FB

FB


Ads

Sabtu, 03 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 015

“Selamat tinggal, kawan-kawanku yang baik!”

Ia melambai ke atas dan melihat betapa kera-kera baboon itu makin lama makin kecil sedangkan tubuhnya terus meluncur perlahan ke bawah. Tiba-tiba “sayapnya” terguncang oleh angin. Celaka, pikirnya. Mudah-mudahan tidak ada angin kencang yang akan menghancurkan “sayapnya” dan menghempaskan ke batu karang yang menjadi dinding tebing curam itu.

Untung baginya, angin tidak kencang dan tak lama kemudian ia sudah dapat melihat orang-orang yang berada di bawah. Dan dugaannya ketika berada di atas tebing tadi ternyata tidak meleset. Dia melihat orang-orang sedang bertempur di bawah itu. Dari atas ia melihat belasan orang laki-laki yang tampan dan gagah, semua berpedang sedang sibuk menahan amukan tiga orang yang rambutnya riap-riapan dan bersenjata kebutan.

Ilmu silat tiga orang ini hebat bukan main sehingga biarpun orang-orang gagah berpedang itu lebih besar jumlahnya, namun mereka terdesak hebat, bahkan banyak yang sudah terluka. Namun, dengan semangat gagah mereka itu terus mempertahankan diri. Seorang di antara belasan orang gagah itu yang bertubuh tinggi, dan yang tampaknya paling lihai memutar pedang menahan amukan seorang di antara tiga lawan bersenjata kebutan yang lihai itu.

Kebutan di tangan Si Brewok yang rambutnya panjang itu kecil saja, namun kakek yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini menggerakkan kebutan secara istimewa sehingga senjata kecil ini berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung yang mengancam tubuh orang gagah itu dari delapan penjuru!

Tiba-tiba orang tinggi itu berseru kaget ketika pedang-nya kena digulung kebutan dan terampas. Pedang terlepas dari tangannya dan agaknya dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dari cengkeraman maut melalui kebutan. Pada saat itu, dia melihat tubuh Bun Beng yang melayang-layang turun, maka terdengarlah seruannya dengan wajah girang.

“Thai-song.... tolonglah kami....!”

Seruan ini disusul oleh pekik-pekik kegirangan dari orang-orang gagah yang sedang terdesak dan Bun Beng mendengar teriakan-teriakan mereka.

“Cee-thian Thai-seng datang menolong kita....!”

“Dewa kita Kauw Cee Thian datang!”

“Benar! Dia tentu penjelmaan Sun Go Kong....!”

Bun Beng terbelalak keheranan. Benarkah mereka itu menganggap dia Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong, juga disebut Cee-thian Thai-seng tokoh dongeng raja kera yang maha sakti dalam dongeng See-yu-ki? Hampir ia tertawa bergelak, akan tetapi melihat wajah mereka yang berseri penuh harapan dan melihat mereka dalam keadaan terancam itu tidak mungkin main-main, timbul kenakalannya.

Bun Beng yang mengerti bahwa tentu dia disangka seorang “manusia bersayap” lalu mengeluarkan pekik melengking yang agaknya terdengar amat nyaring oleh orang-orang di bawah itu. Tiga orang berambut panjang yang riap-riapan itu memandang dan wajah mereka berubah pucat.

“Ihhh....! Siluman di siang hari....!”

Mereka berseru kemudian mereka berkelebat pergi melarikan diri terbirit-birit karena ngeri dan takut melihat siluman terbang itu!

Setelah melihat tiga orang itu melarikan diri, baru sekarang Bun Beng melihat dengan hati penuh kengerian betapa tubuhnya meluncur turun dan tanah di bawah seolah-olah mulut raksasa besar yang akan mencaploknya. Saking ngerinya, dia meneruskan jeritannya melengking, akan tetapi sekali ini bukan jerit pura-pura untuk menakuti orang, melainkan jerit sungguh-sungguh.

Untung ia masih ingat untuk mengembangkan tangannya yang memegang tali sehingga “sayap” itu terbuka lebih lebar, menampung hawa menahan peluncuran tubuh-nya. Biarpun demikian, masih saja dia terbanting dan tentu dia akan terluka kalau saja dia tldak cepat menggulingkan tubuhnya sampai terguling-guling dan baru dapat meloncat berdiri dengan kepala pening dan mata berkunang.

Akan tetapi, ia tertegun menyaksikan belasan orang gagah itu telah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepadanya, tidak berani mengangkat muka memandang! Bun Beng mengerutkan alisnya. Gilakah orang-orang ini? Ataukah dia yang sudah gila?

“Hamba sekalian menghaturkan banyak terima kasih, bukan saja karena pertolongan Thai-seng, terutama sekali karena Paduka sudah sudi memperlihatkan diri kepada hamba sekalian.”

Hampir saja Bun Beng tertawa kalau tidak melihat sikap mereka yang penuh kesungguhan. Ia sukar untuk mempercaya apa yang dilihatnya dan didengarnya. Mereka berjumlah sembilan belas orang, tua muda, laki-laki semua dan rata-rata bersikap gagah. Mengapa orang-orang gagah ini bersikap begini aneh dan menganggap dia sebagai penjelmaan Sun Go Kong Si Raja Kera dalam dongeng See-yu?

“Cuwi sekalian telah salah sangka. Aku sungguh mati bukan Sun Go Kong, melainkan seorang anak biasa she Gak bernama Bun Beng. Harap Cu-wi suka berdiri dan jangan berlutut membuat aku merasa canggung dan malu saja.”

Orang bertubuh tinggi yang bicara tadi, yang ternyata adalah pemimpin rombongan orang itu, mengangkat muka, demikian pula kawan-kawannya, memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh keraguan dan agaknya tidak percaya akan kata-kata Bun Beng sehingga mereka masih tetap berlutut.

Bun Beng menunduk dan memandang tubuhnya sendiri, lalu tertawa. Memang pakaiannya amat aneh, dari kain kuning yang tidak berlengan, berkaki, hanya membungkus dari leher ke paha, apalagi dia bersayap”! Sambil tertawa ia menanggalkan sayap tiruan itu dan berkata,

“Lihatlah baik-baik, Cu-wi. Aku adalah seorang anak biasa yang meloncat dari atas sana menggunakan sayap tiruan dari kulit harimau. Aku bernama Gak Bun Beng dan siapakah Cu-wi? Berdirilah agar kita dapat bicara dengan enak.”

Kini sembilan belas orang itu bangkit berdiri dan memandang Bun Beng dengan penuh keheranan, kekaguman dan tidak percaya. Bagaimana mungkin mereka dapat percaya bahwa anak itu adalah seorang anak biasa saja padahal mereka tadi menyaksikan sendiri betapa anak itu muncul seperti seorang dewa dan telah berhasil membuat tiga orang lawan mereka lari tunggang langgang tanpa melakukan gerakan apa-apa?






Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka mau juga percaya akan keterangan Bun Beng dan mereka kini memandang kagum sekali. Biarpun bukan Sun Go Kong, anak ini adalah seorang anak luar biasa dan telah “menyelamatkan” nyawa mereka yang tadi terancam maut. Orang tinggi besar itu menjura dan berkata,

“Harap Siauw-enghiong (Pendekar Ci-lik) suka memaafkan kami yang salah menduga. Betapapun juga karena engkau datang dari atas sana, kami yakin bahwa engkau tentu bukanlah seorang anak sembarangan, apalagi engkau telah menyelamatkan kami sembilan belas orang saudara. Terimalah rasa syukur dan terima kasih kami. Gak-enghiong, dan mudah-mudahan kami akan berkesempatan membalasnya.”

Bun Beng menjadi malu melihat sikap orang-orang itu yang amat sopan dan sungkan. Ia balas menjura dan berkata,

“Harap Cu-wi jangan bersikap sungkan. Aku sama sekali tidak merasa telah menolong kalian. Menghadapi tiga orang liar yang lihai itu, aku seorang bocah bisa berbuat apakah? Hanya kebetulan saja kehadiranku mengejutkan dan menakutkan mereka. Siapakah mereka itu dan mengapa menyerang Cu-wi? Siapa pula Cu-wi yang tinggal di tempat sunyi ini?”

“Panjang ceritanya, Gak-inkong (Tuan Penolong Gak). Karena engkau adalah seorarng penolong, bagimu tidak ada yang dirahasiakan lagi. Akan tetapi marilah kita bersama kami ke tempat tinggal kami agar kita dapat bicara dengan leluasa.”

Bun Beng lalu neengikuti mereka menuju ke tempat tinggal mereka yang ternyata terdiri dari guha-guha besar yang banyak terdapat di kaki gunung itu. Guha-guha itu mereka jadikan tempat tinggal, juga sekaligus merupakan tempat perlindungan yang kuat karena jalan masuk gua itu tertutup oleh pintu besi yang kokoh kuat.

Bun Beng mendapat penghormatan yang sungguh-sungguh dari sembilan belas orang itu agaknya menganggap hutang budi sebagai hal yang amat penting. Anak ini sampai merasa canggung dan tidak enak hati, akan tetapi dia terpaksa menerima keramahan mereka, menerima dan memakai pakaian yang mereka beri kemudian bersama mereka makan minum sambil mendengarkan penuturan Si Jangkung yang bernama Ciu Toan dan menjadi pemimpin mereka itu.

Ciu Toan yang menganggap Bun Beng sebagai tuan penolong dan penyelamat nyawa mereka, menceritakan semua keadaan mereka, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik akan tetapi juga terheran-heran karena di dalam penuturan Ciu Toan banyak terdapat hal yang aneh-aneh.

Sembilan belas orang gagah itu, bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan orang-orang yang pernah menggemparkan dalam perang terakhir melawan pemerintah Ceng yang dikuasai oleh bangsa Mancu. Nama mereka amat terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gigih dan gagah perkasa, dan pada waktu itu, mereka masih bergabung dalam sebuah pasukan kecil yang terkenal dengan nama Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang.

Mereka dahulu berjumlah tiga puluh orang yang di antaranya adalah saudara-saudara kandung, saudara-saudara misan yang semua mengangkat saudara dan bersumpah untuk bersama-sama sekuat tenaga menentang penjajah Mancu.

Akan tetapi, ketika pertahanan terakhir terhadap bala tentara Mancu di Se-cuan hancur dan daerah ini jatuh pula ke tangan Pemerintah Ceng, pasukan kecil yang terkenal gagah perkasa ini pun mengalami kehancuran.

Dari jumlah tiga puluh orang hanya tinggal sembilan belas orang saja. Karena tak dapat bertahan lagi menghadapi bala tentara Mancu yang amat besar dan kuat, mereka terpaksa melarikan diri. Sepak terjang mereka selama perlawanan menghadapi bala tentara Ceng sedemikian hebat dan terkenalnya sehingga setelah daerah itu ditundukkan, Pemerintah Ceng lalu mencari sisa-sisa Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang ini.

Tentu saja untuk menangkap dan menghukum mereka yang telah mendatangkan kerugian banyak terhadap pasukan-pasukan Mancu. Sembilan belas orang ini menjadi orang-orang buruan yang terpaksa menyembunyikan diri. Karena pengejaran dan pencaharian dilakukan oleh orang-orang pandai yang diutus oleh Kerajaan Mancu, maka sembilan belas orang yang dipimpin Ciu Toan itu akhirnya bersembunyi di kaki gunung itu dan sudah hampir dua tahun mereka tinggal di tempat itu.

“Cu-wi adalah orang-orang gagah perkasa, mengapa tadi bersikap begitu aneh dan menganggap aku sebagai Sun Go Kong?”

Tanya Bun Beng yang merasa kagum sekali terhadap orang-orang itu yang biarpun kalah perang tetap tidak mau tunduk kepada pemerintah penjajah.

Ciu Toan menjadi merah mukanya, akan tetapi ia menjawab juga,
“Kami.... kami menjadi pemuja-pemuja Dewa Sun Go Kong setelah berada di sini, dan.... tadinya kami mengira bahwa kembali beliaulah yang telah menyelamatkan kami seperti yang terjadi dua tahun yang lalu.”

Bun Beng membelalakkan matanya.
“Apa? Benarkah Cu-wi pernah diselamatkan oleh.... oleh.... Raja Kera Sun Go Kong?”

Dengan alis berkerut dan wajah sungguh-sungguh Ciu Toan berkata,
“Memang sukar dipercaya bagi yang tidak mengalaminya sendiri. Dewa Sun Go Kong dianggap sebagai tokoh dongeng, akan tetapi kami percaya bahwa beliau memang ada dan di puncak tebing penuh rahasia itulah tempat pertapaannya. Kami sudah mengalaminya sendiri,”

Kemudian Ciu Toan menceritakan pengalaman mereka dua tahun yang lalu, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik sekali.

Ketika sembilan belas orang buruan itu baru beberapa hari tinggal di situ dan sedang sibuk membuat tempat tinggal di guha-guha, pada suatu pagi mereka diserbu dan dikepung oleh segerombolan perampok yang memang sebelum mereka datang menguasai daerah kaki pegunungan itu. Jumlah para perampok ada lima puluh orang lebih dan terjadilah pertempuran hebat yang mengancam keselamatan sembilan belas orang ini.

Mereka melakukan perlawanan gigih, karena keahlian mereka adalah berperang, sedangkan dalam pertandingan perorangan ilmu kepandaian mereka tidak terlalu luar biasa, maka mereka terdesak hebat oleh para perampok yang bertekad membunuh semua orang yang mereka anggap hendak merebut wilayah kekuasaan para perampok itu.

Dalam keadaan terdesak dan banyak di antara mereka telah terluka, tiba-tiba dari atas tebing menyambar batu-batu kecil yang merobohkan para perampok itu. Anehnya, batu-batu kecil ini tidak mengenai para bekas pejuang, dan yang mengenai tubuh para perampok tidak sampai membunuh mereka, hanya tepat mengenai jalan darah yang membuat para perampok terguling dan lumpuh untuk sementara.

Para perampok menjadi panik karena mereka diserang secara aneh oleh lawan yang tidak dapat mereka lihat. Apalagi kalau mereka ingat bahwa dari tempat setinggi itu sampai penyerangnya tidak tampak, orang dapat merobohkan mereka yang sedang bergerak dan bertempur dengan kerikil-kerikil kecil yang mengenai jalan darah, dapat dibayangkan betapa saktinya si penyambit batu-batu kecil! Karena jerih, para perampok melarikan diri dan semenjak itu tidak berani lagi datang mengganggu para bekas pejuang.

Ciu Toan dan teman-temannya mengobati luka yang mereka derita dan mereka pun merasa heran sekali. Mereka mencoba untuk mendaki tebing karena merasa yakin bahwa di puncak tebing tentu tinggal seorang sakti yang telah menolong mereka.

Akan tetapi terpaksa mereka mengurungkan niat ini karena tebing itu tidak mungkin didaki, terlalu terjal, tinggi dan licin sekali. Mereka hanya berhasil mendaki sampai seperempat saja dan terpaksa menghentikan usaha mereka. Akan tetapi, selagi mereka beristirahat dengan peluh bercucuran, mereka melihat bayangan seperti bayangan manusia berloncatan mendaki tebing itu dengan kecepatan luar biasa sekali.

“In-kong (Tuan Penolong).... harap sudi menemui kami....!”

Mereka berteriak-teriak, namun bayangan itu sebentar saja lenyap di puncak tebing. Kemudian terdengar suara dari atas, lirih saja namun amat jelas terdengar oleh mereka.

“Turunlah kalian, tidak boleh naik ke sini!”

Karena memang mereka merasa tidak mungkin dapat mendaki tebing tanpa dilarang sekalipun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena terheran-heran menyaksikan bayangan tadi. Seorang manusia, betapa pun pandainya, mana mungkin mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang saja? Dan suara dari atas itu, seolah-olah orangnya berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa penjaga gunung yang telah menolong mereka.

Dan selagi mereka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni lereng tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru kaget sambil menuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang dan melihat seekor kera besar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir puncak tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua tangan seolah-olah menyuruh mereka cepat turun!

Ciu Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mereka tidak meragukan lagi bahwa kera besar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau bukan Sun Go Kong yang memiliki kesaktian sehebat itu? Di dunia ini mana ada kera yang berpakaian pendeta yang sakti luar biasa dan yang dapat mengeluarkan kata-kata seperti manusia? Kecuali Sun Go Kong!

Demikianlah, sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing tinggi itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyerbu, mereka semua itu lari ketakutan karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu kecil dan bahkan pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang melumpuhkan mereka!

Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Il-mu Silat Kera Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi andalan mereka untuk menjaga diri!

“Demikianlah Gak-inkong, maka ketika engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong kami. Sungguhpun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap percaya bahwa Sun Go Kong berada di puncak tebing itu.” Ciu Toan mengakhiri ceritanya yang amat luar biasa itu.

“Bolehkah aku melihat kitab kecil itu?” Bun Beng bertanya.

“Tentu saja.” jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu.

Bun Beng hanya melihat tulisan pada halaman pertama yang berbunyi “Sin-kauw-kun-hoat” dan kini dia merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab “Sam-po-cin-keng” yang dimilikinya.

Dia sekarang mengerti bahwa yang menolong para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang tinggal di sumber air panas, dan agaknya yang tampak oleh mereka adalah kera tua yang berpakaian pendeta dan yang sekarang entah mengapa mungkin karena tuanya, telah lumpuh! Akan tetapi, melihat kesungguhan mereka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau membuka rahasia itu dan diam saja.

“Dan tiga orang berambut riap-riapan yang menyerang kalian itu siapakah?”

“Kami sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami,” jawab Ciu Toan. “Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi.”

“Thian-liong-pang?”

Bun Beng terkejut dan teringat akan pengalamannya di muara Huang-ho. Dia pun tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang.

“Mengapa mereka datang menyerbu? Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?”

Ciu Toan menggeleng kepala.
“Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apapun juga. Mereka datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, yaitu hendak menarik secara paksa agar kami suka masuk menjadi anggauta Thian-liong-pang.”

“Aneh sekali!” Bun Beng berkata.

“Memang Thian-liong-pang kini terkenal sebagai perkumpulan yang kuat, memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa orang-orang kang-ouw menjadi anggauta mereka, bahkan kadang-kadang menculik ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!”

“Sungguh luar biasa!”

Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita cantik tokoh Thian-liong-pang yang dijumpainya di muara Huang-ho itu.

“Betapapun aneh dan luar biasa, namun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang anak kecil bersikap seperti engkau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing! Engkau.... engkau tentu.... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?”

Bun Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa saja, hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu cerita ini akan merupakan cemoohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa karena orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun Go Kong? Berterus terang tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana?

“Cu-wi-enghiong dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu yang merantau tanpa tujuan dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing. Karena aku tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhirnya aku mendapatkan akal, meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang ke bawah sini.”

Orang-orang itu memandangnya tak percaya.
“Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan dari kulit harimau!”

Bun Beng tersenyum dan menjawab,
“Aku mempunyai sedikit kepandaian untuk merobohkan dan membunuh beberapa ekor harimau.”

“Hebat...., hebat....! Inkong tentu murid seorang sakti!” Mereka memandang kagum.

“Memang guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia.”

Bun Beng menarik napas panjang, hatinya memang berduka kalau mengingat akan gurunya, juga merasa sakit hati atas kematian suhunya yang amat mengerikan.

“Bolehkah kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?”

“Mendiang Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai.”

“Ajhhh....! Kiranya Inkong murid kakek yang sakti itu?”

Orang-orang itu menjadi makin kagum dan gembira sekali dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat.

“Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya Inkong di sini kami merasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang.....” Tiba-tiba Ciu Toan berhenti bicara dan mukanya berubah.

“Dua puluh lima orang?” Bun Beng mencela. “Kulihat hanya ada sembilan belas orang. Mana yang enam orang lagi?”

Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja.
“Kami.... kami tadinya.... bersisa dua puluh lima orang, akan tetapi sayang.... enam orang telah meninggal dunia di sini....”

Ia pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram. Biarpun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kematian enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka ceritakan kepada orang lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.

Bun Beng yang tidak tahu harus pergi ke mana, menerima penawaran mereka dan dia tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini daripada tinggal di atas dan menjadi “seekor” di antara sekumpulan kera itu, pikirnya.

Dia mendapatkan sebuah kamar di guha dan di situ dia menyimpan sepasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sawah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki gunung.

Akan tetapi beberaga hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepada Bun Beng untuk mencari “akar obat-obatan”. Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka menolak.

“Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak boleh kami minta bantuan siapapun juga.” kata Ciu Toan.

“Mengapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang kalian cari?”

Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mereka muram dan seperti orang ketakutan.

“Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang ini. Harap suka menunggu di sini, kami hanya akan pergi selama tiga hari.”

Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergilah kesembilan belas orang itu, membawa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti.

Setelah pada hari ke tiga dia tidak melihat mereka kembali, Bun Beng kehabisan kesabarannya dan dia pun meninggalkan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang lalu.

Hari masih pagi ketika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Siluman.

Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pendekar Siluman merupakan idam-idaman hatinya. Ia kagum dan tertarik sekali kepada pendekar kaki buntung itu. Jantung-nya makin berdebar keras ketika ia melihat burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena jaraknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang memiliki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar Siluman?

Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sembilan belas orang bekas pejuang dan kini ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana burung itu beterbangan di atas-nya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi.

Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan merasa heran sekali. Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan di depan mereka berjajar sepuluh buah keranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka lakukan itu? Ciu Toan berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan.

Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung itu bukanlah garuda putih tunggangan Pendekar Siluman, bahkan tampak pula olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung besar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan angkuh.

Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah memberi kesempatan kepada penunggangnya untuk menjenguk ke bawah karena ia terbang miring, kemudian membubung lagi sambil menyambar dua buah keranjang dengan kedua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih tetap berlutut dan Bun Beng masih bersembunyi memandang dengan jantung berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?

Tak lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang di atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain. Empat ekor burung itu menukik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi akar dan daun-daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keranjang yang diterbangkan sedangkan sebuah keranjang lagi yang isinya hanya sedikit, hampir kosong, tidak diangkat pergi.

“Kenapa hanya sembilan keranjang yang sebuah kosong?”

Tiba-tiba terdengar bentakan dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang duduk di atas punggung rajawali.

Sembilan belas orang itu menjadi pucat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.

“Maaf.... kami.... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan tetapi karena setiap tiga bulan diambil terus, hasilnya makin kurang dan hanya mendapatkan sembilan keranjang....”

“Bohong! Malas!”

Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga Bun Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah.

“Kalian berani menentang dan membantah perintah kami? Tidak cukup murahkah nyawa kalian semua ditebus dengan akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali? Siapa yang bertanggung jawab akan kekurangan ini?”

Sembilan belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat menjawab hanya menggumamkan kata-kata mohon maaf.

“Diam semua!”

Anak itu membentak dan mereka semua terdiam.
“Siapa yang bertanggung jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman dari kami?”

Tiba-tiba Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia menengadah memandang anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berkata nyaring,

“Aku, Ciu Toan, yang bertanggung jawab atas kekurangan ini, saudara-saudaraku tidak ada yang bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar