FB

FB


Ads

Sabtu, 03 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 016

Anak itu mengeluarkan suara ketawa mengejek.
“Nah, kalau begitu, menunggu apalagi? Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali merobek-robek perutmu?”

“Tidak! Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan saudara-saudaraku, biarlah saat ini aku menerima hukuman!” Tiba-tiba Ciu Toan mencabut pedangnya dan langsung menggorok leher sendiri!

“Ciu-twako....!”

Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah, sedangkan para bekas pejuang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh Ciu Toan terhuyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!

“Keparat! Setan....!”

Bun Beng mengepal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh masih terdengar gema suara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak, menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan.

“Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Mengapa tidak bangkit melawan bocah setan yang menunggang burung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri? Apa artinya ini semua?” Bun Beng membanting-banting kakinya dangan marah.

“Sssttt.... In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah Ciu-twako dan nanti kami akan ceritakan semua.” jawab seorang di antara mereka dengan sikap takut-takut.

Biarpun Bun Beng marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun terpaksa dia menurut karena mereka itu tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya. Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara sekedarnya, Bun Beng mendengat penuturan delapan belas orang itu.

“Agaknya Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan dari Majikan Pulau Neraka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang mampu menolong.....” kata mereka sambil menarik napas dengan muka berduka sekali.

“Pulau Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?”

Orang tertua dari para pejuang itu mengangguk.
“Sudah amat lama terjadinya. Ketika kami mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggauta Pulau Neraka yang membutuhkan akar jin-som dan daun pencuci darah yang banyak terdapat di hutan itu. Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang dan kami keroyok, pada waktu itu jumlah kami masih dua puluh lima orang, dia terluka dan melarikan diri.

Akan tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, kami dikalahkan dan dipaksa menukar nyawa dengan penyerahan sepuluh keranjang akar dan daun obat setiap tiga bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah dua kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu.

Amat sukar mengumpulkan akar dan daun obat sekian banyaknya. Tiga orang saudara kami tewas tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua orang terpaksa membunuh diri seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang Ciu-twako yang mengorbankan diri.”
.
Bun Beng mengepal tinjunya, penasaran sekali.
“Mengapa kalian tidak melawan?”

Orang itu menggeleng kepala.
“Melawan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami tidak berdaya sama sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan. Ciu-twako membunuh diri untuk menolong saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi pemimpin, tentu akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya.....”

Bun Beng menggeleng-geleng kepalanya.
“Sungguh menjemukan kalau begitu, kenapa Cu-wi tidak pergi saja meninggalkan tempat ini?”

“Pergi ke mana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang pemerintah penjajah untuk menangkap kami,” jawab orang itu penuh duka.

Bun Beng bangkit berdiri dan memandang orang-orang itu dengan hati penasaran. Dia masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat sikap orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa ini, hilang kesabaran-nya.

“Cu-wi sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut dikagumi, akan tetapi sekarang mengapa begini..... pengecut? Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan daripada nyawa! Lebih baik melawan penindas sampai mati daripada membiarkan diri dihina dan ditindas seperti yang dilakukan orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa lebih baik mati sebagai seekor harimau daripada hidup sebagai seekor babi?”

Delapan belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah muram, pemimpin baru mereka, yang tertua, berkata.

“Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk negara dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu kapan dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak berdaya, melawan berarti mati semua. Kalau kami menakluk, berarti hanya beberapa orang terancam bahaya mati, masih ada sisanya untuk menanti kesempatan melakukan perlawanan terhadap penjajah Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami hanya untuk urusan pribadi.”

Jawaban ini membuat Bun Beng tertegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-orang ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan karena mereka itu takut melawan bukan karena takut mati, melainkan takut kalau mereka mati dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah menjadi cita-cita hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia mengatur persiapan untuk menghadapi bocah penunggang rajawali dari Pulau Neraka yang dibencinya itu.

Diam-diam Bun Beng menyembunyikan sepasang pedangnya ke dalam sebuah guha kecil yang tidak dipakai, menutup guha dengan batu dan menanam rumput alang-alang di depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu dibakarnya. Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan delapan belas orang itu yang kini sibuk mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu penyetoran tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka.

Tiga bulan kemudian ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di tempat biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya burung-burung rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun Beng telah berada di dalam sebuah di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia telah memasuki keranjang yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena ia memaksa mereka untuk diperbolehkan membantu mereka ketika ia menyusul mereka ke hutan.






Bun Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan mengalami hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa.

Dia telah melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil, orang-orang Pulau Neraka ikut pula memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa di antara ayah-nya yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan Pulau Neraka tentu ada hubungannya, karena ibunya seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka.

Kini, mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu datang dari Pulau Neraka timbul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, di mana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan obat-obatan dengan memeras dan menekan bekas-bekas patriot atau pejuang itu!

Tentu saja Bun Beng tahu bahwa perbuatannya amat berbahaya bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak merasa takut. Kalau bocah sombong dan angkuh itu berani menunggang di punggung rajawali, mengapa dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di dalam keranjang akar obat?

Ketika menanti di dalam keranjang jantung Bun Beng berdebar keras, khawatir kalau-kalau ada di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang memeriksa keranjang. Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah keranjang bahwa ke delapan belas orang itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak memperhatikan sepuluh buah keranjang yang kini terisi penuh semua.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sayap di atas pohon-pohon. Burung-burung itu telah terbang datang! Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar tegang.

Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa terbang rendah di atas keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa isi keranjang dari tutup yang berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap terdengar makin keras, burung rajawali mulai menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang itu! Keranjang di mana Bun Beng bersembunyi mendapat giliran terakhir. Hatinya lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya terangkat dan terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membubung tinggi!

Agak pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan tetapi kalau teringat kepada anak yang menunggang rajawali terbang, ia menguatkan hatinya dan menggigit bibir.

Entah berapa lama dia diterbangkan dan kini dia tidak merasa pening atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu ia “terbang” sendiri di atas tebing, tidaklah begini mengerikan karena dia dapat melihat sekelilingnya, tidak seperti sekarang mendekam di dalam keranjang.

Tiba-tiba ia mendengar suara keras sekali dan baru ia tahu bahwa rajawali yang menggondol keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mendengar pula pekik rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki!

Bun Beng terheran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok? Saking herannya, ia membuka tutup keranjang dan betapa kagetnya ketika menyaksikan pemandangan yang amat hebat.

Di angkasa itu, anak laki-laki yang angkuh dari Pulau Neraka sedang bertanding melawan seorang anak perempuan sebaya yang menunggang seekor burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang dan bertanding mati-matian sambil saling memaki! Juga burung garuda itu membantu penunggang masing-masing, saling bertempur mempergunakan cakar dan paruh!

Tiba-tiba Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Siluman mencari muridnya? Murid perempuan? Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman!

Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman otomatis tertumpah kepada murid perempuan pendekar itu, apalagi lawan anak perempuan itu adalah anak laki-laki yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sampai lupa menutupkan kembali tutup keranjang, lupa bahwa keranjang yang didudukinya itu dicengkeram oleh kaki rajawali yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan pandai memaki!

“Iblis cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di tanganku!” Bentak anak perempuan itu.

“Ha-ha-ha, kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pedangku akan membuat kau terguling, dan tubuhmu akan hancur gepeng terbanting ke bawah!” Anak laki-laki itu balas memaki.

“Mampuslah!”

Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri mencengkeram bulu leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena tubuhnya condong ke depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan lawan.

“Tranggg!”

Anak laki-laki itu menangkis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang lawan dan langsung menikam dada!

“Celaka....!”

Anak laki-laki itu berteriak, lalu menggerakkan tubuhnya meloncat ke kanan. Dalam kegugupannya menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas punggung rajawalinya yang sedang terbang, maka ketika ia meloncat ke kanan, otomatis tubuhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!

Betapapun bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali, padahal tanah di bawah sedemikian jauhnya sampai hampir tidak tampak teraling awan!

Akan tetapi, anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga rajawali tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan berhasil memegang kaki rajawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak perempuan itu marah dan kembali mendoyongkan tubuh ke depan untuk menusukkan pedangnya. Sambil bergantungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-laki itu menangkis.

“Cringgg!” Sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api berpijar.

Melihat kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnya menghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak, akan tetapi paruh garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga banyak bulu burung rajawali membodol dan berhamburan melayang. Rajawali memekik dan terbang menjauh, dikejar oleh burung garuda.

Agaknya melihat kawannya bertempur, rajawali yang mencengkeram keranjang Bun Beng hendak membantu. Ketika garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam dari belakang, menggunakan kaki kiri dan paruhnya karena kaki kanannya mencengkeram keranjang terisi Bun Beng.

Garuda putih tak sempat menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu dia harus menghadapi serangan balasan lawannya yang marah. Melihat ini, anak perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung rajawali ini menggerakkan paruhnya menangkis.

“Trangg....! Aihhhh.... pedangku!”

Anak perempuan itu berteriak marah dan kaget karena pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan awan.

Kini burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi pengeroyokan dua ekor burung rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan tentu berhasil merontokkan beberapa helai bulu lawan.

Menyaksikan kegarangan garuda ini, kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengelilingi dan mengancam. Kini anak laki-laki itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan yang sudah tak bersenjata lagi.

“Ha-ha-ha-ha, kuntilanak kecil! Engkau telah terkurung sekarang. Mana kegaranganmu tadi? Hayo bersumbarlah sekarang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kau kira semua orang takut kepada penghuni Pulau Es? Ha, ha, mukamu sudah pucat! Betapapun juga, wajahmu manis sekali. Kalau kau menyerah dan ikut bersamaku ke tempatku, aku akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku minta upah dan balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali di depan kakiku, menyebut aku Koko yang baik kemudian membiarkan aku mencium kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan sahabatku dan.....”

“Tutup mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar aku mati, Suhu tentu akan mencarimu dan merobek mulutmu serta membunuhi semua nenek moyangmu, kalau engkau begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan tempatmu?”

Gadis cilik itu terpaksa harus miringkan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk menghindarkan diri dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu berhasil dia tangkis dengan tendangan mengarah pergelangan tangan, namun anak laki-laki itu sudah cepat menarik kembali tangannya sambil menyeringai.

“Ha-ha-ha! Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan engkau menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia Gurumu, bukan? Ha-ha-ha, tunggu saja. Kelak pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau Es, termasuk Pendekar Siluman.”

“Keparat sombong! Aku tahu sekarang! Engkau tentu seorang di antara anggauta Thian-liong-pang yang sombong!”

“Heh-heh-heh, boleh kau terka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!”

“Dia dari Pulau Neraka!” Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahannya lagi sehingga ia lµpa diri dan berteriak.

“Hahh....?”

Kini anak laki-iaki itu memandang dan baru tahu bahwa keranjang terakhir itu bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi seorang anak laki-laki!

“Kau.... siapa....?”

Sementara itu anak perempuan itu tersenyum mengejek,
“Aha, kiranya engkau keturunan orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!”

Bun Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah murid Pendekar Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor rajawali membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan menghantam ke arah perut rajawali yang membawa keranjangnya.

“Bukkk!”

Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia mempelajari Sam po-cin-keng. Tenaga sin-kangnya bertambah kuat sekali berkat bertelanjang selama setengah tahun dan mempelajari ilmu silat yang mujijat.

Begitu terkena hantaman ini, rajawali memekik dan otomatis cengkeramannya pada keranjang itu terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia sukar bernapas! Akan tetapi rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan Bun Beng, segera kabur terbang secepatnya.

Ditinggalkan kawannya, burung rajawali pertama menjadi jerih, juga anak laki-laki itu agaknya menjadi jerih setelah rahasianya terbuka, maka ia menyuruh burungnya terbang pergi meninggalkan garuda dan anak perempuan yang menungganginya.

Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha mengikuti keranjang terisi anak laki-laki yang jatuh dengan pandangan matanya. Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap ditelan awan, maka ia menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang pergi juga dengan cepat sekali.

“Bibi Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!”

Bisik anak perempuan itu kepada garudanya. Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, adalah Giam Kwi Hong, keponakan dan juga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es. Anak ini telah dibawa oleh Suma Han ke Pulau Es di mana dia digembleng oleh pendekar sakti itu sebagai muridnya.

Karena dia amat disayang oleh gurunya yang juga menjadi pamannya, dan karena semua penghuni Pu-lau Es juga sayang dan takut kepada-nya, maka Kwi Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani meninggalkan Pulau Es di luar tahu gurunya.

Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk meninggalkan pulau dan memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak besar akan berontak karena larangan itu justru menimbulkan daya tarik dan gairah untuk mengetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong menunggang garuda betina putih meninggalkan pulau untuk “melihat-lihat”.

Garuda itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa lelah setelah bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristirahat. Burung ini biarpun terlatih dan kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang bergerak menurutkan kebutuhan tubuhnya. Dia lelah dan harus beristirahat sebelum melanjutkan penerbangan ke Pulau Es yang jauh.

Karena lelah kedua-duanya, baik garuda itu maupun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari depan tampak dua titik hitam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong melompat turun dari punggung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di atas dan ternyata itu adalah dua ekor burung rajawali, ditunggangi oleh anak laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu meluncur turun dan tak lama kemudian hinggap tak jauh dari situ.

Melihat bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbelenggu kedua kaki dan paruhnya sehingga tidak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak dan tubuhnya meronta-ronta.

“Diam engkau!”

Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, sekali tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya lagi.

“Setan! Kau apakan burungku....?” Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.

“Inikah anak perempuan itu?” Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang cepat mengangguk.

“Dialah kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!”

Berkata demikian, anak laki-laki itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang cepat mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak laki-laki itu.

“Engkau setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar kau bawa semua penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!”

Kwi Hong balas memaki dan kini biarpun bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat. Setelah turun dari punggung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu lebih muda darinya, maka keberaniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap anak kecil?

Ilmu silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan paman atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia memiliki sin-kang yang jauh lebih kuat daripada lawannya, di samping gerakan gin-kangnya yang membuat tubuhnya ringan dan gesit bukan main.

Biarpun lawannya memegang pedang, namun setelah bertanding tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik penuh perhatian, kini dia mulai mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu sibuk memutar-mutar pedang-nya menjaga diri dari serangan yang datang bertubi-tubi dari segala pihak itu.

“Mundur kau!”

Tiba-tiba wanita cantik itu mendorongkan tangannya dan tubuh Kwi Hong terpental ke belakang. Dia marah sekali.

“Engkau siluman!”

Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur, juga tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak memungkinkan dia lari ke manapun juga!

“Bocah liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?” Wanita itu bertanya, suaranya dingin sekali.

Kwi Hong mengangkat muka memandang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali, dengan sepasang matanya yang lebar, bening dan bersinar tajam akan tetapi juga mengerikan.

Tubuhnya ramping dan padat, ditutup pakaian yang serba hitam sehingga wajahnya yang sudah putih menjadi makin jelas warna putihnya. Diam-diam Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih susu, bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putih-nya kapur!

“Benar, aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Sebaiknya engkau yang memiliki ilmu siluman jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal.”

“Heh-heh, kuntilanak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?” Anak laki-laki itu mengejek.

“Keng In! Diam engkau!” Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.

“Ah, jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau Neraka?”

Wanita cantik bermuka putih itu mengangguk.
“Tidak salah, akulah Majikan Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersamaku ke Pulau Neraka”

“Aku tidak sudi!” Kwi Hong melotot dengan berani.

Wanita itu tersenyum dan makin heranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya yang putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh wajahnya. Cantik dan manis bukan main!

“Mau tidak mau harus ikut.”

“Ahh, tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai memaksa seorang anak kecil? Kalau engkau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kau lawan Guruku, tentu dalam sepuluh jurus engkau mati!”

“Anak, engkau menarik! Engkau penuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih belum dapat mengatasi kegalakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tidak pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?”

“Aku Giam Kwi Hong!”

Wanita itu mengerutkan kening.
“Engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Gurumu?”

Kwi Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga.
“Benar! Nah, engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku tentu akan marah kepadamu.”

Kembali wanita itu tersenyum.
“Memang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Siluman berani datang ke Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!”

Kwi Hong hendak meronta dan menolak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan disambut lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah dibawa mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali hitam dari sutera yang mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan totokannya pun bebas pula.

“Pulanglah engkau lapor majikanmu!”

Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang agaknya maklum akan kelihaian wanita itu karena dia memekik kesakitan lalu terbang ke arah timur. Wanita itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak laki-laki bernama Keng In yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya.

Dari atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah pulau di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menjadi lawan Pulau Es yang kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya.

Setelah burung itu berada di atas pulau hitam, tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwarna hijau gelap mendekati biru sehingga dari atas tampak hitam, apalagi karena di atas pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar