FB

FB


Ads

Rabu, 31 Desember 2014

Sepasang Pedang Iblis Jilid 010

Wanita cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan.
“Aku adalah pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggung jawab dan biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seorang jago saja, yaitu aku sendiri.”

“Ahh, mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua orang lawan sekaligus!” Si Muka Hijau mencela.

Wanita itu tersenyum mengejek.
“Melihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah memiliki kedudukan di Pulau Neraka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak keberatan untuk melawan kalian berdua sekaligus!”

Dua orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata melotot karena ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali, akan tetapi sebagai orang-orang berkepandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu amat lihai, kalau tidak demikian, tentu tidak akan berani bersikap sesombong itu.

“Ha-ha-ha-ha, benar-benar Cu-wi para wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat gagah dan mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama melayani dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu melawan wanita gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar sebagai pemenang, boleh membawa pergi dan memiliki bocah itu.”

Ucapan ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok Lama yang gendut sudah menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh kurus dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang.

Sementara itu Bun Beng yang dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempedulikan karena semua orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pulau itu.

Bun Beng mendekati tebing dan memandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeliling pulau kecil itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga kemanapun ia pergi, ia akan berhadapan dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga perahu hanyalah bagian di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk pusaran air yang amat mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang anggauta Pulau Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka pucat dan membalikkan tubuh menonton pertempuran yang telah dimulai.

Pertempuran yang amat dahsyat. Semua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan menonton dengan hati tegang jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun dari pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh sakti yang memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali.

Dua orang tokoh Pulau Neraka bermuka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan mereka aneh sekali dan kedua orang itu agaknya bersilat dengan membentuk tin (ba-risan) karena gerakan mereka teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau pimpinan rombongan Pulau Neraka menyerang dari atas, sutenya yang tinggi besar itu menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok Lama menyerang yang satu, yang lain tentu cepat membantu kawan.

Biarpun maklum bahwa pendeta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai jago-jago kelas tinggi. Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama maju tanpa senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan tangan kosong.

Namun, bukan tangan sembarangan, karena kini tangan mereka telah berubah menjadi senjata yang amat ampuh, mengandung hawa beracun dan mengeluarkan uap kehijauan! Dengan dua pasang tangan beracun yang aneh itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan serangan-serangan dahsyat dari kanan kiri secara bertubi-tubi dan bergantian.

Thian Tok Lama bukanlah seorang tokoh biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang tokoh besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama Thai Li Lama yang menjadi sutenya, dia telah menjagoi selama puluhan tahun di dunia barat dan telah mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh.

Maka begitu melihat gerakan kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka itu mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan yang ia duga hanya terdapat di Pulau Neraka, maka tidak boleh dipandang ringan karena kalau tidak mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh tangan itu dapat mendatangkan maut.

Maka hwe-sio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak mau mengadu tangan dengan kedua orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka dengan elakan-elakan atau dengan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin kuat sekali menolak setiap serangan lawan. Betapapun juga, karena terlalu hati-hati, tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak, lebih banyak bertahan daripada menyerang.

Setelah bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa dalam ilmu silat maupun tenaga sin-kang, dia tidak perlu khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi, akan tetapi karena dia jerih terhadap racun di tangan kedua lawannya, maka kelebihannya tertutup dan dia terdesak.

Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan suara gerengan yang keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya dengan keras sekali sambil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan bajunya menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah mundur karena biarpun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai batu karang pun dapat hancur!

Begitu kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya, menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi seperti kokok ayam bertelur.

“Kok-kok-kok-kok!”

Dan tangan kanannya kini berubah menjadi biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat menyambar disertai hawa panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.

“Aihhh!”

Dua orang tokoh Pulau Neraka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas untuk menghindarkan pukulan dahsyat itu sambil balas memukul. Kini Thian Tok Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin hebat dan kesudahannya ternyata membuat keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang Pulau Neraka itulah yanng terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dahsyat Thian Tok Lama.






Pendeta Lama yang gendut ini telah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu hitam sehingga pukulan itu mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.

Adapun pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita Thian-liong-pang merupakan pertandingan yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan seorang sembarangan dalam Thian-liong-pang. Memang benar bahwa dia kini menjadi kepala pelayan pribadi Pangcu yang mukanya berkerudung. Akan tetapi dahulunya dia adalah seorang tokoh yang penting dari Thian-liong-pang.

Wanita ini masih merupakan keturunan pendiri Thian-liong-pang, biarpun hanya merupakan cucu buyut luar. Dia bernama Tang Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang.

Sebagai bekas isteri dari seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang, apalagi dia sendiri pun keturunan nenek moyang Thian¬liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat kedudukan penting di dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang.

Ketika pada suatu hari muncul Si Wanita berkerudung, wanita berkedok yang tak dikenal oleh siapapun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi pangcu, Wi Siang terpilih menjadi kepala pelayan pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu Wi Siang digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepandaiannya meningkat tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan!

Akan tetapi, sekarang keadaannya menjadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para pengurus Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.

Pangcu baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya disesuaikan dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang mempunyai bakat yang baik sekali dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu dia diberi ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua baru itu memang mengenal segala macam ilmu silat sehingga kadang-kadang membingungkan dan mengherankan hati para pembantunya. Bahkan ilmu silat keturunan Thian-liong-pang pun dikenalnya baik!

Kini, menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh. Thai Li Lama di samping suhengnya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian Tok Lama.

Di samping ilmu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang kuat sekali. Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu merampas semangat orang atau menundukkan kemauan orang dengan kekuatan gaib. Tentu saja amat jarang ia mempergunakan ilmu hitamnya ini karena dengan ilmu silatnya saja, jarang ada lawan mampu menandinginya.

Tadinya Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biarpun mengaku sebagai tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling banyak tiga puluh tahun lebih! Dan pula seorang wanita, sampai di mana kehebatannya? Karena memandang rendah dalam gebrakan-gebrakan pertama, Thai Li Lama hanya menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang untuk menyerang dan menangkis.

Akan tetapi, betapa kaget hati pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah memukul dari atas belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.

“Omitohud....!”

Ia berseru dan cepat ia memutar kedua tangan melindungi kepala dan pundak. Namun wanita itu sudah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya.

Sambil meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah sembarang orang yang dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki gin-kang yang amat mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia masih kalah jauh!

Maka dia lalu mendengus pendek dan mulailah ia memasang kuda-kuda, dan mengerahkan sin-kang sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar, angin dahsyat bertiup mendahului tangannya menyambar ke arah lawan. Kakek ini yang maklum akan kelihaian lawan, tidak segan-segan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang kuat sekali, juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran aneh mempengaruhi lawan.

“Tas!”

Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindarkan oleh Wi Siang yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut dipukulkan

.“Tass! Tass!”

Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi mengenai tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan kiri dan tiba-tiba wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan kiri menusuk ke arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram ke lambung.

Sebuah serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali datangnya sehingga Thai Li Lama terkejut bukan main. Untuk menghadapi serangan maut yang amat cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi, maka hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke belakang dan terus bergulingan!

Bagaikan seekor burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan serangan dari atas ke arah tubuh yang bergulingan. Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat, yang khusus diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan gin-kang yang amat cepat sehingga membingungkan lawan.

Repot sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia terus diserang dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergulingan, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus terus bergulingan sambil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya.

Keadaan sungguh berbahaya dan biarpun tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari pada lawan, namun karena posisinya sudah rusak seperti itu, dengan bergulingan terus mana mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus? Gerakan Wi Siang amat cepatnya, kemana pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan mengirim serangan maut.

Tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul bentakan keras.

“Mun-durrrr....!”

Hebat bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang yang menonton, bahkan banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepadanya dan ada tenaga rahasia yang mendorong mereka mundur.

Apalagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang yang langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu. Wanita ini memekik aneh dan tubuhnya mencelat mundur seolah-olah ia kaget menghadapi semburan seekor ular berbisa. Saat itu dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan setelah meloncat bangun, baru Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju lagi sambil membentak.

“Pendeta siluman!”

Akan tetapi Thai Li Lama juga marah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia harus bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya bergantian dengan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang.

Wanita ini mengenal bahaya maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap mengirim serangan susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara aneh dan amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.

“Engkau sudah lelah sekali....! Kedua kakimu sukar digerakkan....!”

Aneh! Tiba-tiba Wi Siang berdiri terbelalak, tak mampu menggerakkan kedua kakinya dan tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking lelahnya.

“Pendeta curang.... kau menggunakan ilmu siluman....!”

Yang berteriak ini adalah Bun Beng. Anak ini sejak tadi menonton pertandingan dengan hati tertarik dan ia amat kagum menyaksikan sepak terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak “mundur” dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini maklum bahwa pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka ia menjadi penasaran dan mendekati pertempuran. Kini, melihat betapa wanita yang dikaguminya itu terpengaruh oleh suara Thai Li Lama, ia memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama!

Gerakannya ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah. Pendeta ini menggerakkan tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara langsung disambar angin pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan.... melayang melalui tebing menuju ke air pusaran maut!

Semua orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan memandang ke arah tubuh Bun Beng yang melayang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang sepandai koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng.

Semua mata terbelalak ngeri ketika melihat betapa tubuh anak itu terjun ke bawah dan terlempar tepat ke arah tengah-tengah air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih dulu! Mereka menahan napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut yang tak mungkin dapat dielakkan lagi.

Bun Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut terbuka lebar dan ia tahu bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya? Dia diperebutkan oleh tiga kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada kekuasaan yang paling besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya. Maka tanpa menjerit sedikit pun ia membiarkan tubuhnya terbanting di tengah-tengah pusaran air.

“Byurrr!”

Sebelum tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya. Begitu tubuhnya menyentuh air, terus saja tubuhnya ditarik ke bawah oleh pusat air yang berpusing itu. Bun Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melakukan perlawanan, bahkan menyerahkan dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air, menahan napasnya.

Semua orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak yang terjatuh tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap dan ditarik ke dalam, lenyap seketika!

Mereka masih memandang tanpa berkedip, menanti dengan dugaan bahwa tubuh anak itu tentu akan timbul kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi, ditunggu sampai lama, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali, seolah-olah lenyap dan habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.

“Celaka.... celaka....!”

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting kakinya dengan muka merah saking marahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada di pulau dengan pandang matanya.

“Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu aku! Kalian ini orang-orang kang-ouw suka mencari ribut yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!”

Semua orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu. Alangkah bedanya sikap kakek botak itu dengan tadi sebelum Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi sekarang, mendadak saja marah-marah.

“Teruskan pibu! Aku masih belum kalah!” Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata dengan suara dingin.

“Kami pun belum kalah! Yang menang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus pergi!”

Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi kok-su menggoyangkan tangan dengan sikap tidak sabar sambil berkata.

“Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan? Anak itu telah mampus ditelan pusaran air, dan pulau ini.... dibutuhkan kerajaan. Harap semua pergi dari sini sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan kubasmi semua!”

Semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang macam apa! Keadaan menjadi sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa memecahkan kesunyian, disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu :

“Aku....! Aku....! Aku....!
Pujaanku! Milikku! Hakku!
Keluargaku, sahabatku, hartaku, namaku!
Kurangkul dia yang menguntungkan aku
Kupukul dia yang merugikan aku
Yang terpenting di dunia dan akhirat adalah
Aku....! Aku....! Aku....!”

Semua orang terkejut dan menengok, memandang kearah orang yang menyanyikan kata-kata aneh itu. Yang bernyanyi ini agaknya belum lama datang, dan tak seorang pun melihat kedatangannya, karena tadi mereka semua sedang tertarik menonton pertandingan yang seru disusul kejadian mengerikan yang menimpa diri Bun Beng.

Orang itu adalah seorang kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana namun kedua kakinya telanjang tak bersepatu. Wajahnya berseri pandang matanya tajam penuh kejujuran dan tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga.

“Im-yang Seng-cu....!”

Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik ketika mengenal kakek itu. Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh yang tadinya merupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pimpinan Hoa-san-pai sendiri sehingga Im-yang Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan merantau mengelilingi dunia sehingga ilmu kepandaiannya makin meningkat hebat.

Karena kesukaannya mempelajari ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai yang murtad, sungguhpun para pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membuat ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada Ketua Hoa-san-pai sendiri!

“Ha-ha-ha-ha! Dunia ini menjadi ramai, manuaia saling makan melebihi binatang paling buas, semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu, Koksu yang mulia?”

Karena sikapnya tetap menghormat bahkan ia menjura dengan hormat kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun biarpun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak menjadi marah. Apalagi kok-su pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka ia lalu miringkan kepala melirik dan bertanya.

“Apakah orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?”

“Tidak salah, Koksu. Orang-orang menyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguhpun sebenarnya aku pun hanyalah AKU, seperti setiap orang di antara kalian semua, dan kita memiliki penyakit yang sama, penyakit AKU!”

Karena ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak senang,

“Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu? Apapula maksud kedatanganmu?”

Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya dan tersenyum lebar.
“Sudah begitu jelas masih belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke AKU-an itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini? Memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)? Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan sudah kau tangkap dan dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu untuk mengakui bahwa sasaran utama bukanlah perebutan bengcu, melainkan untuk memperebutkan pusaka-pusaka keramat yang kabarnya lenyap dan berada di pulau ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena terdorong oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?”

“Hemm, Im-yang Seng-cu, omonganmu terlalu besar dan main sikat sama rata saja. Engkau mengenal aku dan tahu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan sebagai utusan!” Koksu itu membantah.

“Kami pun datang sebagai utusan!” Teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.

Ramailah semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelanjang kaki ini tertawa bergelak,

“Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat kesalahan sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sendiri merupakan kekuatan yang jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi semua mengaku sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan tetapi utusan siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan negaramu, bukan?”

“Tentu saja!”

“Nah, apa bedanya itu? Manusia selalu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku, rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan tdak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan dunia akan aman, manusia akan hidup penuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hak-ku dan aku-aku lain lagi.”

“Wah-wah, Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang suci di dunia ini!” Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.

“Ha-ha-ha-ha! Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan penyakit kalian, yaitu penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan watak manusia yang amat licik dan rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan lain orang. Betapa rendahnya!”

“Hemmm, apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?”

Karena kakek aneh ini tidak menyerang seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai tertarik. Tidak mengadu ilmu silat, mengadu filsafat juga boleh karena dia pun bukan seorang yang buta tentang filsafat.

“Maksudku sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat penderitaan orang lain! Hiburan yang paling manjur bagi seorang yang sengsara adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih sengsara dari padanya. Mengapa begini? Inilah jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya.

Contohnya yang lebih jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit parah akan menderita kesengsaran batin yang hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu tidak ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarga-Nya yang sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling membela AKU-nya pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram hidupnya karena dikuasai oleh AKU-nya inilah, tidak sadar bahwa yang menguasainya itu bukanlah AKU SEJATI, melainkan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani. Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangis-nya!” Im-yang Seng-cu lalu berdongak dan bernyanyi.

“Aku sudah bosan!
Aku sudah muak!
Terbelenggu dalam sangkar darah daging!
Setiap saat aku dipaksa
menyaksikan tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila
Tawa-tangis, suka-duka, marah-sesal, suka-duka....
bebaskan aku dari semua ini....!”

“Omitohud! Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang beragama yang selalu berusaha untuk hidup bersih dan suci, ucapanmu itu merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!”

Seorang hwesio berkata dengan alis berkerut. Dia adalah seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu itu membuat hwesio ini tidak sabar lagi untuk berdiam diri.

“Engkau tidak boleh menyamaratakan semua manusia, Im-yang Seng-cu. Manusia ada yang bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada yang bersih dan untuk mencapai kepintaran dan keberaihan batinnya. Jalan satu-satunya hanyalah mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum agamanya.”

Im-yang Seng-cu tertawa dan memberi hormat kepada hwesio gendut itu.
“Maaf, tentu yang kau maksudkan itu adalah agama-Mu, bukan?”

“Tentu saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha,” Jawab hwesio itu.

“Hemm, pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pemeluk agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia makin parah. Semua agama adalah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang sekali, orang-orangnya yang menyalah gunakan sehingga pelajaran kebaikan seringkali dipergunakan untuk saling menghina dan saling menyalahkan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar