timbul karena pengaruh kekuatan ilmu merampas semangat dan pikiran orang yang dilakukan Suma Han.

Selagi mereka terheran-heran, Suma Han yang asli telah menggerakkan tongkatnya, empat kali menotok dan empat orang kakek itu mengeluh dan jatuh terduduk di atas tanah dalam keadaan lumpuh!

“Sudah kalian lihat kepandaian To-cu dari Pulau Es?”

Suma Han berkata dan kini empat orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja, berdiri di depan mereka, bersandar pada tongkat dan tangan kanan bertolak pinggang!

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun pintunya tertutup itu,
“Kalau To-cu Pulau Es memang gagah perkasa dan super sakti, jangan mengandalkan ilmu siluman!”

Suma Han memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak saking herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang kakek tingkat satu ini, tentu To-cu dari Pulau Neraka merupakan seorang kakek yang menyeramkan dan lebih mendekati iblis daripada manusia.

Akan tetapi suara yang keluar dari istana hitam itu, yang ia duga tentulah seorang To-cu pulau itu, adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring dan merdu! Bukan suara seorang kakek kasar, juga pasti bukan suara seorang nenek-nenek karena suara seperti itu tentu hanya dimiliki seorang wanita yang masih muda. Mungkinkah ini? Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang wanita muda?

Suma Han tidak akan percaya kalau saja dia tidak teringat akan Ketua Thion-liong-pang. Bukankah Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu pun wanita muda dan yang dia kini yakin tentu Lulu, adik angkatnya? Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan yang paling terkenal dan kuat kini dipimpin oleh wanita-wanita muda!

Benar-benar merupakan hal yang sukar dipercaya. Betapapun juga, mendengar ucapan itu wajahnya menjadi merah. Dia tadi memang mempergunakan kekuatan batinnya yang menguasai empat orang lawan melalui sinar mata dan suaranya dan hal itu dia lakukan hanya karena dia enggan bertanding melawan mereka.

Menghadapi pasukan-pasukan tingkat rendahan tadi, dia masih dapat melalui mereka tanpa melukai seorang pun. Akan tetapi, dari gerakan empat orang kakek ini dia maklum bahwa dia menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan untuk mengalahkan empat orang ini tanpa melukainya merupakan hal yang tidak mudah ia lakukan. Maka ia mengambil cara paling mudah, yaitu mengalahkan mereka dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya yang mujijat, yang kini telah mencapai tingkat amat tinggi setelah ia menerima gemblengan dan petunjuk terakhir dari manusia dewa Koai Lojin. Sekarang To-cu Pulau Neraka mencela dan mengejeknya, kalau dia tidak memperlihatkan kepandaiannya, tentu saja dia akan merasa malu sekali.

“Begitukah yang kalian kehendaki? Nah, Su-wi Locianpwe, bangunlah!”

Tongkatnya bergerak dan empat orang kakek muka kuning itu dapat bergerak kembali dan mereka melompat bangun. Kini mereka bersikap hati-hati sekali. To-cu Pulau Es ini benar-benar hebat. Sebagai To-cu Pulau Es yang kenamaan, menyebut mereka “locianpwe” ini saja sudah membuktikan bahwa To-cu Pulau Es ini adalah seorang yang rendah hati dan karenanya dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya.

“Maaf, kami hanya pelaksana tugas!”

Kakek beruban berkata sebagai pernyataan kesungkanan hati mereka, juga ucapan ini merupakan pembuka serangan karena secepat kilat empat orang itu sudah menyerang Suma Han dari empat penjuru!

Suma Han cepat menggerakkan tubuhnya, menggunakan Soan-hong-lui-kun untuk mengelak, akan tetapi tiga orang di antara mereka mengayun tongkat ke atas dan menghujankan serangan ke atas tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk turun! Sedangkan yang seorang tetap “menutup” bagian bawah dengan serangan cepat, rantingnya diputar seperti kitiran sehingga berubah menjadi gulungan sinar.

Suma Han terkejut bukan main. Teringat ia akan gaya serangan bibi gurunya, Maya, ketika menghadapi ibu gurunya, Khu Siauw Bwee. Mungkinkah tiga orang kakek ini telah mempelajari ilmu yang khusus dicipta oleh Maya untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun? Namun dia tidak diberi kesempatan untuk banyak berheran, terpaksa ia menggerakkan tongkatnya menotok ranting yang terdekat dan menggunakan tenaga pertemuan senjata itu untuk mencelat lagi ke samping, kemudian sambil memutar tongkat menangkis keempat senjata lawan ia turun lagi ke atas tanah. Segera ia dikurung dan diserang lagi. Suma Han memutar tongkat melindungi tubuh sambil memperhatikan gaya permainan para pengeroyoknya dan mengukur tingkat kepandaian mereka.

Dia kagum sekali. Ranting di tangan mereka itu kadang-kadang berubah menegang keras seperti baja, kadang-kadang lemas seperti cambuk dan gerakan mereka amat ringan dan cepat, tenaga sin-kang mereka pun amat kuat.

Dibandingkan dengan pembantunya, Yap Sun, agaknya tingkat setiap orang kakek muka kuning ini lebih tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan Phoa Chok Lin yang dia gembleng sendiri, pembantu utamanya itu lebih menang setingkat. Betapapun juga, kalau Ciok Lin yang menghadapi pengeroyokan ini, tentu pembantunya itu akan kalah!

Yang amat membikin dia penasaran dan kewalahan adalah ilmu silat mereka yang istimewa digerakkan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun. Biasanya, dengan ilmu gerak kilatnya ini, dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan-lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi sekarang, biarpun dia memiliki gerakan kilat yang jauh lebih cepat daripada gerakan mereka, namun keempat orang itu selalu mendahuluinya, menutup lubang-lubang ke mana dia dapat mencelat sehingga Soan-hong-lui-kun tak dapat ia mainkan dengan leluasa, bahkan seringkali macet dan tertutup di tengah jalan. Terpaksa Suma Han mengeluarkan kepandaiannya, memutar tongkatnya melindungi tubuh sehingga beberapa kali terdengar suara keras bertemunya tongkat dengan empat batang ranting itu.

Kalau begini keadaannya, aku hanya akan dapat menang dengan merobohkan mereka, dan hal ini berarti bahwa empat orang itu akan terluka. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka sambil mengeluarkan lengking panjang, tiba-tiba tubuh Suma Han mencelat ke belakang, membiarkan empat orang itu mengejarnya dan dengan gerakan cepat ia menancapkan tongkat di tanah kemudian kedua lengannya ia lonjorkan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan lalu membuat gerakan mendorong.

“Aihhh....!”

Empat orang yang sedang menerjang maju itu terhenti gerakannya dan terpental mundur sampai dua langkah. Tubuh mereka menggigil karena ada hawa dingin menyambar mereka. Cepat mereka pun berdiri melonjorkan kedua lengan sambil mengerahkan sin-kang. Dengan mempersatukan tenaga, mereka mampu mengusir hawa dingin yang menyerang, bahkan berusaha membalas dengan pukulan sin-kang jarak jauh.

Akan tetapi, tiba-tiba mereka terkejut sekali karena dorongan hawa dingin yang menekan dan yang berhasil mereka lawan itu tiba-tiba berubah menjadi hawa yang amat panas seperti ada api menerjang mereka. Cepat mereka menyesuaikan diri dengan pengerahan sin-kang mencipta tenaga dingin.

Namun kembali serangan hawa sin-kang dari majikan Pulau Es itu berubah dingin, dan sebelum mereka berempat menyesuaikan diri kembali berubah dan terus berubah-ubah sehingga keempat orang itu akhirnya menjadi kacau pengerahan sin-kangnya, mempengaruhi jalan darah dan mereka terhuyung-huyung lalu roboh pingsan! Suma Han menghentikan pengerahan sin-kangnya dan tiba-tiba dari dalam istana itu menyambar sesosok tubuh manusia berpakaian hitam dengan kecepatan yang luar biasa.

Menduga bahwa orang yang gerakannya secepat kilat ini tentu Ketua Pulau Neraka, maka melihat tubuh itu meluncur dan mengirim pukulan ke arah dadanya, Suma Han tidak berani memandang rendah dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis.

“Dukkk!”

Ia terkejut karena orang itu pun mempergunakan Im-kang yang amat kuat sehingga terasa olehnya hawa dingin menyerangnya. Pertemuan dua lengan yang sama-sama mempergunakan Im-kang itu hebat sekali, membuat Suma Han terpental selangkah ke belakang akan tetapi lawannya juga terpental tiga langkah! Sebelum Suma Han dapat melihat jelas, orang itu telah menubruk lagi dengan pukulan kedua tangan terbuka. Dia cepat mengangkat kedua tangannya menerima telapak tangan lawan.

“Plakkk!”

Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat, dua muka berhadapan dan dua pasang mata bertemu pandang.

Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Suma Han akan sekaget ketika ia melihat wajah yang putih itu. Ia menarik kembali kedua tangannya, meloncat mundur dengan kaki tunggalnya, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergerak memanggil.

“Lulu....!” Kaki tunggalnya menggigil sehingga ia jatuh berlutut memegang tongkatnya.

“Han-koko....!” Wanita bermuka putih yang bukan lain adalah Lulu itu menubruk maju dan berlutut pula.

“Lulu.... Moi-moi....!”

Suma Han memandang wajah cantik yang kini menjadi putih warnanya, memandang sepasang mata bintang yang bercucuran air mata.

“Lulu Adikku....”

“Aku bukan adikmu Han-koko!”

“Ohhh....”

Suma Han mengeluh, mereka saling pandang kemudian saling memeluk, berdekapan seolah-olah hendak menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini menyesak dada. Akan tetapi Suma Han segera dapat menguasai hatinya dan melepaskan pelukan, memegang kedua pundak Lulu dan memandang wajah itu.

“Lulu-moi-moi.... jadi engkaukah To-cu Pulau Neraka? Ahhh.... Moi-moi, mengapa begini....?”

“Karena engkau, Koko! Karena engkau kejam, engkau tega kepadaku!”

“Lulu, jangan berkata demikian. Engkau satu-satunya orang yang kusayang di dunia ini, sejak dahulu sampai sekarang. Mengapa engkau melarikan diri meninggalkan suamimu? Tahukah engkau bahwa dia menjadi sengsara dan membunuh diri dengan berjuang sampai mati? Ahhh, Lulu....!”

“Aku tahu! Dan semua itu terjadi karena engkau, Koko. Engkau kejam dan tega kepadaku, meninggalkan aku! Kita sama dibesarkan di Pulau Es, akan tetapi engkau tinggal di sana melupakan aku, padahal seharusnya kita berdua yang tinggal di sana. Engkau memaksa aku menikah dengan orang yang tidak kucinta, engkau meninggalkan aku dengan hati remuk, juga membuat hatiku hancur, kebahagiaanku musnah. Butakah engkau, atau pura-pura tidak tahu bahwa semenjak dahulu, hanya engkau satu-satunya pria yang kucita?”

“Ahh.... Lulu....!”

“Dan perasaanku meyakinkan bahwa engkau pun cinta kepadaku.... Tidak! Jangan katakan bahwa cintamu adalah cinta saudara! Engkau menipu hati sendiri dan sebaliknya daripada menyambung cinta kasih antara kita menjadi perjodohan engkau malah memaksa aku berjodoh dengan orang lain, sedangkan engkau sendiri rela pergi dengan hati hancur! Engkau menghancurkan kebahagiaan hati kita berdua! Pura-pura tidak tahukah engkau bahwa semenjak dahulu, sampai sekarang, ya, sampai saat ini, aku hanya akan bahagia kalau menjadi isterimu! Koko Han Han, jawablah, engkau tentu ingin menerima aku sebagai isterimu, bukan?”

Suma Han, Pendekar Super Sakti yang telah memiliki kekuatan batin luar biasa itu, kini hampir pingsan. Cinta merupakan kekuatan yang maha hebat, yang mengalahkan segala kekuatan di dunia ini. Jantungnya seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil dan kedua matanya basah.

“Lulu.... aku.... aku telah dijodohkan oleh Subo dengan Nirahai.... dan dia.... diapun meninggalkan aku....”

Lulu meloncat berdiri dan melangkah mundur, sejenak dadanya berombak menahan kemarahan yang timbul karena cemburu.

“Hemmm.... dan engkau lebih mencinta Suci Nirahai daripada aku?”

Suma Han juga bangkit berdiri dengan kaki lemas. Dia memandang wajah Lulu kemudian menghela napas dan menunduk,

“Lulu.... aku.... aku...., ahh, bagaimana aku harus menjawab? Semenjak dahulu aku cinta padamu, cinta lahir batin, dengan seluruh jiwa ragaku. Akan tetapi engkau adikku, maka aku mengalah. Kemudian, Subo menjodohkan aku dengan Nirahai, dan dia.... dia mirip denganmu. Karena sudah menjadi isteriku, bagaimana aku tidak mencinta dia? Akan tetapi engkau.... ahhhh, aku mencinta kalian berdua, Lulu.... sungguhpun cintaku terhadapmu tiada bandingnya di dunia ini.... akan tetapi engkau.... ah, engkau adalah isteri Sin Kiat dan....”

“Han-koko! Engkau masih lemah seperti dulu! Ahhhh, pria mulia yang bodoh! Pria gagah perkasa yang lemah! Selalu mengalah, membiarkan diri sendiri merana, berniat membahagiakan orang dengan pengorbanan diri akan tetapi malah menimbulkan kesengsaraan kepada semua orang! Aku mencintamu, Koko, akan tetapi aku adalah seorang wanita! Aku tidak sudi lagi bertekuk lutut dan meminta-minta! Tidak, lebih baik mati! Aku sudah bersumpah untuk memilih dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu! Tidak ada pilihan lain!”

“Lulu.... Lulu....!” Suma Han mengeluh, hatinya bingung bukan main.

“Ibu....!”

“Paman....!”

Keng In dan Kwi Hong berlari-lari keluar dari istana hitam. Keng In menghampiri ibunya dan Kwi Hong menghampiri pamannya. Kehadiran kedua orang anak ini mengembalikan kesadaran dan ketenangan Suma Han dan Lulu. Suma Han memandang keponakan atau muridnya itu, menegur,

“Bagus sekali perbuatanmu, ya!”

Kwi Hong berlutut di depan pamannya dan berkata penuh rasa takut,
“Paman.... aku tadinya sudah akan pulang, akan tetapi ditangkap Bibi ini. Harap Paman maafkan aku dan memberi hajaran kepadanya!”

“Ibu, apakah dia ini To-cu Pulau Es, Pendekar Siluman? Mengapa Ibu tidak menghajarnya?” Keng In bertanya kepada ibunya.

Lulu tidak menjawab, hanya meraba kepala anaknya dan pandang matanya tidak pernah lepas dari wajah Suma Han. Suma Han menghela napas dan berkata kepada Kwi Hong.

“Berdirilah, mari kita pulang.”

Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi memanggil burung garuda. Tak lama kemudian, tampaklah dua ekor burung itu terbang dengan cepat ke tempat itu lalu meluncur turun di depan Suma Han.

“Lulu, aku pergi....”

Lulu tidak menjawab, hanya mengangguk, sinar matanya membuat Suma Han tidak kuat memandang lebih lama lagi. Ia menghela napas lagi, meloncat ke punggung garuda jantan sedangkan Kwi Hong meloncat ke punggung garuda betina, kemudian dua ekor burung itu terbang cepat meninggalkan pulau, diikuti pandang mata Lulu dan Keng In.

“Ibu, mengapa membiarkan mereka pergi?”

Lulu menunduk, tidak menjawab, hatinya tertusuk oleh pertanyaan itu. Mengapa dia membiarkan Suma Han pergi? Membiarkan harapan dan kebahagiaannya terbawa pergi bersama orang yang dicintanya itu?

“Toanio, mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?”

Tiba-tiba seorang di antara empat kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu kini telah siuman dari pingsannya dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong naik dua ekor burung garuda yang terbang pergi dari tempat itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar